HTI-Press. Insiden ricuh pembagian zakat hingga memakan 21 korban jiwa di Pasuruan Senin (15/9) kemarin merupakan fakta kondisi masyarakat yang sangat mengkhawatirkan. Masyarakat miskin di negeri ini sedang mengalami tekanan daya beli yang luar biasa dan tingkat kesejahteraan yang merosot tajam. Hal ini disampaikan oleh pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini.
“Kalau bagi mereka, uang sebesar 30 ribu menjadi sangat berharga karena tidak adanya peningkatan daya beli masyarakat di tengah tingginya harga-harga kebutuhan pokok,” ujar Hendri Saparini saat diwawancarai HTI Press, Selasa (16/9).
Hendri Saparini melanjutkan, sebenarnya masyarakat sudah tahu resiko yang akan mereka tanggung saat akan berebut dana zakat tersebut, namun mereka tak punya pilihan lain.
“Nah, pertanyaannya sekarang, mana yang benar fakta di lapangan atau laporan pemerintah yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat meningkat dengan indikator angka pengangguran menurun dan kemiskinan menurun?” lanjut Hendri.
Masih menurutnya, ternyata ada gap antara fakta di masyarakat dengan laporan pemerintah tersebut. Ia pun memaparkan beberapa data yang mendukung fakta yang benar-benar terjadi terutama di masyarakat lapisan bawah atau kaum miskin.
Pertama, pada tahun 2007, inflasi atau kenaikan harga pangan di negeri ini mencapai 2 kali lipat dari sebelumnya 6,6 % menjadi 11,4 %. Dalam kondisi seperti ini, dampak yang dirasakan oleh masyarakat miskin jauh lebih besar. Hal ini dikarenakan masyarakat miskin menggunakan 70 % pengeluaran rumah tangganya untuk makan.
Tak cukup dengan meningkatnya inflasi harga pangan yang terus naik hingga bulan Mei 2008 yang telah mencapai 13 %, masyarakat miskin kembali dihantam dengan kenaikan harga BBM sebesar 28,7 %.
Kedua, ini yang mengejutkan, ternyata data inflasi yang dilansir pemerintah di atas sangat bias terutama pada masyarakat di tingkat urban (pedesaan-red) dan masyarakat miskin kota. Hal ini dikarenakan, data tersebut hanya mencakup 14 kota di Indonesia dengan sampel warga masyarakat yang berpendidikan SMA ke atas. Dengan kata lain, inflasi yang terjadi sebenarnya bisa lebih tinggi lagi.
Ketiga, pemerintah mengatakan telah memberikan kompensasi akibat naiknya harga BBM dimana kompensasi itu dijanjikan akan menguntungkan masyarakat kelas bawah. Masalahnya, pemerintah ternyata tak benar-benar serius memberikan kompensasi tersebut. Dana BLT seharusnya diberikan segera setelah kenaikan harga BBM. Nyatanya, pemerintah baru memberikan BLT tiga bulan lebih pasca kenaikan harga BBM tersebut. Masyarakat dibiarkan mengalami tekanan akibat naiknya BBM setidaknya selama tiga bulan tanpa kompensasi yang telah dijanjikan.
“Jelaslah bahwa pilihan-pilihan kebijakan pemerintah menjadi tidak cocok dengan laporan yang mereka buat sendiri,” tandas anggota Tim Indonesia Bangkit ini. (ihsan/li)