Halqoh Islam dan Peradaban
Mewujudkan Rahmat untuk Semua
Syariah, Masa Depan Politik Indonesia?
Membaca Trend Survei Syariah
Selasa, 16 September 2008
Pukul 16:00 – 18:00 WIB
Wisma Antara, Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat
Narasumber:
- HM. Taufik Kiemas (Ketua Dewan Pertimbangan Pusat DPP PDI Perjuangan)
- Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (Ketua Majelis Syuro DPP Partai Bulan Bintang)
- Dr. Fachri Ali (Pengamat Politik)
- M. Rahmat Kurnia (DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Presentasi Survei: Panji Alamsyah (SEM Institute)
Host : Harits Abu Ulya
Informasi dan Konfirmasi:
Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Dr. Supomo, SH no 27 , Jakarta Selatan, 12790,
Telp. 021-8305848, Fax. 021-8312111
Emai: info@hizbut-tahrir.or.id, www.hizbut-tahrir.or.id
Kontak Person: Shodiq (0813-34765830), Rikza (0813-84498159)
Masa depan politik Indonesia hanya bangkit dengan islam !!!
smoga skss & syariah bisa kembal tegak
Dari beberapa hasil survei (adanya penomena kemenanganan ‘partai golput’) menunjukkan sikap pesimisme rakyat terhadap perPolitikan di tanah air, hal ini menunjukkan politik ‘sekuler’ sudah diambang kehancuran. oleh karenan itu kedepan harus ada perubahan paradikma politik. yakni politik islam idiologis. yakni politik yang mengusung syariah sebagai satu-satunya solusi berbangsa dan bernegara. Hanya syariah… khilafah… solusi masa depan bangsa dan dunia.
Insya Allah….
hanya
Islam
yang
bisa
menyelamatkan
politik
dari
tangan
tangan
kotor///
mudah-mudahan bahan ini berguna dalam diskusi atau kajian mengenai syariah di Indonesia. Berikut ini adalah pidato Muhammad Natsir di sidang konstituante tahun 1957 mewakili fraksi masyumi judulnya “Islam sebagai dasar negara”. Saya merujuk pada buku aslinya, ada beberapa lembar komentar pribadi saya. syukran.
MENGUNGKAP REALITAS YANG TERKUBUR
PIDATO KENEGARAAN MOHAMMAD NATSIR (PIMPINAN FRAKSI MASYUMI) DALAM SIDANG KONSTITUANTE PADA TANGGAL 12 NOPEMBER 1957
“ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”
MUKADIMAH
Ada beberapa hal yang mengiringi setelah membaca buku tipis dan sudah lusuh, sedikitnya tiga hal utama, yaitu :
1. Siapa yang memperjuangkan kemerkedaan Indonesia?
2. Bagaimana kemerdekaan itu di dapat?
3. Ada apa pra dan paska proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Pertanyaan pertama tentunya kemerdekaan ini diraih oleh para pejuang, pahlawan yang tidak mengenal menyerah apalagi putus asa – karena perjuangan ini dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi, baik perjuangan dalam kelompok-kelompok maupun perjuangan dalam skala yang lebih besar. Konon perjuangan pada awalnya masih bersifat kedaerahan dan kesukuan, kemudian dimulailah suatu perjuangan baik perjuangan fisik maupun politik dalam skala nasional. Perjuangan kolektiv bangsa Indonesia dicatat sejarah setelah berkumpulnya berbagai elemen masyarakat untuk berikrar setia dalam ikatan persatuan bangsa, bahasa dan tanah air yang satu, yaitu Indonesia, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan sumpah pemuda pada oktober 1928.
Di tahun yang sama di beberapa daerah di dunia timur, Pergerakan baru Islam juga muncul di dalam masyarakat modern kemudian berlanjut ke tahun-tahun berikutnya. Pengikut mereka datang dari unsur-unsur masyarakat modern yang terpelajar, kepemimpinan mereka tidak mutlak berlatar belakang ulama. Di antaranya yang paling menonjol dari pergerakan ini adalah Al Ikhwan al Muslimin (Islam Persaudaraan) didirikan di Mesir 1928m oleh Hasan al-Banna (1906-1949m), dan Jama’ah al Islami ( Masyarakat Islam), di India 1941 di bawah kepemimpinan Mawlana Abu al-Ala Mawdudi (1903-1979m). Kelompok ini dan yang sejenisnya, menentang Islam tradisional, dan ulama konservatif, seperti halnya kritik terhadap sekularisme berasal dari barat bukan budaya (tsaqofah) Islam. Argumentasi mereka bahwa Islam adalah jalan hidup utuh dan harus diterapkan di dalam sistem politik dan ekonomi seperti halnya kewajiban religius individu. (Dari Encyclopedia Politik dan Agama, ed. Robert Wuthnow. 2 jilid ( Washington, D.C.: Congressional Triwulanan, Inc., 1998), 383-393
Perjuangan yang dilakukan adalah perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu imperialis asing baik dari Eropa maupun Asia. Bentuk imperalisme dari penjajahan tersebut bermula dari keserakahan bangsa (kaum) tertentu akan perekonomian (kapitalis). Ditandai dengan bersandarnya kapal niaga VOC dari negeri Belanda di teluk Jakarta di abad ke 15, setidaknya catatan sejarah Indonesia mencatatnya demikian. Inilah mula pertama, cikal-bakal dari penjajahan dari kaum imperialis asing – tidak hanya negara Belanda saja yang mondar-mandir, masuk dan keluar tanah persada nusantara ini hampir seluruh benua Eropa terwakili untuk menikmati hasil dari nikmat Allah yang terletak di katulistiwa dan terkenal dengan sebutan nusantara. Karena keindahan alam serta kekayaannya juga melekat berbagai julukan seprti zamrud katulistiwa, kalung ratna mutu manikam. Andai saja bumi bisa berbicara dan menjadi saksi, niscaya bumi akan mengatakan berapa banyak kekayaan bangsa Indonesia yang di rampok dan di bawa ke negeri mereka untuk kesejahteraan mereka masing-masing. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang kikir, bangsa Indonesia akan sangat senang dan merasa bahagia apabila bisa berbagi kekayaan kepada bangsa-bangsa seluruh dunia, namun bukan dengan paksaan, bukan dengan penipuan, juga bukan dengan kekerasan
Bangsa yang lugu, penuh kasih tanpa prasangka telah diperlakukan sewenang-wenang, dianiaya, diambil hartanya, dipaksa berkerja tanpa upah yang semestinya, dipisahkan anak dengan orang tua – isteri dengan suaminya, dilecehkan. Semua di bawah tekanan mulut bayonet yang menakutkan, dibawah ancaman panasnya timah yang bisa menembus kulit daging manusia.
Kekejian dan kekerasan itu bukan tanpa perlawanan, semua kemungkaran itu berusaha dilenyapkan perlawananpun dilakukan, namun kekuatan musuh begitu besarnya. Dengan modal semangat keyakinan, dan berusaha untuk menegakkan kebenaran serta memberantas kemungkaran. Perlawanan demi perlawanan dilakukan – meskipun gagal, semangat perjuangan “Merdeka atau Mati” terus bergelora, perjuangan perlawanan untuk kemerdekaan menjadi suatu tradisi kebangsaan.
Ternyata tidak hanya bumi nusantara saja yang sedang berjuang meraih kemerdekaan, di banyak tempat di dunia timur juga melakukan hal yang sama. Kebanyakan daerah yang di jajah dan memperjuangkan kemerdekaannya adalah negeri-negeri yang tadinya aman tentram, kaya dan bersahabat, negeri-negeri itu adalah negeri-negeri dimana Islam memimpin, pimpinan di bawah petunjuk wahyu Illahi.
Semua ini bukan sekedar teori konspirasi, tetapi adalah fakta sejarah yang berusaha di kubur oleh pelaku-pelaku sejarah yang arogan dan sadis, sehingga sejarah bukan lagi menceritakan fakta tetapi merupakan sebuah propaganda kepentingan penguasa.
Jawaban dari pertanyaan ke dua, jelas setiap manusia ingin merdeka, ingin bahagia, oleh karena itu perjuangan fisik dan non fisik dilakukan, upaya-upaya perundingan dan diplomasi kerap kali dilaksanakan. Yang patut menjadi bahan renungan adalah akankah penguasa yang kuat melepaskan berbagai keuntungan yang telah berabad-abad diraih dengan mudah, kemilau untaian permata, emas-perak sampai tembaga, hasil bumi, hutan, dan rempah-rempah semua mengalir menuju negara-negara yang secara bergantian menjamah nusantara. Akankah mereka, para penjajah melepaskan berbagai keuntungan yang melimpah begitu saja? Tentu saja tidak – amat sangat mudah dimengerti, tapi apakah sejarah menorehnya demikian? Juga tidak, seakan negeri terjajah seperti Indonesia telah benar-benar merdeka, semua harta kekayaannya diserahkan kepada penguasa yang baru. Negara Republik Indonesia bebas dari cengkraman Imperialisme Asing! Benarkah semua itu? Lalu apa yang terjadi kemudian dan bagaimana negeri ini di bangun? Andai saja banyak manusia yang perduli tentang kebenaran dari bukti sejarah yang hakiki tentulah beberapa bangsa di dunia ini tidak akan mengalami keadaan seperti yang terlihat oleh mata telanjang saat ini. Ironi kemerdekaan dan pembangunan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negeri terjajah di belahan bumi lainnya. Ada tiga kesamaan umum yang dimiliki negeri-negeri bekas penjajahan ini ;
1. negeri itu kaya, tapi sejak abad ke 14 tidak pernah merasakan kekayaannya,
2. negeri itu miskin saat ini, padahal harta kekayaan yang masih tersimpan di permukaan dan perut buminya masih melimpah,
3. negeri itu adalah bekas di bawah kepemimpinan Islam.
