Layanan Pos di Masa Kejayaan Islam

Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan pada waktu itu sistem per- posan sudah sangat mutakhir. Sistem per- posan dikelola secara terpusat dan berhubungan langsung dengan khalifah.

Ketika Dinasti Umayyah berkuasa (661 M750 M), wilayah kekuasaan Islam terbentang semakin luas. Guna menjalin komunikasi dengan para gubernur yang berkuasa di berbagai provinsi, Kekhalifahan Umayyah mulai membentuk sistem perposan di dunia Islam. Dinasti ini tercatat sebagai salah satu pencipta sistem perposan yang sangat penting dalam sejarah dunia.

Sejarawan Paul Lunde dalam tulisannya berjudul, The Appointed Rounds, mengungkapkan bahwa jasa pos telah mulai dikenal peradaban manusia Mesir Kuno sejak tahun 2000 SM. Selain itu, peradaban Cina dan Romawi pun sudah menerapkannya jauh sebelum Islam hadir di muka bumi. Meski begitu, Lunde memaparkan bahwa jasa perposan mulai dibangun secara mutakhir pada abad ke-9 M— era kejayaan Islam.

Secara khusus, Adam Silverstein dalam bukunya bertajuk, Postal System in PreModern Islam, mengungkapkan sejarah awal mula jasa pos berdiri di dunia Islam. Menurut Silverstein, dalam peradaban Islam sistem perposan dikenal dengan nama barid. Bangsa Romawi menyebut jasa per posan sebagai cursus publicus.

“Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan meru pakan orang pertama yang membentuk barid atau layanan pos di dunia Islam,” papar Silverstein. Muawiyyah membentuk barid untuk mempercepat kedatangan informasi dari provinsi kekuasaan Umayyah yang terpencil. Sejak itu, jasa perposan terus berkembang pesat di dunia Islam yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah.

Salah satu kontribusi penting Kekhalifahan Umayyah bagi dunia perposan dilakukan oleh Ziyad bin Abi Sufyan—salah seorang gubernur penting di era itu. Menurut Akbar Shah Najeebabad dalam bukunya, History of Islam, ketika Ziyad berkuasa, Dinasti Umayyah mulai mendirikan departemen pos. Pada masa itu sudah mulai diangkat para petugas pos dan dibangun sistem perposan.

“Untuk pertama kalinya, Ziyad memperkenalkan sistem pemasangan segel pada surat atau dokumen yang dikirimkan melalui pos,” ungkap Akbar. Hal itu dilakukan untuk menjaga kerahasiaan surat atau dokumen yang dikirim melalui pos. Menurut Akbar, pada segel yang dipasang di setiap surat dan dokumen yang dikirim tercantum kalimat, ‘setiap amal ada pahalanya’.

Selain itu, ciri khas segel yang terpasang pada dokumen atau surat yang dikirim melalui jasa pos pada waktu itu terdapat gambar Ka’bah. Gambar Ka’bah terpampang dalam segel surat bertahan hingga kekuasaan Dinasti Umayyah tumbang pada 750 M. Selain itu, setiap surat yang dikirim akan dibuatkan salinannya dan disimpan di kantor kekhalifahan.

Menurut Silverstein, pembangunan infrastruk tur umum jasa pos— seperti rute dan kantor pos—di zaman Dinasti Umayyah dilakukan pada awal kepemimp inan Khalifah Marwan bin Al-Hakam. Tak heran, jika selepas kekuasaan Marwan berakhir, jasa perposan berkembang pesat di bawah AlWalid bin Abdul-Malik bergelar Al-Walid I (668 M-715 M).

“Sumber literatur, bukti dokumen, dan catatan arkeologi menunjukkan pada waktu itu sistem perposan sudah sangat mutakhir. Sistem perposan dikelola secara terpusat dan berhubungan lang sung dengan khalifah,” imbuh Silverstein. Ketika rezim penguasa dunia Islam mulai berganti di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, pada tahap awal jasa perposan tak mengalami perubahan secara sistem.

Saat itu, hanya terjadi perubahan penguasa yang mengelola departemen pos.

Sejarawan Muslim dari abad ke-10 M, Alt Mas’udi, menyatakan bahwa barid untuk pertama kali melayani pengantaran surat pada zaman kekuasaan Abbasiyah. Sejarah mencatat, pengelolaan sistem perposan yang efektif dan efisien juga dilakukan di era kekuasaan Dinasti Seljuk pada abad ke-9 M.

Seljuk merupakan dinasti Islam yang pernah menguasai Asia Tengah dan Timur Tengah. Wilayah kekuasaan Kekaisaran Seljuk Agung terbentang dari Anatolia hingga ke Rantau Punjab di Asia Selatan. Dinasti ini didirikan oleh suku Oghuz Turki yang berasal dari Asia Tengah.

Menurut Lunde, pengelolaan sistem perposan pada era Dinasti Seljuk mendapat perhatian penuh dari Perdana Menteri Kesultanan Seljuk Turki, Nizam Al-Mulk. Jasa perposan dikembangkan penguasa Dinasti Seljuk agar dapat memperoleh informasi yang cepat dan akurat.

“Adalah tugas seorang raja untuk mengetahui secara benar kondisi para petani dan tentaranya, baik jauh maupun dekat. Seorang raja harus mengetahui informasi mengenai hal itu sebanyak-banyaknya,” tutur Lunde, mengutip pernyataan Nizam Al-Mulk. Untuk menguasai informasi itulah, AlMulk mengangkat pejabat yang khusus mengurusi bidang perposan.

