Pancasila yang dijadikan pijakan paling dasar, sekaligus menjadi identitas kebangsaan Indonesia selama ini, sepertinya menjadi konsep yang makin hilang dari ingatan publik. Dalam konteks bernegara, masyarakat menilai pemerintah belum mampu mengaktualisasi Pancasila dalam setiap kebijakan yang dibuatnya.
Sebagian anggota masyarakat yang menjadi responden jajak pendapat Litbang Kompas mempertanyakan kemampuan negara dalam mengaktualisasikan Pancasila dalam setiap kebijakan yang dihasilkan, terutama terkait kebijakan negara yang dinilai tidak pro-kesejahteraan sosial, seperti yang disebut dalam pasal terakhir Pancasila. Ini tercermin dari pendapat mayoritas responden (79,8 persen) yang menilai pemerintah belum mampu menunjukkan sikap adil terhadap masyarakat.
Hasil Jajak Pendapat Kompas, yang diselenggarakan terhadap 860 responden di sepuluh kota di Indonesia, ini juga menunjukkan, ternyata cukup banyak orang yang lupa dan tidak hafal isi Pancasila. Saat responden diminta untuk membacakan lima sila dari Pancasila, sebanyak 90,8 persen hafal sila pertama.
Namun, saat dilanjutkan pada sila berikutnya, sedikitnya 27,8 persen lupa isi sila kedua, 23,8 persen lupa sila ketiga, dan sebanyak 30,2 persen tidak ingat sila keempat. Juga, 28,8 persen lupa bunyi sila kelima. Jika hafal saja tidak, sulit untuk membayangkan warga memahami dan menghayatinya.
Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini.
Ritual peringatan Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya yang dilakukan setiap tahun terus mengalami perubahan makna dalam setiap rezim yang berkuasa. Rezim Orde Baru memaknainya sebagai kemenangan Pancasila atas gerakan Partai Komunis Indonesia dalam tragedi 30 September 1965.
Keberhasilan menumpas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan oleh rakyat dan ABRI saat itu seolah diyakini sebagai bukti saktinya Pancasila dari upaya penggeserannya sebagai dasar negara. Karena di hari setelah peristiwa G30S/PKI, 1 Oktober atau titik awal periode Orde Baru, dicanangkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini gaungnya lebih kuat ketimbang peringatan atas hari lahirnya Pancasila.
Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.
Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi.
Rezim Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Upaya penunggalan interpretasi juga dilakukan oleh negara terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali. Setiap organisasi massa dalam bentuk apa pun, termasuk organisasi keagamaan, wajib menjadikan Pancasila sebagai asas institusi mereka. Cap anti-Pancasila diberikan kepada mereka yang menolak asas tunggal Pancasila. Langkah ini dipercaya sebagai upaya memelihara Pancasila agar tetap sakti.
Ideologi atau bukan?
Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Kompas, 6/12/2001).
Rezim Orde Baru dianggap menyalahgunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk memberangus berbagai upaya dan tuntutan demokratisasi. Seperti diungkapkan Franz Magnis-Suseno (Kompas, 23/10/2005), Orde Baru menyimbolkan peristiwa G30S/PKI sebagai kekuatan anti-Pancasila. Cap PKI terhadap kelompok yang kritis terhadap pemegang tampuk kekuasaan di saat itu pun tak jarang digunakan sebagai alat pemberangus gerakan mereka.
Bahkan, pada sejumlah konflik antara negara dan rakyat, seperti kasus konflik pertanahan atau demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, simbol anti-Pancasila sering digunakan sebagai penyelesaian.
Indoktrinasi Pancasila sebagai sebuah kekuatan sakral nan sakti, yang kadung dilakukan selama periode Orde Baru, oleh sebagian kelompok dipercaya justru mendangkalkan pemaknaan terhadap Pancasila. Penafsiran tunggal atas dasar negara ini lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memperkuat otoriterianisme, sekaligus menutup pemahaman kritis terhadap Pancasila.
Rezim keterbukaan saat ini memang memungkinkan berkembangnya cara pandang baru terhadap Pancasila. Namun, di tengah berbagai pandangan atas peran dan posisi Pancasila yang berkembang saat ini, tampak satu garis merah yang disepakati bersama bahwa Pancasila, bagaimanapun, telah menjadi ciri khas dan jati diri bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.
Sebatas jargon
Mayoritas responden dalam jajak pendapat ini sepakat, sebagai identitas bangsa, Pancasila tetap menjadi landasan terbaik berdirinya bangsa ini. Hampir seluruh responden (96,6 persen) menyatakan, Pancasila haruslah dipertahankan sebagai dasar negara. Sebanyak 92,1 persen menegaskan, Pancasila sebagai landasan terbaik untuk bangsa ini.
Meski demikian, sebagian publik (55 persen responden) meragukan keseriusan pemerintah menerapkan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Ini sangat mungkin dipicu oleh keprihatinan atas kondisi sosial dan ekonomi saat ini.
”Bukan rakyat yang seharusnya dituntut memahami dan menghayati Pancasila, melainkan pemerintah yang dicerminkan lewat kebijakan yang dibuatnya,” kata Suzan (32), seorang responden asal Jakarta.
Warga Jakarta itu berpendapat, Pancasila yang seharusnya menjadi landasan dari segala proses pembuatan kebijakan belum terlihat aktualisasinya. ”Bukankah dalam membuat kebijakan pemerintah harus sesuai dengan isi Pancasila? Lalu, kenapa banyak kebijakan negara yang sangat jelas tidak pro-keadilan sosial seperti disebut dalam Pancasila itu?” tanya Suzan.
Suara Suzan mewakili 74,5 persen dari 860 responden lain yang menyatakan, pemerintah belum mampu menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini Pancasila memang lebih banyak dipahami sebatas konsepsi politik. Pancasila lebih banyak digunakan sebagai jargon yang bias makna jika dihadapkan pada realitas sosial yang ada.
Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil. (Litbang Kompas; kompas online; Selasa, 30 September 2008 | 03:00 WIB )
Pendapat yang menarik dan saya setuju : Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis (Kompas, 6/12/2001).