Yang menjadi jawaban dari pertanyaan berikutnya akan menghabiskan berlembar-lembar kertas dan segudang pertanyaan yang beranak pinak. Meskipun demikian dapatlah kiranya menjadi kesimpulan, bahwa sesungguhnya Indonesia, termaksud negeri-negeri lain yang senasib “TIDAK PERNAH MERDEKA”, akan tetap miskin karena kekayaannya dibawa lari ke negeri asing.
Setiap negeri seharusnya sadar dan mengembalikannya kepada fakta sejarah bahwasannya mereka semua dahulu dipersatukan oleh kepemimpinan Illahi yang kokoh, sistem yang kuat sehingga mampu bertahan sampai dengan belasan abad. Tidak ada kepemimpinan yang mampu bertahan sedemikian lamanya, sekalipun tidak dipungkiri kepentingan penguasa, kelompok dan individu acap kali menjadi ganjalan dalam kepemimpinan ini. Kesalahan bukan pada aturan dan sistem tetapi kepada manusia yang bergeser ideologinya kepada ideologi sekuler dan ideologi kafir lainya.
Perang ideologi antara ideologi kapitalis barat dan ideologi Islam, pernah dilantunkan oleh Sidney jones dalam perdebatan di salah satu media elektronik Indonesia (sctv). Seorang Sidney Jones saja sadar akan kenyataan ini, meski sedikit malu ia menyatakannya, sudah sepantasnya Ummat Islam seluruh dunia juga sadar dan menghilangkan kecintaanya terhadap dunia, harta dan kekuasaan yang semu. Berapa banyak saudara kita seiman yang menjadi korban karena ketidak pedulian saudaranya sendiri. Islam adalah terikat dengan tali persaudaraan akan iman sebagai mana sabda RasuluLlah SAW.. Saat ini adalah momen yang tepat untuk mempertanyakan hal itu. Ataukah mereka dan siapa saja sudah tidak takut akan ancaman Allah SWT. kemudian membenarkan perbuatan keji dengan dalil agama maupun bukan agama. Meraup pengikut hanya untuk kepentingan dunia semata, untuk membela kejahatan yang telah diperbuatnya.
Kaum agama yang “pragmatis”, menggunakan dalil agama yang dapat mendukung perilakunya dan membuangnya jika dalil agama menyalahkannya. Jika tidak membuangnya, setidaknya berusaha menafsirkan dalam bentuk pemikiran kufur (non agama), atau menganggap dalil agama tersebut sudah tidak relevan dengan situasi dan kindisinya. Pragmatisme dalam agama sudah sering terjadi yang berujung kepada sekularisme yang kejam – yang terlahir dari pemikiran kapitalis, dimana imperialis atau penjajahan adalah halal.
Demikian pula hal nya dengan para pemikir non agama, jika saja pikiran jernihnya mampu melihat kebelakang, dimana Islam mengalmi perkembangan yang amat dramatis, tentulah ia akan melihat bagaimana Islam memimpin dunia ; menjaga siapa saja seluruh alam, Islam ataupun tidak, manusia ataupun bukan, makhluk hidup maupun benda mati. Islam menjaganya, melindunginya, memberikan kebebasan bagi pemikiran dan kehendaknya, tanpa memaksa untuk memeluk Islam sebagai agamanya. Hanya saja realitas tidak secara lengkap diukir dalam prasasti sejarah dunia. Terlalu banyak kepentingan yang menyangkut kapital (harta) dan power (kekuasaan) menutupnya atau menyamarkannya, sehingga ummat manusia dunia termaksud pemeluk Islam sendiri meragukan akan kepemimpinan Islam dalam memimpin dunia.
Tidak satupun sejarah mencatat pemaksaan terhadap suatu kaum kepada Islam, malah sambutan didapat Islam dari siapa saja yang ia datangi, meminta untuk dinaungi. Sejarah mengenai kejahatan kemanusian adalah berasal dari barat yang kafir, Islam sama sekali tidak pernah melakukannya. Berbagai pembunuhan secara besar-besaran adalah produk kafir bukan Islam. Adapun tudingan dan tuduhan yang datang belakangan tentang terorisme adalah gaya lempar batu sembunyi tangan, sebuah konspirasi kambing hitam terhadap Islam. Sejarah Islam terlebih ajarannya Addin Islam tidak mengenal istilah repressive, perang dilakukan hanya jika dalam keadaan tertindas dimana kemungkaran terjadi, diperbolehkannya membunuh hanya pada suatu hal yang menyangkut perbuatan yang keji, seperti : pembunuhan dan zina. Itupun harus melalui suatu proses pengadilan, dimana keputusan mengacu kepada syariat Islam, berdasarkan pertimbangan hakim dan membutuhkan bukti-bukti kuat dan saksi. Hukum hudud didalam Islam adalah penghapus dosa, dosa atas perbuatan keji tersebut, selain dari pada itu juga menimbulkan efek jera bagi yang melakukan maupun yang menyaksikan. Oleh karena itu penyelenggaraan hukuman dilakukan di tempat terbuka, diumumkan untuk disaksikan.
Memang dalam rentangan kepemimpinan Islam terjadi juga pertumpahan darah, perebutan kekuasaan bahkan pengkhianatan. Namun hanya sebagian kecil dari rentangan sejarah kepemimpinan Islam – dan kejadian menyedihkan itupun sedikit yang mau menyelidiki mengenai keabsahan dan kebenaran fakta dari jalan ceritanya. Jika saja para ahli dan sejarawan mau membuka mata, akan terlihat jelas kepentingan musuh-musuh Islam dalam skenario dari kejadian-kejadian tersebut, tidak hanya sampai di situ mereka juga memasuki wilayah-wilayah di mana mereka bisa dengan leluasa menyebarkan fitnah dan kebencian, adu domba dan perampokan, semua dilakukan secara bersamaan, terorganisir rapi dan bersih sehingga fakta-fakta tersebut sedianya terkubur. Namun kejahatan tidak akan pernah menang, saat ini semua itu mulai terkuak satu demi satu, kebusukkan musuh-musuh Islam mulai tercium dan terlihat keburukkannya, masyarakat muslimin semakin sadar dan tahu bahwasannya mereka sedang berperang dalam suatu pertempuran yang lebih dasyat dari perang badr.
Dalam buku yang berisi pidato Muhammad Natsir di dalam sidang konstituate ini menjelaskan bagaimana Hukum Islam adalah hukum yang universal, agama Islam adalah Addin yang berarti Nizham / peraturan yang harus dilaksanakan jika menginginkan keselamatan, kebaikan, keadilan dan kebahagian. Dan melalui buku ini juga sebenarnya Islam pernah ditawarkan kepada masyarakat Indonesia untuk menjadi petunjuk jalan, yaitu hukum-hukum Islam (Al Quraan, Sunnah dan Ijma Ulama berdasarkan Al Quraan dan Sunnah). Islam berasal dari Tuhan Semesta Alam, Allah SWT., yang di amanahkan penyampainya kepada Muhammad SAW., tidak hanya untuk dijadikan sebagai nilai-nilai akhlak, tetapi juga mengenai semua segi pengaturan dari tiap sudut kehidupan yang luas. Tidak ada pengaturan yang sedemikan lengkapnya kecuali Islam yang menyajikannya.
Setelah membaca buku pidato kenegaraan ini, kemudian cobalah mengaitkannya, menghubungkannya dengan realitas masa sekarang, dimana bangsa ini bukannya bergerak maju kedepan – merealisasikan kemerdekaan yang telah dengan susah payah di capai pendahulu-pendahulu kita. Tetapi malah sebaliknya, bangsa ini setapak demi setapak, perlahan namun pasti, bergerak mundur menuju kepada situasi di masa sebelum kemerdekaan, artinya bangsa ini dan masyarakatnya tetap terjajah, bahkan semakin kuat kuku-kuku imperialis asing tertancap ke dalam daging bangsa dan masyarakat Indonesia.
Sebagai akhir dari mukadimah ini, semoga Allah SWT. mempermudah dan mempercepat langkah kita kepada kemerdekaan yang sesungguhnya. Merdeka dengan sebenar-benarnya – kemerdekaan yang jelas arah dari mana datangnya dan kemana akan perginya. Sebuah kemerdekaan yang di dasari kepada kesadaran berpikir masyarakat akan hakikat dirinya sebagai manusia yang hidup dalam kehidupan yang fana. Kesadaran yang menenangkan hati kita, menyatukan tiap-tiap jiwa manusia menuju kepada Pencipta nya melalui aturan-aturan Sang Pencipta.
Bandung, 16 September 2007 / 4 Ramadhan 1428
Kepada Saudaraku M. Natsir ;
Meskipun bersilang keris dileher
Berkilat pedang dihadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan diatas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri disebelah kiri
Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wai Natsir, suara kaum-mu
Kemana lagi, Natsir, kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sefaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridla Ilahi
Dan akupun masukkan !
Dalam daftarmu……….
HAMKA
Bandung, 13 November 1957
(dalam sidang konstituante)
“ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”
1. Konfrontasi dalam suasana toleransi.
Saudara.Ketua !
Terlebiha dulu saya menyatakan penghargaan saya kepada Panitia Persiapan Konstitusi yang sudah melakukan tugasnya, menjelajah serta merumuskan pikiran-pikiran yang hidup dalam pelbagai aliran dalam konstituante ini menjadi masalah pokok, dasar negara, yang hendak sama-sama kita bahas dalam beberapa hari yang akan datang ini.
