Kegoncangan Pasar Modal di Barat (1)

Pada minggu terakhir Oktober 1997 lalu, harga-harga saham di pasar-pasar modal (bursa efek) utama telah jatuh secara drastis. Fenomena ini bermula dari Hongkong, lalu merembet ke Jepang, terus ke Eropa, dan akhirnya sampai ke Amerika. Anjloknya harga saham tersebut terjadi secara ber- turutan dari satu negeri ke negeri lain, mengikuti letak terbitnya matahari di masing-masing negeri tersebut.

Krisis tersebut disertai satu trauma di tengah masyarakat, bahwa apa yang terjadi merupakan ulangan dari peristiwa seru- pa pada Oktober 1987, tatkala indeks harga saham di New York turun 22 % dalam sehari. Atau sebagai ulangan dari peris- tiwa yang lebih gawat lagi, yang terjadi pada tahun 1929 ketika jatuhnya nilai saham di Amerika telah menimbulkan depresi ekonomi yang sangat parah. Buku-buku sejarah senantiasa menyebut peristiwa itu sebagai “Depresi Besar” (The Great Depression) yang telah menyebabkan terus berlanjutnya keme- laratan, kelaparan, dan kesengsaraan. Krisis ini tidak teratasi, kecuali setelah keluarnya keputusan Presiden Roosevelt untuk menerjunkan Amerika ke dalam kancah Perang Dunia II dan membangkitkan perekonomian Amerika dengan cara mempro- duksi kebutuhan-kebutuhan perang yang sangat besar.

Krisis yang belakangan ini melanda Eropa dan Amerika tersebut, didahului beberapa peristiwa yang terjadi sepanjang musim kemarau ini, yaitu jatuhnya nilai tukar (kurs) mata uang di negara-negara Asia Tenggara, anjloknya harga saham peru- sahaan-perusahaannya, serta sekaratnya bank-bank dan perusa- haan-perusahaannya. Krisis-krisis ini bertolak dari Thailand, lalu ke Filipina, Malaysia, dan Indonesia, kemudian menular bagaikan wabah ke Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara Asia Utara. Wabah menular ini pada akhir Oktober 1997 telah melanda Hongkong, yang merupakan basis investasi Barat yang besar di kawasan Asia. Pada saat itulah, pasar-pasar modal di Barat sadar bahwa wabah yang melanda ternyata sangat berbahaya. Maka terjadilah berbagai krisis di pasar- pasar modal Eropa dan Amerika, terutama New York.

Dua krisis tersebut –di Asia dan di Barat– disebabkan adanya sifat-sifat khas yang melekat pada sistem ekonomi kapitalis itu sendiri, meskipun kedua krisis tersebut tidak dapat dikatakan sama persis dan tidak dapat pula dinilai dengan tolok ukur yang sama.

Pasar-pasar modal di Asia Tenggara sesungguhnya sangat lemah dan rapuh. Orang-orang yang memperdagangkan sahamnya di sana hanya beberapa gelintir saja dan boleh di- katakan belum berpengalaman. Yang banyak memanfaatkan pasar-pasar modal itu justru para penguasanya yang korup, seperti penguasa Thailand dan Indonesia. Para penguasa inilah yang terus mempromosikan pasar-pasar modal tersebut, serta mengizinkan para investor Barat untuk berdagang saham di sana dan memantapkan posisinya dengan cepat di pasar-pasar modal yang ada.

Sebenarnya, Amerikalah yang telah mendorong para pe- nguasa itu –dan juga banyak penguasa di negara lain– untuk mengambil kebijakan tersebut. Tujuannya, agar penguasa terse- but membuka pasar-pasar modal mereka dengan mengikuti pola Barat, sehingga terbukalah kesempatan kepada para inves- tor Barat untuk berdagang saham di pasar modal dan mema- sukkan atau menarik modalnya ke/dari negeri-negeri tersebut dengan mudah kapan saja mereka suka. Amerika berdalih, semua ini akan dapat menggalakkan penanaman modal asing di negeri-negeri tersebut, di samping merupakan salah satu tuntu- tan globalisasi ekonomi masa kini.

Tetapi, investasi yang ada sebenarnya bukanlah inves- tasi riil dari Barat di negeri-negeri lain, meskipun memang disebut sebagai “investasi tak langsung”. Sebab, investasi yang riil adalah seperti yang pernah dilakukan Amerika pasca Perang Dunia II, tatkala mereka menguasasi banyak pabrik dan perusa- haan baik di Eropa maupun di negeri-negeri lain, lalu menge- lolanya secara langsung dan menggabungkannya dengan peru- sahaan-perusahaan induk mereka di Amerika. Inilah investasi yang langsung dan riil itu.