Pada masa itu, Dinasti Seljuk sudah memiliki seorang Diwan Al-Barid—Menteri Pos dan Komunikasi. Bagi pemerinta han Al-Mulk, layanan perposan merupakan lembaga negara yang penting. Departemen Pos dan Telekomunikasi dijadikannya sebagai sebuah agen informasi. Melalui layanan pos, seorang perdana menteri bisa berkomunikasi dengan gubernur di berbagai provinsi yang terbentang begitu luas.

“Pejabat inspektur pos pada masa itu tak hanya memastikan surat-surat yang dikirim sampai di setiap kantor pos,” cetus Lunde. Namun, imbuh dia, para inspektur pos juga bertugas untuk mengumpulkan informasi bagi pemerintah pusat. Secara periodik mereka harus menyampaikan laporannya.

Menurut Lunde, laporan yang harus disampaikan inspektur pos itu berkisar pada kondisi dan hasil panen para petani di daerah, situasi politik, serta kinerja para gubernur di provinsi. “Pengelolaan barid di era Seljuk sebenarnya sangat mirip dengan Pony Express di Amerika Barat,” tegas Lunde.

Namun, di era kekuasaan Seljuk, unta dan kedelai menjadi alat transportasi. Sedangkan di Amerika Barat menggunakan kuda. Lunde mengungkapkan, di setiap empat hingga enam mil sebuah wilayah terdapat kantor pos.

Untuk menghindari kelelahan, petugas penyampai pesan akan diganti di kantor pos berikutnya. Pemerintah Seljuk menggaji ribuan pegawai pos.

Saat itu, yang boleh mengirim pesan hanya pemerintah. Warga negara biasa yang ingin mengirimkan pesan harus menitipkannya pada rombongan pedagang atau menyewa kurir khusus untuk hal-hal mendesak. Pada masa itu, surat baru akan sampai dalam waktu beberapa hari ke tujuan. Jika seseorang mengirim surat dari Kairo dengan tujuan Damaskus, akan sampai dalam empat hari.

Berbeda dengan Pony Express yang hanya dapat bertahan selama 16 bulan, dari tahun 1860 M hingga Oktober 1861 M. Sistem perposan Islam alias barid mampu bertahan hingga beberapa abad. Bahkan, mampu menjangkau hinga ke India. Penjelajah Muslim dari Maroko, Ibnu Batutta, dalam catatan perjalanannya mengungkapkan aktivitas layanan pos di Sind, India, tahun 1333 M. Begitulah layanan pos di dunia Islam berlangsung.

Merpati Pos Ala Dinasti Mamluk

Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.

Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering.

Upaya itu ternyata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-poran dakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.

Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo.

Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal. Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos.

Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. “Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari,” tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.

Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk.

“Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh,” cetus Schiltberger.

Dinasti Mamluk memang bukan yang pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.

Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos parsel. Alkisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas.

Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga akhirnya, Samuel Morse menemukan telegraf pada 1844 M dan Guglielmo Marconi menciptakan radio. heri ruslan

Merpati Pos Ala Dinasti Mamluk

Layanan pos di era kejayaan Islam tak hanya sekadar sebagai pengantar pesan. Dinasti Mamluk yang berkuasa di Mesir pada 1250 M hingga 1517 M juga menjadikan pos sebagai alat pertahanan. Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan pada medio abad ke-13 M, para insinyur Mamluk membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga Mesir.

Di atas menara pengawas itu, selama 24 jam penuh para penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya mengancam di siang hari, petugas akan membakar kayu basah yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari, petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternata tak sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad dan memorak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu, peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga berhasil mencegah masuknya tentara Mongol ke Kairo, Mesir.

Hanya dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti, sama dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari Baghdad ke Kairo dieramodern. Berkat informasi berantai dari menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo. Menurut Paul Lunde, layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk juga sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir rute pos. Meski begitu, penguasa Dinasti Mamluk tak kehabisan akal.

Sejak saat itu, kata dia, Dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan, pasukan Tentara Salib tak dapat mencegah masuknya pesan dari Kairo ke Irak. Merpati pos mampu mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari, tutur Lunde. Sejak itu, peradaban Barat juga mulai meniru layanan pos dengan merpati seperti yang digunakan penguasa Dinasti Mamluk.

Lunde menuturkan, pada 1300 M Dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900 merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji mampu mengirimkan pesan ketempat tujuan. Seorang tentara Jerman bernama Johan Schiltberger menuturkan kehebatan pasukan merpati pos yang dimiliki penguasa Dinasti Mamluk. Sultan Mamluk mengirim surat dengan merpati, sebab dia memiliki banyak musuh, cetus Schiltberger. Dinasti Mamluk memang bukan yang  pertama menggunakan merpati pos. Penggunaan merpati untuk mengirimkan pesan kali pertama diterapkan peradaban Mesir kuno pada 2900 SM.

Pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirimkan pesanan pos par sel. Al kisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan kiriman buah ceri dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah ceri yang dibungkus dengan kain sutra. Pada masa itu, sepasang burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga akhirnya, Samuel Morse menemukan telegraf pada 1844 M dan Guglielmo Marconi menciptakan radio. hri (Republika, 28/10/08)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*