Laporan ringkas dari bermacam-macam pendirian dan keinginan yang hidup dalam negara kita, tercermin dalam laporan P.P.K. tersebut dan dapat memberi bantuan berharga kepada kita dalam pembahasan masalah pokok yang terpenting dalam UUD yang sedang kita usahakan pembentukannya itu.
Saudara. Ketua !
Kemarin dulu, diwaktu kita memperingati hari pelantikan Konstituante Saudara, Ketua Konstituante, yang terhormat Saudara Wilopo, menerangkan antara lainbahwa, adalah fungsi dari Konstituante ini untuk menyusun konstitusi yang definitif pengganti UUDS kita yang bersifat sementara. Saudara Ketua fungsi ini hanya dapat dipenuhi apabila ia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menjelajah, membahas, membanding pikiran-pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Tegasnya untuk melakukan orientasi yang sungguh-sungguh, agar hasil yang hendak dicapai itu nanti benar-benar dapat dipertanggung jawabkan bagi rakyat dan keturunan kita dimasa datang.
Dalam rangka ini, saya setuju benar dengan anjuran yang berulang-ulang terdenganr dalam ruang konstituante ini, yaitu, supaya kita senantiasa toleran, bertoleransi antara satu sama lain.
Dalam pada itu, Saudara Ketua, toleransi itu hanyalah akan berfaedah apabila didalam taraf pertama ini kita menghasilkan pengertian yang lebih terang tentang pendirian kita masing-masing. Sebab bagaimanakah Saudara Ketua, usaha membanding, dan apa yang selalu dianjurkan, “mencari titik pertemuan” akan berhasil, jika kita belum tahu benar apa sebenarnya yang hendak dibanding dan yang hendak dipertemu-temukan itu. Tentang ini saya berkata lebih jauh bahwa justru berbahaya sekali bagi usaha menghasilkan dasar negara kita, jika pemikiran-pemikiran yang timbul dalam pembahasanan nanti, tidak terang, kabur serta samar-samar. Malah Saudara Ketua, saya khawatir bahwa baik di dalam ruangan gedung ini, maupun di luarnya banyak contoh-contoh yang dapat dikemukakan, bahwa orang belum tahu, mana kawannya dan mana lawannya, yakni, dalam konfrontasi dari ide dan pemikiran yang dimajukan oleh masing-masing.
Saya berpendapat, Saudara Ketua, bahwa justru lantaran kita bersedia bertoleransi itu, kita harus berani membuka pendirian kita seterang-terangnya. Toleransi yang dimaksud adalah untuk membuka ruang dan suasana yang seluas-luasnya bagi konfrontasi dari ide-ide dan pemikiiran-pemikiran. Toleransi itu sudah dimulai dalam rapat-rapat komisi yang telah sudah dan dilanjutkan hendaknya dalam sidang-sidang pleno sekarang dan yang akan datang.
Toleransi tanpa konfrontasi, sesungguhnya bukanlah toleransi yang kita maksud. Itu hanya berarti : mengelakkan persoalan. Sehingga mungkin kita akhirnya hanya mendapat toleransi bukan konstitusi.
Yang kita butuhkan ialah konfrontasi dalam suasana toleran, sehingga dari pembenturan-pembenturan antara ide-ide dan pemikiran yang kita majukan masing-masing, kita sampai kepada kebenaran. Du choc des opinions jaillit la verite. Saya mengharapkan agar suasana toleransi yang demikian itulah yang akan meliputi ruangan Konstituante ini seterusnya.
2. Konstituante harus bebas dari tekanan-tekanan
Sekali lagi : adalah kewajiban dan hak konstituante ini, sebagai lembaga demokrasi, untuk menjelajah, membahas dan membentuk perumusan baru yang definitive dari semua pokok-pokok soal yang harus ditentukan oleh UUD. Saudara Ketua Konstituante, Saudara Wilopo, juga telah memperingatkan kita semua kepada tugas tersebut. Lalu beliau menganjukan agar kita semua sadar benar akan tanggung jawab kita yang besar itu. Terutama oleh karena kitalah para anggauta konstituante yang berhak penuh dan bertanggung jawab tentang keputusan-keputusan yang akan diambil itu. Memanglah demikian. Bukanlah maksud kita hendak mengganti UUD Sementara kita sekarang sengan suatu UUD yang sementara pula. Tetapi kita bermaksud dengan sekuat mungkin menciptakan satu UUD yang akan tahan uji oleh generasi anak cucu yang akan datang.
Maka dengan sendirinya, tak satu hal pun dalam UUDS kita sekarang ini, tentang bentuk Negara yang sekarang, struktur Negara yang sekarang, ya, falsafat Negara yang sekarang, dan lain-lain, tidak satupun dari soal-soal semacam itu akan dapat dibebaskan dari pembahasan dan bandingan yang kritis. Dengan sendirinya pula dari pembahasan itu mungkinlah timbul pelbagai alternative yang lain, dari apa yang sekarang dianggap sebagai pendapat tetap (gevestigde mening) atau “rumah-rumah sakit” (heilige huisjes). Bukankah demikian di maksud dengan konfronjtasi itu, Saudara Ketua?
Saudara Ketua,
Maka apabila dalam membahas masalah-masalah, “struktur Negara” dan “dasar Negara” dan lain-lain umpanya muncul bermacam-macam alternative seperti alternative “federasi” disamping “kesatuan” bagi struktur Negara, atau alternative “Islam” atau “sosial ekonomi” bagi dasar Negara disamping Pancasila yang ada sekarang, dan sebagainya, maka Saudara Ketua, itu tidaklah mengherankan dan tidak boleh menimbulkan kegusaran atau yang semacam itu dari pihak manapun juga. Dan tidaklah pada tempatnya, bila orang buru-buru mempergunakan kualifikasi-kualifikasi seperti “tidak setia kepada Negara” atau mengkhianat kepada proklamasi dan apa lagi, atau semacam intimidasi yang terselimut apabila dalam ruangan ini dikemukakan alternative-alternative tersebut. Sebab, Saudara Ketua orientasi, membahas, lalu membandingkan alternative-alternative dan akhirnya menentukan pilihan atau keputusan, itu semua adalah pembawaan dari tugas kita dalam ruangan gedung Konstituante ini.
Saudara Ketua,
Kita tahu, bahwa konstituante kita dewasa ini ibaratnya satu pulau ditengah gelombang pergolakan-pergolakan politik di sekitarnya. Kita sama mengharapkan agar gedung konstituante ini dapatlah hendaknya merupakan satu “sactuary” yakni tempat aman dimana dapat diadakan konfrontasi antara ide dengan ide, pendirian dengan pendirian, yang walaupun berlaku secara tajam dan bebas, sebagaipembawaan dari tugas kita itu, tetap di dalam suasana ibarat sebuah pulau yang aman tenteram di tengah-tengah gelombang
Saudara Ketua, hanya selama dalam ruangan konstituante ini tetap hidup dan terjamin rasa bebas mengutarakan pendapat, tanpa tekanan-tekanan dalam bnetuk apapun, Saudara Ketua, selama itulah konstituante ini ada artinya bagi Negara dan bangsa.
3. Dasar Negara harus berurat berakar dalam kalbu masyarakat
Saudara Ketua,
Sebelumnya kita membahas tentang dasar Negara, marilah kita mulai dengan pertanyaan : Apakah Negara itu?
Dalam menjawab pertanyaan ini kita tidak memasuki persoalan asas timbulnya Negara ataupun yang mengenai nasibnya dikemudian hari. Orang-orang Komunis mengharap agar itu lenyap apabila tujuan terakhir mereka sudah tercapai. Orang-orang anrkhis ingin menghapuskan Negara selekas mungkin. Kita Ummat Islam berpendirian harus memelihara Negara selama manusia ada di dunia.
Apa yang dimaksud dengan perkataan “Negara” ataupun dalam bahasa Inggris “State ?” Kita tidak akan memberi definisi yang panjangnya hanya satu kalimat, ini tidak akan menjelaskan pengertian kita, terlebih lagi oleh karena banyaknya pandangan yang berlainan mengenai faham apa Negara itu. Ibn Khaldun, Machiavelly, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen. Demikian pula Plato, Agustinus, Hobbes dan Rousseau dan yang lain-lain, mempunyai pandangan yang bermacam-macam tentang Negara.
Mengingat banyaknya tafsiran tentang Negara ini maka baiklah kita membataskan diri dalam menjelaskan arti “Negara” itu dengan mengemukakan sifat-sifat ataupun elemen-elemen yang terkandung dalan satu Negara.
Negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan tujuan yang khusus.
Apa institution itu?
Institution dalam arti umum, adalah suatu badan, organisasi, yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui oleh umum.
Dapat kita mengambil contoh, umpanya, intstituion perkawinan kita. Kita mempunyai kadli-kadli dan pegawai-pegawai lainnya untuk melaksanakan perkawinan. Selain dari itu kita mempunyai alat-alat material seperti gedung, mesjid, alat-alat administrasi dan lain-lain. Juga kita mempunyai peraturan-peraturan yang mengurus suatu perkawinan. Ini semua mempunyai fungsi untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Selain dari itu tujuan dan peraturan-peraturan perkawinan tersebut berdasarkan atas paham hidup yang tertentu. Keseluruhannya yang tersebut tadi ialah apa yang dimaksudkan dengan perkataan “institution”.
Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-macam institution, seperti institution pengajaran, ekonomi, agama, politik, famili, pergaulan, dagang dan lain sebagainya. Pendeknya institution- institution ini merupakan bagian-bagian organisasi-organisasi hidup dalam rangka badan hidup yang besar. Tetapi institution mempunyai daerah gerak-geriknya yang tertentu, mempunyai keanggotaan, dan mempunyai kedaulatan atas anggautanya. Ada nilai-nilai atau norma-norma institution tersebut yang dianggap beradaulat oleh angauta-angautanya, walaupun tempo-tempo tidak tertulis. Pelanggaran terhadap norma-norma ini ada kalanya diikuti oleh sangsi-sangsi yang tertentu.
Institution itu adalah suatu badan atau organisasi yang :
a) Bertujuan untuk memenuhi kepbutuhan masyarakat di lapangan jasmani dan rohani
b) Diakui oleh masyarakat
c) Mempunyai alat-alat untuk melaksanakan tujuan
d) Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma, dan nilai-nilai tertentu
e) Berdasarkan atas paham hidup
f) Mempunyai keanggautaan
g) Mempunyai daerah berlakunya
h) Mempunyai kedaulatan atas anggauta-anggautanya dan
i) Memberikan hukuman terhadap beberapa pelanggaran atas peraturan-peraturan dan norma-norma.
Maka Negara sebagai satu institution, juga mempunyai ;
1) Wilayah
2) Rakyat
3) Kedaulatan
4) Dan undang-undang dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis
Ia (1) meliputi seluruh masyarakat dan segala institution yang terdapat dalamnya, (2) ia mengikat ataupun mempersatukan institution- institution itu dalam suatu peraturan hukum, (3) menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian-bagian masyarakat, (4) mempunyai hak untuk memaksa anggautanya mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh nya dan (5) mempunyai tujuan untuk memimpin memberi bimbingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat keseluruhannya.
Saudara ketua,
Mengingat ini semua maka benar dan tepatlah apa yang dikatakan ibnu Khaldun, bahwa artinya Negara terhadap masyarakat sama dengan artinya bentuk (form) atau aradh terhadap benda (matter) atau jauhar ? Yang satu tidak bisa terlepas dari yang lainnya.
Nyatalah bagi kita bahwa Negara itu harus mempunyai akar yang kuat langsung tertanam dalam masyarakat. Oleh karena itu dasar Negarapun harus sesuatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti, pendek kata, yang menyusun hidup sehari-hari rakyat perseorangan maupun kolektive.
Saudara Ketua,
Kita sudah mempunyai Negara. Maka teranglah didalam menyusun suatu Undang-Undang bagi Negara kita ini, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah kita bertolak dari pokok pikiran yang past, yakni bahwa undang-undang dasar bagi Negara kita itu, harus menempatkan Negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri kita. Tegasnya Undang-Undang Dasar Negara itu haruslah berurat berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam Negara kita ini.
Dasar Negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan Negara terombang-ambing, lail dan tidak duduk atas sendi-sendi yang kokoh.
4. Alasan yang melanggar prinsip demokrasi
Saudara Ketua,
Apabila kita mempelajari hasil pekerjaan Komisi I yang mengenai dasar Negara dalam P.P.K yang sudah ada pada kita masing-masing dengan sepintas lalu saja kentaralah, satu hal yang menggembirakan. Yakni : semua golongan dan aliran, tanpa kecualinya, menghendaki berdirinya Negara kita ini atas dasar demokrasi.
Nyatalah bahwa jiwa demokrasi itu merupakan dasar yang hidup kuat merata dalam kalbu seluruh bangsa kita. Atas ini patut kiranya kita mengucapkan syukur.
Saudara Ketua ! Ada tiga dasar yang telah dikemukakan dalam komisi I yang dimajukan sebagai dasar Negara : Panca Sila, Islam dan Sosio Ekonomi.
Kewajiban saya dan kawan-kawan saya dari fraksi Masyumi adalah untuk menghidangkan kemuka siding pleno yang terhormat, pendirian kami dengan cara lebih luas dan mendalam dari apa yang kami sudah sampaikan dalam komisi P.P.K. yakni kehendak kami, sebagaimana yang sudah diketahui oleh kita semua, supaya Negara Republik Indonesia kita berdasarkan Islam, Negara demokrasi berdasarkan Islam.
Sebelum saya menguraikan pendirian kami itu, Saudara Ketua, izinkanlah lebih dahulu saya menghadapi satu dasar berpikir dan argumentasi dari pihak-pihak yang berlainan pendapat dengan kami itu, yakni yang menghendaki Panca Sila sebagai dasar Negara.
Saudara Ketua !
Tak syak lagi, bahwa landasan berpikir yang dipakai oleh pihak yang memajukan dasar Panca Sila dimajukan demikrasi. Tapi argumentasi yang dikemukakannya, kalau diselidiki lebih dalam, ternyata tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demikrasi itu. Disini kita berhadapan dengan semacam paradox, Saudara ketua, saya akan kemukakan salah satu contohnya.
Diantara prinsip-prinsip demokrasi yang terkenal, adalah ;
5. golongan yang berkuasa harus mendapat persetujuan dari golongan terbesar (majority),
5. golongan-golongan kecil yang berlainan pendapat dari majority terjamin hak hidupnya dalam masyarakat.
Konsekuensi dari prinsip demokrasi itu jika dipakai untuk membentuk sesuatu Negara, maka tidak bisa lain daripada bahwa Negara itu harus pertama-tama mencerminkan apa yang sesungguhnya hidup, terutama falsafah hidup daripada sebagian besar, majority rakyatnya. Kedua ; prinsip tadipun mengharuskan, memberi ruang hidup bagi golongan-golongan yang berpendapat lain daripada majority.
Kedua-duanya prinsip ini berjalin kelindan, yang satu tak dapat dipisahkan dengan yang lain, sehingga, apabila hanya salah satu saja dari yang dua itu dipakai, baikpun yang pertama, ataupun yang kedua saja, – maka itu bukan demokrasi lagi tapi diktatur atau tyranny atau oligarchie.
Yang aneh ialah, Saudara Ketua, bilamana prinsip demokrasi itu dipergunakan untuk menghadapi Islam sebagai satu paham yang ada dalam Negara, maka orang menyimpang daripadanya, lalu berkata :
“Jangan dipakai Islam sebagai dasar Negara, sebab Islam itu adalah satu paham-hidup yang didukung oleh hanya salah satu golongan di Indonesia ini. Sedangkan di Indonesia ada pula lain-lain golongan yang bukan Islam.” Begitu intisari dari alasan-alasan yang dikemukakan.
Penolakan itu didasarkan, bukan kepada penilaian tentang merites (khasanatnya), isi, dan sifat dari paham hidup, yakni islam, tidak pula didasarkan kepada soal berakar atau tidaknya paham hidup itu dalam jiwa rakyat yang terbanyak yang diakuinya sebagai majority di Indonesia ini. Akan tetapi ditolak lantaran paham-hidup itu hanya dimiliki oleh satu golongan tetapi TIDAK oleh semua golongan.
Saudara ketua, kami berpendapat bahwa alasan bagi penolakan yang demikian tidak dapat dikatakan sesuai dengan prinsip-prinsip demikrasi. Alasan yang demikian juga Saudara ketua, tidak akan efektif, sebab Saudara ketua, bagaimana andaikata, pihak Islam yang paham hidupnya ditolak untuk jadi dasar Negara, lantaran “pahamnya hanya dimiliki oleh satu golongan diantara golongan-golongan lain”, lalu menjawab pula ; ya dan kita ummat Islam apa alasannya? Apa Ummat Islam harus menerima Paca-sila? Sebagai dasar Negara, sedangkan Panca-sila itupun sesungguhnya juga milik satu golongan yang ada di Indonesia itu?Althans, paham hidup kami Ummat Islam tidaklah tercerminkan oleh Panca-sila itu”.
Dengan demikian perdebatan sebenarnya sudah boleh berhenti disitu saja, tak akan membuahkan hasil yang dikehendaki.
Begitulah Saudara ketua, jika kita lebih suka mengelakkan persoalan daripada memecahkannya, jika kita sama-sama “tak suka repot-repot”.
Maka rupanya Saudara ketua, satu-satunya alasan mengemukakan Panca-sila sebagai dasar Negara itu adalah bahwa Panca-sila dianggap sebagai “titik pertemuan” untuk semua golongan, yang aneka warna filsafat hidupnya masing-masing, sampai kepada yang atheis.
Setelahnya melihat yang demikian itu, saya bertanya Saudara ketua, apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah “titik pertemuan” itu? Sebab saudara ketua, titik pertemuan didalam urusan dasar Negara, bukan sembarang titik pertemuan. Tetapi titik pertemuan didalam meletakkan sendi-sendi bagi kehidupan Negara dan bangsa, bukan sekedar untuk beberapa waktu, akan tetapi untuk tempat duduk dan hidup bernaungnya anak cucu kita turun temurun.
Kalau memang ini yang dikehendaki, maka saya ingin bertanya lagi, Saudara ketua, apakah titik pertemuan dengan berupa Panca-sila itu, tidak akan merupakan hanya titik pertemuan dalam kata-kata dan rumusan ide-ide? Dan apakah orang-orang yang bertemu dalam Panca-sila itu harus menerima sila-sila itu kelimanya atau boleh menerima sebahagian-sebahagian. Sebab Saudara ketua, saya melihat ada golongan yang terang-terang menolak sila Ketuhanan, bersedia juga “bertemu” dalam panca-sila itu.
Saudara ketua,
Maka apabila salatu pihak, umpanya pihak Islam, menolak ajakan untuk menerima Panca-sila itu, dengan alasan yang dipakai orang untuk menolak paham hidupnya, seringkali mudahlah pula orang menuduhnya, bahwa mereka “tidak mau bersatu”.