Sedang investasi tak langsung, ditempuh dengan cara membeli sejumlah saham perusahaan-perusahaan lokal yang dikelola oleh negara atau oleh pemiliknya yang usahanya ber- skala lokal. Sebagian dari saham perusahaan tersebut beredar di pasar modal lokal. Para investor lalu membeli saham-saham tersebut di pasar modal yang ada. Namun mereka tidak ber- tujuan untuk memiliki atau mengelola perusahaan, dan tidak pula bertujuan untuk ikut memperoleh laba perusahaan dengan menunggu dividen yang dibagikan pertahun. Tujuan mereka adalah memperoleh laba (capital gain) yang besar secara cepat, karena adanya lonjakan harga-harga saham yang telah mereka beli.

Para investor itu merekayasa pasar modal sedemikian rupa untuk tujuan mereka tersebut, dengan cara mempenga- ruhi harga-harga saham di negara-negara yang disebut negara- negara berkembang. Pasar-pasar modal di negara-negara ber- kembang ini kecil saja, sehingga merekayasa harga-harga sahamnya adalah hal yang mudah bagi para investor asing itu. Sementara orang-orang lokal yang berdagang saham di pasar modal tersebut juga sedikit, yang dapat ditaklukkan oleh iming- iming harta benda, trik-trik pasar, serta gertakan-gertakan yang dilakukan oleh para investor Barat.

Ketika investor Barat datang –yang umumnya mempu- nyai dana investasi ratusan juta bahkan ratusan milyar US dolar, yang berasal dari modal pengusaha raksasa Barat atau pinjaman dari bank– lalu membeli saham lokal, maka dia tidak akan menunggu begitu saja naiknya harga saham sebagaimana lazimnya seorang penonton. Dia akan menggunakan berbagai trik yang sengaja direkayasanya untuk melariskan saham yang dibelinya. Misalnya dengan membocorkan berita ke media massa bahwa dia telah menginvestasikan modalnya yang besar pada saham tertentu, atau bahwa studi yang dilakukannya memprediksikan bahwa perusahaan tempat dia membeli saham mempunyai masa depan yang cerah, dan trik-trik lainnya yang tidak disadari hakikatnya oleh orang-orang Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Akibatnya, penduduk di negeri-negeri itu ber-lomba-lomba membeli saham tersebut, sehingga harga saham pun cepat atau lambat akan melonjak. Dan investor Barat yang telah menginvestasikan modalnya itu umumnya tidak perlu menunggu terlalu lama. Harga-harga saham pun segera melon- jak menurut prediksi yang dibuatnya, kemudian dia menjual saham-sahamnya kepada penduduk negeri-negeri tersebut di pasar modal setempat, atau pasar modal internasional. Dia lalu mengambil modal pokoknya berikut laba yang diperolehnya dengan kilat, untuk kemudian mencari saham-saham perusaha- an lain, baik di negeri yang sama maupun di negeri lainnya. Semua ini berlangsung sebelum penduduk negeri-negeri ter- sebut sadar akan apa yang telah terjadi dan menimpa mereka.

Kadang-kadang beberapa investor Barat beraksi seakan- akan sebagai satu grup, sebab target dan aktivitas mereka memang serupa. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadi keme- rosotan harga yang merata di pasar modal ketika para investor menarik modalnya dari pasar sekaligus. Akibatnya, jatuhlah nilai mata uang negeri setempat, dan terancamlah bank-bank lokal yang meminjamkan modalnya untuk diikutsertakan dalam pasar modal.

Itulah investasi tak langsung yang senantiasa dipropa- gandakan oleh Amerika dan dipaksakannya atas “negara- negara berkembang” setelah Uni Soviet runtuh, sehingga Amerika menjadi satu-satunya kekuatan yang dapat memaksa- kan hegemoninya dalam kancah politik dan ekonomi inter- nasional.