Saudara ketua,
Saya khawatir, bahwa untuk menegakkan Panca-sila sebagai “titik pertemuan” itu, maka bukan prinsip demokrasi saja rupanya yang hendak dikorbankan, akan tetapi mesti dikesampingkan juga salah satu paham hidup dari satu golongan yang terbesar di Indonesia ini, yakni paham hidup yang mengatur bukan saja hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara.
Tidak diperhitungkan sama sekali rupanya berapakah pengorbanan yang diminta dari pihak yang diharuskan mengesampingkan pandangan yang mempengaruhi seluruh wilayah Jiwa Ragnya dan menjadi sumber bagi kekuatan mereka. Saya ulangi Saudara ketua, sumber kekuatan bagi mereka lahir dan bathin.
Lalu semua itu Saudara ketua, diminta ganti dengan suatu alternative berupa perumusan dari serangkaian ide-ide yang ditafsirkan menurut kehendak masing-masing. Sedangkan bila mereka Ummat Islam membandingkan dengan ideology-ideologi yang sudah semenjak berpuluh-puluh keturunan menjadi pegangan hidup mereka, perumusan serangkai ide-ide yang ada dalam Panca-sila Saudara, dirasakannya hampa, tak dapat berkata apa-apa kepada jiwa mereka. Orang yang memiliki satu ideology yang tentu-tentu dapat merasakan yang demikian itu.
Tiap-tiap ideology itu Saudara ketua, bukan hanya suatu rangkaian pikiran atau ide-ide tetapi juga ia merupakan suatu perpaduan antara ide dan aliran perasaan dengan gelombang-gelombang yang tertentu. Bukan ideology saja, bahkan pendapat biasa pun sudah mempunyai dua unsur tadi (thought and attitude) yaitu unsur pemikiran (fikrah) atau pendapat dan unsur sikap jiwa (‘aqidah) yang ada di belakangnya.
Hanya gerangan, orang yang tidak merasakan satu ideology yang tentu-tentu yang hidup mesra dalam jiwa raganyalah, yang tidak mampu menilai beberapa besarnya korban yang dipinta itu sesungguhnya.
Saudara ketua,
Saya kulasahkan : bukan semata-mata lantaran Ummat Islam adalah golongan yang terbanyak dikalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami memajukan islam sebagai dasar Negara kita.
Akan tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu adalah mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan Negara masyarakat dan dapat menjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara pelbagai golongan didalam Negara.
“Kalaupun besar tidak akan melanda “. Kalaupun tinggi, malah akan melindungi.
Hal ini saya berserta kawan-kawan sefraksi saya akan coba menjelaskannya dalam rapat Konstituante sekarang dan seterusnya.
5. Pilihan kita satu dari dua : Sekularisme atau Agama
Saudara ketua !
Maka bagi penjelasan-penjelasan yang akan diberikan oleh kawan sefraksi saya seterusnya, izinkanlah saya, Saudara ketua, mengemukakan sedikit pengantar pikiran kearah itu.
Saudara ketua !
Sejarah manusia umumnya pada tinjauan terakhirnya, memberikan pada kita pada final analysis-nya hanya duan alternative untuk meletakkan dasar Negara dalam sikap azasnya (principle attitudenya), yaitu :
1) Paham secularisme (la dienyah) tanpa agama, atau
2) Paham agama (dieny)
Saudara ketua !
Apa itu secularisme, tanpa agama, la dienyah ?
1) Secularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap, hanya dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam penghidupan kaum secularis tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal : akhirat, Tuhan dan lain sebagainya. Walaupun ada kalanya mereka mengakui adanya Tuhan, tapi dalam penghidupan perseorang sehari-hari umpamanya, seorang secularis tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti do’a dan ibadah.
Seorang secularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan sekarang ini belaka.
Saudara ketua !
Untuk melukiskan corak secularisme itu, dengan gambaran yang lebih terang, baiklah kita mengambil perumpamaan satu perkawinan dimana aliran secularisme dan agama itu tergabung.
Umpamanya : seorang isteri yang beragama bersuamikan seorang suami seculair. Bagi si isteri upacara perkawinan dalam gerja mengandung arti yang dalam dan dirasakan sebagai suatu ikatan yang dirahmati oleh Tuhan. Terhadap itu sang isteri bersikap penuh khidmat. Bagi si suami upacara ini adalah peraturan semata-mata, yang tidak mempunyai arti apa-apa sebagaimana juga peraturan membeli karcis kereta api. Ia tidak merasakan khidmat atau perasaan-perasaan lainpu, melainkan hanya sekedar mentaati peraturan itu oleh karena kebanyakan orang berbuat demikian.
Apabila setelah beberapa lama mereka mempunyai beberapa anak, bagi si isteri anak-anak itu bukan saja untuk mengikuti fithrah kewanitaanya, tapi juga untuk menjelmakan cita-cita membentuk manusia baru, masyarakat baru, yang akan membawa manfaat bagi kemanusiaan sesuai dengan perintah Tuhan. Bagi sang suami, adanya anak-anak itu tidak lebih dari satu kebiasaan umum mengikuti insting untuk mempunyai turunan. Bagi sang isteri kedudukan yang dicapai mereka dalam pemerintahan ataupun masyarakat tidak hanya merupakan satu kepuasaan, tetapi juga suatu kepuasaan untuk mencapai cita-cita yang lebih tinggi dengan menganggap kedudukan itu sebagai alat. Bagi sang suami kedudukan yang dicapai itu, kalaulah bukan tujuan, adalah satu hal yang menyenangkan dan yang harus dianggap sebagai sesuatu yag perlu dipertahankan. Demikianlah pengaruh pahjam secularisme dalam hidup orang perseorangan.;
Dilapangan ilmu pengetahuan saudara ketua, secularisme menjadikan ilmu-ilmu itu terpisah dari pada nilai-nilai hidup dan peradaban. Etika katanya, harus dipisahkan daripada ilmu pengetahuan. Timbulah pandangan bahwa ilmu ekonomi harus dipisahkan dari etika, ilmus ejarah harus dipisahkan daripada ilmu etika. Ilmu sosial harus dipisahkan dari norma-norma moral, kultur dan kepercayaan. Demikian juga ilmu jiwa, falsafah, hokum dan lain sebagainya, tetapi ada batas-batas dimana kita tidak dapat memisahkan Ilmu pengetahuan dari etika.
Kemajuan ilmu tekhnik dapat membuat bom atom. Apakah ahli-ahloi ilmu pengetahuan turut menyumbangkan tenaga atas pembikin bom tersebut harus ikut bertanggung jawab atas pemakaian nya atau tidak ? bagi yang memisahkan etika dari ilmu pengetahuan mudah saja untuk melepaskan tanggung jawab atas pemakaian bon itu. Disini kita lihat betapa jauhnya pengarus secularisme. Ilmu pengetahuan sudah dijadikan tujuan tersendiri, “science for the sake science”( ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan.pen).
Didalam penghidupan perseorangan dan masyarakat sekularisme la-diniyah tidak memberi petunjuk-petunjuk yang tegas. Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekularisme banyak macamnya. Ada yang berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan perempuan tanpa kawin (nikah.pen) tidak melanggar kesusilaan. Bagi satu Negara menentukan sikap yang tegas terhadap hal ini adalah penting. Sekularisme dalam hal ini tidak dapat memberi pandangan yang tegas, sedangkan agama dapat memberi keputusan yang terang.
Pengakuan atas hak milik perseorangan, batas-batas yang harus ditentukan antara hak-hak buruh dan majikan, apa yang kita maksud dengan perkataan “adil dan makmur” , ini semua ditentukan oleh kepercayaan kita. Sekurlarisme tidak mau menerima sumber ke Tuhanan untuk menentukan soal-soal ini. Kalau demikian, terpaksalah kita melihat sumber paham-paham dan nilai-nilai itu semata-mata dari pertumbuhan masyarakat yang sudah berabad-abad berjalan sebagaimana yang didorongkan oleh sekularisme. Ini tidak akan memberi pegangan yang teguh. Ada beribu-ribu masyarakat yang telah menimbulkan bermacam-macam nilai. Ambilah umpanya, soal bunuh diri.ada masyarakat yang mengizinkan, ada yang melarang. Yang mana yang harus dipakai? Bagi suatu Negara mengambil sikap yang menentukan adalah penting karena hokum-hukum mengenai persoalan itu akan dipengaruhi oleh sikap tersebut. Lagi, disini, sekularisme tidak dapat memberikan pandangan yang positive.
Jika timbul pertanyaan, apa arti penghidupan ini? Secularisme tidak dapat menjawab dan tidak merasa perlu menjawabnya. Orang yang kehilangan arti tentang kehidupan, akan mengalami kerontokan ruhani.
Tidaklah heran, bahwa didalam penghidupan perseorangan secularisme menyuburkan timbulnya penyakit syaraf dan rohani. Manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang azasnya tidak berobah. Jika ini berubah mudahlah baginya mengalami taufan ruhani. Demikian akibat pafam sekularisme dalam hidup perseorangan. Pengaruh agama terhadap kesehatan ruhani ini telah diakui oleh ilmu jiwa zaman sekarang.
Dalam penghidupan Negara yang secular dilapangan ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain ditentukan oleh kepentingan kebendaan manusia dan kalaupun tempo-tempo ada juga kepentingan kerohanian manusia tetapi tidak melewati batas-batas yang ditentukan oleh manusia sendiri.