Fakta investasi ini –yang ternyata menjadi lebih besar dan lebih berbahaya daripada investasi langsung– sesungguh- nya adalah perampasan terhadap harta kekayaan dan sumber perekonomian negara-negara dunia ketiga. Investasi tersebut juga merupakan sebab utama dari krisis moneter dan krisis ekonomi yang menjadi konsekuensinya, serta telah memelarat- kan penduduk negara dunia ketiga secara hina, baik di Amerika Latin seperti Meksiko, Brazil, Argentina, maupun di Timur Tengah seperti Mesir dan Yordania. Dan investasi itu pulalah yang menjadi sebab munculnya krisis yang telah dan sedang terjadi di pasar-pasar modal di Asia Tenggara, seperti Indo- nesia dan Malaysia.

Adapun pasar-pasar modal di Eropa dan Amerika, sangatlah berbeda dengan pasar-pasar modal di negara-negara berkembang tadi. Pasar-pasar modal di sana sudah sangat mengakar dan telah eksis selama dua abad atau lebih. Mereka yang berdagang saham pada sebagian pasar modal jumlahnya mencapai ratusan ribu orang, sedang pada pasar modal terbesar –yakni di London dan New York– mencapai jutaan orang. Modal yang diinvestasikan dalam saham-saham dan surat-surat berharga jumlahnya pun sangat besar. Ada yang menyebutkan bahwa jumlahnya melebihi nilai riil dari aset (kekayaan) yang ada di Eropa dan Amerika, seperti aset yang berbentuk tanah, toko, pabrik, dan berbagai komoditas perdagangan. Dikatakan pula bahwa aktivitas pasar modal dan surat berharga –yaitu nilai barang-barang yang dibeli dan dijual dari pasar modal itu– melebihi nilai riil seluruh barang dan jasa yang ada. Ini berarti, bahwa faktor banyaknya pedagang saham di pasar-pasar modal itu, cukupnya modal mereka, dan kerasnya kompetisi di antara mereka, telah menghalangi siapa pun dari mereka untuk men- dominasi pasar –atau bagian tertentu dari pasar– secara tunggal guna mencari keuntungan dengan cepat dari para investor lain- nya yang mempunyai modal besar.

Meskipun demikian, ternyata banyak juga pedagang saham di pasar-pasar modal tersebut yang berhasil meraup ke- untungan yang sangat besar dari pasar-pasar tersebut, dan menghabiskan waktunya untuk memperdagangkan saham di sana. Mereka telah menemukan berbagai strategi, taktik, dan transaksi yang mengikat, guna mempengaruhi waktu penjualan atau pembelian saham termasuk harga-harganya. Padahal cara- cara itu tidak berhubungan langsung dengan kegiatan perusaha- an yang memperjualbelikan sahamnya. Tidak berkaitan pula dengan pasar yang menyediakan barang dan jasa atau dengan penetapan labanya. Berbagai strategi pemasaran saham ini, berikut trik-triknya, dan transaksi-transaksi yang cepat di pasar modal, telah menjadi topik studi di kebanyakan perguruan tinggi.

Hanya saja, semua pasar modal yang memperdagangkan saham perusahaan (perseroan terbatas publik) tersebut, dan pasar yang seperti itu –yakni pasar yang memperdagangkan surat utang (obligasi) dari kas negara dan surat utang perusa- haan– sesungguhnya lebih rapuh daripada sarang laba-laba. Sebab, kesediaan masyarakat untuk memperdagangkan saham- nya di pasar-pasar tersebut sebenarnya didasarkan pada suatu “kepercayaan” bahwa harga berbagai saham dan surat berharga itu akan terus menerus naik. Selain itu didasarkan juga pada ketamakan untuk mendapatkan laba yang mudah diperoleh dari kenaikan harga saham. Sikap tamak mereka ini –khususnya di Barat– nampaknya tidak pernah mengenal batas, dan akan tetap ada selama matahari masih terbit dari timur.

Oleh sebab itulah, mereka bersedia membeli surat-surat berharga karena mengharapkan adanya laba. “Kepercayaan” dan ketamakan ini pula yang dipromosikan oleh para pialang saham (broker) di pasar-pasar modal tersebut. Mereka melaku- kan jual beli saham atau surat berharga sebagai perantara/wakil dari masyarakat umum, dan mengambil komisi yang besar untuk aktivitasnya ini.

Akan tetapi, “kepercayaan” tersebut suatu saat dapat goyah karena sebab-sebab yang telah diramalkan ataupun yang tidak diramalkan. Pasar menjadi goncang dan banyak pemilik saham yang pada waktu bersamaan ingin cepat-cepat menjual sahamnya dan meraup laba yang telah mereka perkirakan dari kenaikan harga saham. Semua pemilik saham ingin menjual secepat mungkin, sehingga akhirnya jatuhlah harga saham. Ini semakin memperbanyak jumlah orang yang hendak menjual sahamnya, sehingga akibatnya harga saham terus menerus merosot sampai ke titik terendah. Inilah peristiwa yang pernah terjadi pada tahun 1929, atau yang hampir terjadi tahun 1987, atau yang terus dikhawatirkan akan terjadi pada akhir tahun 1997 ini.