Ada satu pengaruh sekularisme yang akibatnya paling berbahaya dibandingkan dengan yang saya telah sebut tadi. Sekularisme, sebagaimana kita telah terangkan, menurunkan sumber nilai-nilai hidup manusia dari tahap ke Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak boleh membunuh, kasih saying sesame manusia, semuanya itu menurut sekularisme, sumbernya bukanlah wahyu Illahi, akan tetapi apa yang dinamakan : penghidupan masyarakt semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika, insyaf bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan menguntungkan semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan terhadap membunuh dan bermusuhan.
Kita akan lihat betapa berbahayanya akibat pandangan yang demikian. Pertama dengan menurunkan nilai-nilai adab dan kepercayaan ketaraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat, maka pandangan manusia dalam nilai-nilai tersebut merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu ! ia menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tetapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah hasil ciptaan manusia sendiri.
Bahkan Saudara ketua, seorang sekularis menganggap bahawa ke Tuhanan adalah relative, yakni berganti-ganti menurut ciptaan manusia belaka, yang menurutnya ditentukan oleh keadaan masyarakat. Bukan oleh kebenaran wahyu. Baginya agama dan paham tentang wujudnya Tuhan adalah relative, yakni berganti-ganti menurut ciptaan manusia, begini boleh, begitu boleh!
Faham Sekularis tentanng Wujudnya Tuhan
Marilah kita perhatikan bagaimana pandangan dari pendirian sekulair, la-dienyah itu tentang wujudnya Tuhan dan sumber agama.
Tatkala ia menerangkan asal usulnya salah satu dari sila-sila yang tercantum dalam Panca-sila yang hendak dijadikan “titik pertemuan” dalam penyusunan sendi-sendi ketatanegaraan itu, yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa (yang sekarang dianggap sebagai dasar Negara) Presideng Soekarno berkata :
“Ketuhanan, (Ketuhanan disini saya pakai didalam arti religiusiteit), itu memang sudah hidup didalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus tahun. Aku menggali didalam buminya rakyat Indonesia, dan pertma-tama hal yang aku lihat ialah religiusiteit. Apa sebab ? ialah karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup diatas tarafnya agrarian, taraf pertanian. Semua bangsa yang masih hidup diatas taraf agrarian, tentu religius. (saya memakai perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa) tetapi baru saja memakai perkataan religiusiteit, atau kepercayaan kepada suatu hal yang ghaib yang menguasai hidup kita ini semua. Perasaan atau kepercayaan yang demikian itu hidup didalam kalbunya bangsa-bangsa yang masih hidup didalam taraf agrarian. Betapa tidak ?
Orang yang masih becocok tanam, bertani, merasa bahwa segenap ikhtiarnya untuk mencari makan, ini sama sekali tergantung daripada satu hal yang ghaib. Orang ini bertani supaya turun hujan misalnya. Darimana hujan harus diminta ? kita mempunyai sawah dan ladang, sawah dan ladang ini ditanami dengan padi atau jagung. Padi akan mati, jika tidak dapat air hujan. Bangsa yang bertani tidak boleh tidak, lantas berkata :”ah ada satu hal yang ghaib, kepadanya aku mohon supaya diturunkan hujan”. Demikian pula jikalau buah padinya sudah hamper tua, sebaliknya dia mohon kering jangan ada hujan yang terlalu lebat. Lagi dia berhadapan satu hal yang ghaib. Mungkin dia belum bisa mengatakan bahwa itu yang dinamakan Allah. Atau Tuhanpun, mungkin belum ada perkataan itu padanya. Tetapi sekedar kalbunya penuh dengan permohonan kepada satu zat yang ghaib ; “ya ghaib, yai ghaib, jangan diturunkan hujan, lagi sekarang aku membutuhkan kering”. Hujan dan kering dimohonkan oleh bangsa yang demikian itu kepada sesuatu zat yang ghaib.
Belum aku menceritakan hal hama. Hama tikuskah, hama belalangkah, hama baksil-baksilkah. Sama sekali itu diluar perhitungan manusia. Lagi dia mohon kepada satu hal ghaib ; “ya ghaib, berilah jangan sampai tanamanku ini diganggu oleh hama, tikus”. Ya, barangkali dia belum tahu hal-hal kuman-kuman kecil yang dapat membikin sakitnya padi atau jagungnya itu.
Bangsa yang demikian, masih diatas taraf agrarian, tidak boleh tidak mesti religius. Sebaliknya bangsa yang sudah hidup didalam alam industrialisme, banyak sekali yang meninggalkan religiusiteit itu. Aku tidak berkata itu adalah baik, meninggalkan rekigiusiteit. Tidak lagi-lagi aku sekadar konstateren. Bangsa yang sudah hidup didalam alam industrialisme, banyak yang meninggalkan religiusiteit. Apa sebab ? sebabnya ialah karena ia berhadapan banyak sekali dengan kepastian-kepastian. Perlu listrik, tidak perlu “oh ya ghaib”. Dengan tekan knop sja, terang menyala. Ingin tenaga, tidak perlu memohon ya ghaib aku ingin tenaga. Dia punya mesin ; mesin dia gerakan, mesin itu bergerak. Didalam tangannya dia merasa bahwa dia menggenggam kepastian. Ingin perang, aku dapat mengadakan perang. Ingin tenga aku bisa menggerakan mesin. Oleh karena itulah rakyat yang sudah hidup didalam alam industialisme banyak yang meninggalkan religiusiteit itu tadi.
Memang pernah kukupas didalam satu ceramah yang mengenai religiusiteit ini, bahwa religiusiteit ini melalui beberapa fase pula. Sebab masyarakat dunia memang dinamis. Dinamis didalam arti selalu bergerak. Masyarakat manusia tidak berhenti pada satu taraf (tidak statis). Masyarakat manusia berjalan (berevolusi). Masyarakat manusia dinamis. Cara hidup manusia berganti-ganti. Dengan pergantian cara hidup ini, dia punya religiusiteit ini berganti-ganti warna. Tatkala dia masih hidup didalam hutan rimba-raya, belum dia bertani. Dia hidup dalam rimba raya tidak mempunyai rumah. Sekadar dia hidup didalam gua-gua, dibawah pohon-pohon. Sekadar mencari makan dengan berburu atau mencari ikan. Itu sudah religius, tetapi apa yang di sembah ? dia sembah petir, oleh karena dia mengetahui, kalau memerlukan api : “itu dia, petir itu bisa menyambar pohon dan dia memberi api kepadaku”. Dia menyembah sungai, oleh karena sungailah memberikan ikan kepadanya. Bahkan dia menyembah batu, karena batu itulah yang memberikan perlindungan kepadanya. Dia menyembah geledek, dalam pikirannya geledek inilah satu zat yang ghaib yang turun dari satu mega ke lain mega, dengan mengeluarakan suara gemuruh. Dia adalah religius, dengan cara dia sendiri.
Tatkala manusia kemudian dari dari itu tidak lagi hidup didalam rimba raya, didalam gua-gua tetapi hidup dengan berternak, pada waktu itu dia religius, tetapi ciptaan dari pada zat ghaib ini lain lagi. Bukan lagi geledek, bukan lagi sungai atau pohon-pohon besar yang rindang-rindang dia sembah, tetapi dia menyembah zat yang berupa binatang-binatang sebagai yang sekarang ini masih ada sisa-sisanya dibeberpa bangsa yang menyembah sapi atau binatang ternak.
Tatkala manusia hidup didalam taraf pertanian, makin religius dia, tetapi ciptaannya juga berubah daripada bangsa yang masih hidup di rimba raya dengan berburu dan mencari ikan, daripada bangsa yang hidup dengan berternak saja. Tetapi nyata bangsa yang diatas taraf agrarian, bangsa yang demikian itu adalah religius. Terutama sekali karena tanam-tanaman tergantung sama sekali dari gerak-gerik iklim.
Demikian pula bangsa yang sudah meninggalkan taraf agrarian dan sudah masuk taraf industrialisme, banyak yang meninggalkan religiusiteit seperti kukatakan tadi, oleh karena dia hidup didalam alam kepastian. Malah didalam taraf inilah timbul aliran-aliran yang tidak mengakui adanya Tuhan. Didalam taraf inilah timbul apa yang dinamakan atheisme. Tetapi jikalau saudara-saudara bertanya kepada Bung Karno personalijk : “ya aku percaya kepada Tuhan”. Malahan aku percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bukan dua, bukan tiga. Tuhan yang satu. Tuhan yang menguasai segala hidup. Ciptaan manusia yang berubah-ubah. Pikiran manusia yang berubah-ubah.
Dulu tatkala manusia hidup di dalam rimba raya di bawah pohon-pohon dan di gua-gua, dia mengira bahwa Tuahan adalah berupa pohon, petir atau sungai. Dulu tatkala manusia hidup dalam alam peternakan, dia mengira bahwa Tuhan berupa binatang. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa bangsa-bangsa yang menyembah kepada binatang. Dulu tatkala manusia hidup dalam taraf agrarian, terutama sekali dulu, diapun mempunyai ciptaan lain daripada Tuhan itu. Dan tatkala manusia masuk didalam alam industrialisme, banyak yang sudah tidak mengakui kepada Tuhan lagi. Tetapi bagiku sebagai Bung Karno, Tuhan ada. Aku sering menceritakan tentang hal orang buta yang ingin melihat rupanya gajah. Ada empat orang buta semuanya belum pernah melihat gajah. Datanglah seorang kawan yang hendak menunjukkan kepada mereka itu, apa itu gajah. Si buta yang pertama disuruh maju kemuka, dia meraba dan dia mendapati belalai gajah. Dia berkata : “Oh aku sekarang sudah tahu rupanya gajah itu, rupanya sebagai ular besar yang bisa dibengkok-bengkokkan”.