Seorang muslim yang sadar tentu tak perlu prihatin ter- hadap krisis-krisis yang menimpa Barat dan sistem kehidupan- nya yang kapitalistis itu. Namun dia tentu akan sangat prihatin melihat bencana yang menimpa kaum muslimin –seperti Indonesia dan Malaysia– yang telah mengekor Barat dan mengambil sistem kehidupannya serta terkecoh dengan pasar modalnya yang rapuh bak sarang laba-laba itu. Dia tentu priha- tin pula menyaksikan kaum muslimin telah membenarkan propaganda Barat, bahwa tak ada jalan lain untuk meraih ke- majuan ekonomi kecuali dengan mengikuti “sistem pasar ter- buka”, yakni liberalisasi ekonomi yang absolut –termasuk bersedia berkompetisi melawan investasi Barat baik yang langsung maupun tak langsung– serta terjun dalam “ekonomi global”, yakni bersedia membangun pabrik-pabrik milik perusahaan-perusahaan Barat di negeri-negeri Islam, dengan memanfaatkan jutaan tenaga kerjanya yang murah-meriah untuk memproduksi barang-barang konsumtif bagi pasar mereka.

Seorang muslim yang sadar juga akan sangat prihatin tatkala menyaksikan ide-ide Barat yang kapitalistis –termasuk yang berkaitan dengan pasar modal– ternyata dapat diterima oleh kaum muslimin, karena adanya serangan media massa yang sangat intensif yang terus menerus dilancarkan Amerika setelah hancurnya Komunisme. Serangan tersebut bertujuan menyebarkan ilusi kosong kepada dunia bahwa dunia tak punya alternatif lain, kecuali mengikuti ideologi Kapitalisme. Begitu pula terus mereka propagandakan bahwa dewasa ini adalah masa keemasan ideologi Kapitalisme.

Padahal, goncangan dahsyat pada pasar-pasar modal raksasa di Barat itu sebenarnya telah menunjukkan kerapuhan pasar modal –yang bagaikan sarang laba-laba itu– dan telah menampakkan cacat-cela sistem ekonomi kapitalis. Terbong- kar juga bahwa kemilaunya kehidupan mereka itu bukanlah kemilau emas yang sejati, melainkan hanyalah kemilau tipuan. Sebab, ide ekonomi kapitalis pada hakikatnya adalah ide yang bersandar pada kemaslahatan belaka. Ide tersebut terbukti telah memerosotkan manusia ke derajat yang paling nista, karena ide itu bertumpu pada dorongan-dorongan naluriah paling rendah pada manusia. Fakta berbagai masyarakat yang menerapkan ide tersebut menunjukkan, bahwa mereka adalah komunitas yang selalu rakus dalam hidup, tidak pernah puas terhadap produk- produk yang mereka hasilkan, serta tak pernah puas pula ter- hadap perilaku konsumtif mereka. Mereka tidak pernah meng- hiraukan nilai-nilai kehidupan apa pun selain nilai kehidupan yang materialistis. Di Barat, golongan minoritas dari kalangan pemilik modallah yang menguasai mayoritas masyarakat yang harus bekerja dengan susah payah dan hidup dalam keresahan. Banyak dari mereka ini adalah orang-orang gelandangan mela- rat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya.

Kendatipun demikian, kaum muslimin tidak boleh hanya menunggu datangnya goncangan ekonomi yang besar di pasar- pasar modal di Barat, agar mereka menyadari kondisi mereka yang telah terkecoh dengan ide-ide kapitalis dan pasar modal yang hakikatnya memang benar-benar bagaikan sarang laba- laba. Haruslah sekarang juga dijelaskan kepada mereka hakikat ide pasar modal, termasuk penjelasan mengenai kerusakannya dan penjelasan bahwa ajaran Islam yang lurus telah meng- haramkan dan tidak memperbolehkan keberadaannya.(bersambung)

(Sumber : Judul Asli : هزّات الأسواق المالية أسبابها وحكم الشرع فى هذه الأسباب ; Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir, Rajab 1418 H/Nop. 1997 M )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*