Si buta nomor dua disuruh tampil kemuka dan dia mencari-cari gajah dan memegang ekor daripada gajah itu. Lalu dia berkata : “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu, seperti cambuk.”
Si nomor tiga lagi maju kemuka. Cari-cari gajah dan memegang kaki gajah. Katanya : “Oh aku sudah tahu gajah, rupanya seperti pohon kelapa”. Si nomor empat tampil ke muka dia (cebol) pendek sekali dia punya badan, dating di bawah gajahitu, pegang-pegang tidak dapat apa-apa. Katanya : “Oh aku sudah tahu rupanya gajah itu seperti hawa. Gajah tidak ada, gajah itu seperti hawa ini.”
Seperti orang di dalam dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Padahal gajah ada. Demikian pula, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti-ganti.”
Demikian Presiden Soekarno.
Saudara ketua !
Yang saya ulangkan tadi itu dapat dibaca dalam ceramah Presiden Soekarno pada pertemuan gerakan pembela Panca-sila di Istana, pada tanggal 17 juni 1954 yang pernah diterbitkan kementrian Penerangan. Saya dapat menggambarkan saudara ketua, bagamana terasa jatuhnya kata-kata yang demikian itu atas kalbunya seorang mukmin yang beriman kepada Allah swt., apakah dia kebetulan seorang agraris atau industrialis. Akan tetapi saudara ketua, bukan disini tempatnya saya menggambarkan itu.
Saya hanya hendak meneruskan pembahasan saya mengenai sekularisme tadi. Yang hendak saya kemukakan adalah : bagaimana paham tentang wujud Ketuhanan telah direlatifkan menurut perkembangan hidup dari satu taraf ke taraf lainnya. Dari taraf hidup pengembara, agraris, sampai ketaraf industri, dan lain-lain.
Khulasah dari pada paham itu dalam bentuk yang paling simple ialah : seorang yang masih dalam taraf kehidupan agraris memerlukan Tuhan, tetapi kalau dia sudah menjadi industrialis tidak perlu lagi terhadap Tuhan. Seperti yang dibentangkan dalam pidato Presiden Soekarno yang saya kutip tadi.
Dimanakah gerangan, saudara ketua, hendak ditempatkan wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan terhadap Tuhan. Wahyu yang terbebas dari pada pengaruh-pengaruh yang bersifat temporer, seperti p0engaruh agrarian, nomadis atau industrialisme. Wahyu yang memancar ibarat mata air yang memancarkan al iksir penawar hidup dan bersifat abadi dan membebaskan manusia dari tersesat dan terus meraba-raba mencari Tuhan.
Pertanyaan ini mengandung jawabnya sendiri. Bagi seorang sekularis soal KeTuhanan sampai kepada soal KeTuhanan Yang Maha Esa, tak ada hubungannya dengan wahyu ; baginya soal KeTuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti.
Saudara ketua, !
Baerhubunga dengan terbatasnya waktu, disini saya tidak akan mengemukakan bantahan-bantahanterhadap paham yang semacam ini. Paham mana sebenarnya dipelopori oleh kaum Marxis, yang mengatakan bahwa struktur ekonomi dan masyarakat itulah yang menentukan paham hidupsuatu masyarakat yang mengenai ajaran agama, filsafat ataupun kultur.
Apabila waktu mengizinkan saya akan kembali pada soal ini.
Akibat Sekularisme dalam Ketata negaraan
Saudara ketua !
Ajibat dari pandangan sekularisme, la diniyah itu, dalam ketatanegaraan, saudara ketua, dalam bentuknya yang lebih terang, antara lain, dapat kita lihat didalam timbulnya dan tersebarnya paham Nazisme. Ada yang menyangka bahwa Nazisme itu ditimbulkan oleh Adolf Hitler dan keadaan Negeri Jerman pada waktu itu. Seorang Jerman yang pada mulanya menyokong, setelah itu menentang Nazisme dengan sekeras-kerasnya, ialah Herman Raunchning. Ia berpendapat setelah mempelajari secara mendalam timbulnya Nazisme, bahwa yang menyebabkan itu bukanlah semata-mata lantaran timbulnya seorang yang bernama Adolf Hitler dan keadaan di Jerman belaka, akan tetapi adalah keadaan ataupun beberpa factor-faktor yang terdapat dalam kebudayaan Barat. Factor yang terpenting kata Raunchning, adalah sikap tidak peduli dan tidak menghormati tuntutan-tuntutan adab (nilai-nilai hidup) dan menyampingkan ajaran-ajaran agama. Menghormati ajaran-ajaran moral dianggap Nazisme sebagai suatu kelemahan. Sikap ini didahului dan dipersiapkan oleh paham secularisme tadi yang mengatakan bahwa nilai-nilai peradaban itu buatan manusia belaka. Demikian juga dilapangan hokum dan keadilan, sekularisme telah melemahkan hokum dan keadilan itu, sehingga mempengaruhi sikap-sikap orang yang menjalankannya. Sikap netral dan masa bodoh diperlihatkan oleh orang yang menjalankan hokum (hakim, polisi, dsb) terhadap pelanggaran-pelanggaran kemanusian yang disebabkan oleh Nazisme, umpamanya : berakar pada maslah BISMARCK bahkan sebelumnya. Keadaan di Jerman ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan Eropah Barat pada abad ke-19. inilah sebabnya mengapa Raunchning mengemukakan bahwa yang bertanggung jawab terhadap timbulnya Nazisme adalah seluruh kebudayaan Barat, bukanlah hanya Jerman. Yakni pengaruh sekularisme dalam kebudayaan Eropah Barat.
Raunchning dengan persetujuan banyak yang lain-lain menganggap gerakan Nazisme ini pada hakikatnya suatu aliran yang berdasarkan nihilisme. Satu-satunya nilai yang mereka percaya ialah perlunya kekuasaan untuki berkuasa, perlunya macht untuk macht. Sikap ini hanya dapat timbul dalam suatu masyarakat dimana sekularisme dapat hidup dengan subur. Sikap nihilisme ini tampak juga dikalangan Bolshewick. Mereka penganut sekularisme yang fanatic, mereka telah menjalankan kebuasan-kebuasan secara besar-besaran.
Saudara ketua !
Sampai demikian pengaruhnya sekularisme dalam hidup ketatanegaraan yang sekulair, dalam taraf hidup perkembangannya yang sudah lanjut. Dan dalam taraf yang demikian pula kita dapat melihat, sifat-sifatnya yang sebenarnya sehingga dapatlah kita dengan terang mempelajari jalannya pengaruh sekularisme atau la-diniayah, atau tanpa agama itu.
Oleh karena itulah saudara ketua, dari jaman purbakala dimulai dari Plato samkpai dewasa ini, ahli-ahli filsafat kenegaraan (politik filosofi) telah banyak memberikan perhatiannya dalam masalah ini. Pada zaman seorang Perancis yang mendalam mpandangannya mengenai ilmu kemasyarakatan, Alexis de tocqueville juga telah memberi sokongannya terhadap dasar ke Agamaan dan menolak sekularisme, sebagai dasar Negara.
Berkata A. de Tocqueville antara lain :
“Kekuasaan yang terbatas pada hakikatnya adalah suatu hal yang buruk dan berbahaya, manusia berkerja untuk menjalankan dengna teliti dan bijaksana. Hanya Tuhanlah Yang maha Kuasa, karena hikmat dan keadilan-Nya senantiasa seimbang dengan kekuasaanNya. Tetapi tidak ada satupun kekuasaan di dunia ini yang demikian berhak atas penghormatan atau atas ketaatan yang khidmat kepada hak-hak yang diwakilinya, sehingga saya dapat menerima kekuasaan diatas segala lapangan dengan tidak dikendalikan.
Jika saya melihat bahwa hak dan kekuasaan penuh itu diberikan kepada satu rakyat, ataupun seorang raja, kepada satu aristokrasi, ataupun demokrasi, kepada satu kerajaan ataupun satu republic, disitulah saya lihat benihnya tirani, dan pergilah saya terus kepada Negara yang lebih memberi harapan.” Demikian Alexis de Tocqueville.
Saudara ketua !
Apakah kita sesungguhnya telah menyadari benar-benar bahaya secularisme sebagaimana yang saya kemukakan tad, itu, selama kita hidup bernegara yang sekulair seperti sekarang ini ?
Apakah tidak karena sekularisme tadi maka makin lama, makin terasa adanya gejala-gejala didalam masyrakat kita dan merosotnya nilai hidup, berlakunya pelanggaran-pelanggaran atas nilai-nilai hidup oleh orang-orang yang berkuasa dengan secara sinis, lalu diikuti rakyat banyak ?
Tidakkah paham sekularisme ini yang menyebabkan tambah berkembanganya atheisme dinegra kita ?
6. Apa kelebihan Agama dari Sekularisme ?
Saudara ketua !
Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknyapun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Paham Agama memberikan tujuan yang paling tinggi. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut “humanity” (perikemanusiaan) ! Yang menjadi soal adalah pertanyaan : Dimana sumber perikemanusiaan itu ? Apa dasarnya ?
Komunisme umpamanya, mempunyai konsep “perikemanusiaan” yang berlainan dengan kita. Di dalam Negara yang mereka cita-citakan, adanya hak milik dianggap melanggar asas-asas perikemanusiaan, karena sesuai dengan fithrah manusia.
Sekularisme, la-diniyah, tanpa agama, saudara ketua, tidak bisa memberi keputusan jika ada pertentangan pikiran berkenaan dengan konsepsi masyarakat, hidup sempurna, dan sebagainya. Pertentangan tentang konsep kemanusiaan ini tidak mungkin diselesaikan dengan paham sekularisme, yang pada hakikatnya merelativekan semua pandangan-pandangan hidup. Paham agama adalah sebaliknya. Ia memberikan dasar yang terlepas dari rrelativevisme. Inilah sebabnya mengapa konsepsi “humanity” yang berdasarkan agama, lebih logis, lebih meliputi, dan lebih memuaskan. Paham agama memberikan dasar yang tetap, yang tidak berubah. Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang tetap, harus mempunyai apa yang dinamakan point of refrence, titik tempat mengembalikan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap maka niscaya krisis atau bencana akan timbul.
Saudara ketua !
Tidak ada satupun lapangan hidup manusia yang dapat dipisahkan dari agama atau falsafah hidup. Kita hanya dapat memilih dianatara dua, paham yang berdasarkan agama atau sekularisme, la diniyah tadi.
Sekularisme sebagaimana kita lihat, tidak memberikan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan masyarakat, malah menggoyahkan sendi-sendi hiduporang perseorangan dan masyarakat.
Paham agama mempunyai kelebihannya sendiri. Apa yang dimaksudkan dengan perkataan agama, ataupun religion ?
Saudara ketua !
Agama itu adalah satu kepercayaan dan cara hidup yang mengandung factor-faktor, antara lain :
• Percaya dengan adanya Tuhan, sebagai sumber daripada hokum dan nilai hidup.
• Percaya dengan wahyu Tuhan kepada RasulNya.
• Percaya dengan adanya hubungan antara Tuhan dan manusia / perseorangan.
• Percaya bahwa hubungan ini dapat mempengaruhi hidupnya sehari-hari.
• Percaya bahwa dengan matinya seorang, hidup rohnya tidak berakhir.
• Percaya dengan ibadat sebagai cara mengadakan hubungan dengan Tuhan.
• Percaya dengan Tuhan sebagai sumber dari norma-norma dan nilai hidup
• Percaya dengan keridhaan Tuhan sebagai tujuan didalam dunia ini.
Saudara ketua !
Apa kelebihan agama dari segala paham yang sekulair ?
Pertama : Agama memberi kepada pemeluknya lebih banyak kemungkinan untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran. Segala falsafat yang sekulair mengakui sebanyak tiga dasar berpikir, yaitu : empirisme (mazhabul tajribah), ratioanalisme (mazhabul aqly), dan intuitionisme (mazhabul ilham). Dasar whayu, revelation ataupun open baring tidak diakuinya. Agama lebih dari pada itu. Ia mengakui semuanya itu dan memberikan ketentuan yang tegas dimana daerah berlakunya masing-masing. Oleh karena itulah, agama lebih luas dan lebih dalam dari pada paham sekulair.
Kedua : Paham Agama meliputi seluruh bagian hidup. Seorang yang menderita karena ditinggal mati oleh seorang yang dikasihi, dapat suatu tafsiran ataupun penjelasan daripada agama. Matinya seorang ini ada artinya didalam plan hidup yang dibentangkan oleh agama. Begitu juga penderitaan yang ditinggalkannya. Segala kejadian itu ada hubungannya dengan yang menguasai alam ini. Perasaan yang diderita oleh yang ditinggalkan tidak dibiarkan begitu saja. Didalam keadaan demikian agama memberi pegangan hidup yang harus diikuti. Pendeknya, didalam segala lapangan hidup, pikiran, perasaan, tindakan dan lain-lain, agama memberi pimpinan.
Tidak demikian halnya dengan paham sekulair. Seorang Marx atau seorang Darwin tidak memberi tempat dalam falsafah hidupnya kepada pergolakan yang terjadi didalam jiwa manusia. Semuanya hanya ditinjau dari sudut proses alam atau nature semata-mata. Yang dipentingkannya adalah manusia sebagai group (kolektivity).
Saudara ketua !
Kembali kepada soal perpaduan antara ide dan perasaan tadi, agama tidak hanya menguatkan percaya dengan beberapa ajaran-ajaran yang tertentu. Agama oleh karena beberap sifatnya yang khusus mempunyai kesanggupan untuk menggerakan jiwa manusia dan dalam hal ini ternyata berlainan pengaruhnya dari falsafat.
Saudara ketua !
Seorang ahli filsafat dan ilmu jiwa yang ternama, Wiliam James membandingkan pengaruh kepercayaan atas orang nasrani pada permulaan timbulnya agama Kristen dengan pengaruh ide-ide humanisme atas falsafah Stoa.
Mereka keduanya percaya dengan adanya Tuhan. Hanya yang satu agama yang satunya filsafat. Perasaan dan tenaga bathin yang digerakan oleh agamanya bagi seorang nashrani berlainan daripada pengaruhnya humanisme atas seorang pengikut Stoa. Sungguhpun pokok-pokok kepercayaan masing-masing banyak yang sesuai. Gerakan bathin yang khusus ini adalah kelebihan agama karena pengaruhnya itu sangat mendalam sehingga meninggalkan bekas.
Gerakan bathin ini sebagaimana kita telah kemukakan menguatkan perasaan hidup manusia lebih dari pada filsafat, oleh karena memang agama lebih cocok dengan fithrah manusia.
Emile Durkheim seorang sosiolog ternama menggambarkan hal ini sebagai berikut : “Seorang yang percaya dengan agama dan telah mengadakan hubugnan dengan
Tuhan nya, bukanlah hanya seorang yang telah melihat kebenaran baru yang diketahui oleh yang tidak percaya. Orang yang percaya itu adalah orang yang lebih kuat untuk menderita percobaan hidup ataupun untuk menaklukannya.”
7. Tragik Panca Sila yang Sekulair, tanpa Agama
Saudara ketua !
Di Indonesia paham hidup yang menggerakan jiwanya rakyat adalah agam, agam yang sifat-sifat umumnya telah saya kemukakan. Dengan sendirinya asas Negara kita harus berdasar agama, bukan suatu rangkaian berupa ide yang dianggap diterima oelh umum, sebagai Panca Sila. Panca Sila tidak dipercayai sebagai agama, kalaupun ada terumus di dalamnya “Sila Ketuhanan”, sumbernya, backgroundnya adalah sekulair, la diniyah, tanpa agama.
Ia bukan bersumber kepada salah satu wahyu Illahi. Ia adalah dan ternyata hasil penggalian. Penggalian dari masyarakat. Ia bukan satu pengakuan dan penyaksian akan Kedaulatan Tuhan dengan segala konsekuensinya atas yang mengakui dengan berupa kedaulatan kepada Hukum Illahy yang positif. Ia hanyalah “rasa adanya Tuhan” tanpa wahyu, tanpa konsekuensi. Rasa adanya Tuhan, sebagai “ciptaan ma
*menerapkan syariah di indonesia??
apa sulitnya?
malah udah mulai sebagian
*menerapkan khilafah di indonesia??
apa sulitnya?
sistem parlemen/demokrasi kita memungkinkan terhadap segala perubahan
* yang menjadi tantangan adalah bagaimana membuat semua negara2 arab yg kaya raya (saudi, oman, bahrain, uni emirat arab, qatar, kuwait dll) itu agar mau berubah negara khilafah raya
karena tidaklah lengkap sebuah khilafah apabila arab saudi/semenanjung arab tidak termasuk ke dalam khilafah
Sudah saatnya syari’ah membukakan mata2 ‘mreka’ yg tertidur..
Oke hanya Hukum Allah yang pas dan sesuai mengatur bumi ini. Hukuim buatan manusia semua batil. Semoga Sukses.
HambaMU Trenggalek Setuju Singkirkan Hukum batil dari muka bumi
Ditengah-tengah deru mesin-mesin Kapitalisme,ditengah hiruk pikuknya lautan manusia yang telah digerakkan Industri Sekular.
Ketika manusia telah tersihir gemerlapnya Kehidupan.
Ditengah-tengah manusia yang mabuk Keduniawian.
Diantara serpihan-serpihan nurani yang terkoyak.
Diantara tangis manusia renta ditengah penggusuran.
Ditengah derita dan kenestapaan hidup, dari harga diri dan kehormatan yang telah tercampakan.
Ketika asa manusia-manusia bijak telah menemui kebuntuan.
Ketika pukulan-pukulan perubahan telah membentur Tembok Baja.
Ketika tiupan angin perubahan telah terbendung gunung yang kokoh, ketika gelombang Reformasi membentur karang.
AKU wewakili perasaan yang tersayat, mewakili nurani yang terkoyak, mewakili serpihan harga diri dan kehormatan yang masih dimiliki, menyerukan kepada seluruh kaum muslimin..untuukkk..REVOLUSI ISLAM ..!!!!
REVOLUSI untuk menegakkan hukum Allah ( menjadi AGeNDA UTAMA UMMAT ISLAM ) , mendirikan Negara Khilafah Islamiyah,menantang kekufuran yang dipimpin Negara Setan Kapitalisme Dan Sosialisme.
Karena hanya itu jalan satu-satunya menuju ummat yang terbaik…
Sebenarnya jika ummat tahu persis apa itu khilafah, syariah Islam dan concept Imamah(Ulil ‘Amri), yakin tidak akan ada penolakan. Persoalan berikutnya adalah perilaku politikus yang mengatas namakan Islam membuat orang bertanya miring tentang concept Khilafah. Maka tugas kita yang rindu tegaknya Khilafah untuk mensosialisaikan concept ini dengan santun namun tetap tegas dan tegar ! Maka saya berdo’a agar kita bisa bergandengan tangan kerja keras agar tegaknya Khilafah segera wujud. Sejahtera Adil Damai dsb cukup satu kata ISLAM, maka semuanya sudah tercover . Hukum
ALLAH complit !!!