Tiga Poin dari Kemenangan Obama

Rabu, 5 Nopember 2008, Obama terpilih sebagai Presiden AS ke-44. Terpilihnya Obama merupakan fenomena menarik. Lebih fenomenal lagi, kemenangan Obama bukan saja disambut oleh ratusan ribu rakyat AS, tetapi juga oleh rakyat negeri asal ayahnya, Kenya, dan negeri tempat Obama kecil pernah tinggal, Indonesia. Para pemimpin dunia pun silih berganti mengucapkan selamat, dan menaruh harapan kepada seorang Obama.

Pertanyaannya, bisakah kita berharap pada seorang Obama? Inilah poin pertama yang ingin saya kemukakan. Begitu banyak harapan ditujukan kepada Obama. Pemerintah Perancis berharap, AS akan mengubah kebijakannya dalam Perang Melawan Terorisme. Medvedev, Presiden Rusia, juga berharap, di bawah Obama, hubungan AS-Rusia bisa terjalin lebih baik. Ban Kee Moon, Sekjen PBB juga berharap, di bawah Obama, AS bisa menjadikan dunia lebih damai. Sementara dari dunia Islam, tidak lupa Hamid Karzai, Presiden Afganistan dan Mahmud Abbas, Presiden Palestina juga berharap agar AS bisa berperan mewujudkan perdamaian di negeri mereka. Harapan pun disampaikan oleh kaum imigran kulit hitam di Perancis, bahkan Presiden Argentina, bahwa diskriminasi ras tidak boleh ada lagi di dunia.

Tentu saja, semua orang boleh berharap. Tetapi, apakah harapan itu akan terwujud atau tidak, tergantung pada dua faktor: manusia dan sistem. Sebagai manusia, Obama memang memiliki latar belakang budaya dan ras yang komplek. Ayahnya berdarah Afrika-Muslim, sedangkan ibunya Amerika, dari keluarga Kristen. Tetapi, satu fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Obama adalah rakyat dan warga Amerika. Dari mana pun asal-usulnya, dia adalah bangsa Amerika. Amerika sendiri adalah institusi, yang mempunyai nilai, sistem dan ideologi. Selama nilai, sistem dan ideologi yang dianut dan diemban ke seluruh dunia adalah Kapitalisme, maka faktor Obama tidak ada artinya. Meski sedikit berbeda, harapan terhadap Obama saat ini, persis seperti yang pernah terjadi sebelumnya pada Clinton, yang sama-sama dari Demokrat, saat berhasil mengalahkan George Bush senior. Setelah AS memenangkan Perang Dingin, dan Bush menggelindingkan Tata Dunia Baru, AS kala itu menginvasi Irak, tapi kalah. Ekonomi AS pun kedodoran. Namun, setelah Clintorn naik, bukan berarti tidak ada perang. Irak ternyata juga diinvasi. Di bawah Clinton, AS bahkan mengarsiteki Perang Balkan. Di bekas wilayah Yugoslavia itu, AS berhasil menciptakan krisis keamanan di wilayah Eropa, dan berada di belakang kemerdekaan sejumlah bekas wilayah Uni Soviet, di Asia Tengah. Meski menggunakan pendekatan politik Multilateral, Clinton juga tidak segan-segan menggunakan politik Unilateral, jika diperlukan. Di bawah kepemimpinannya, AS berhasil menggelindingkan globalisasi, perdagangan bebas dan ekonomi pasar, yang lebih menguntungkan AS. Di masa kepemimpinan Clinton, Ekonomi AS pun terdongkrak. Bagi rakyat AS, Obama adalah harapan, sebagaimana Clinton, tetapi tidak bagi dunia. Apalagi berharap dunia lebih baik di bawah Obama. Demikian pula soal rasis. Selama masih ada superioritas atas dasar kebangsaan, maka penyakit rasis itu juga tidak akan pernah bisa dihilangkan.

Kedua, kemenangan Obama yang spektakuler dan mendapat dukungan rakyat AS yang luar biasa, justru bisa menjadi legitimasi politik yang sangat mengkhawatirkan. Khususnya dalam politik luar negeri AS, baik dalam menghadapi negara besar maupun dunia ketiga. Karena tanpa legitimasi politik ini, politik luar negeri AS akan menghadapi perlawanan dari rakyatnya sendiri sebagaimana yang dialami oleh Bush junior.

Karena itu, ketika Bush junior terpilih menjadi Presiden AS, saat menang atas Algore dari Demokrat, kala itu Bush hanya mendapat dukungan 25% pemilih. Dalam kondisi seperti itu, tentu sangat sulit bagi Bush untuk menjalankan politik luar negerinya. Dari sanalah, lahir skenario Perang Melawan Terorisme, yang berawal dari serangan sekelompok teroris pada menara kembar WTC yang terletak di jantung AS, New York. Bukan hanya itu, jantung pertahanan dan keamanan AS, Pentagon juga mendapatkan serangan yang sama. Drama inilah yang berhasil digunakan oleh Bush untuk mendapatkan legitimasi politik. Dengan alasan keamanan, rakyat AS pun seolah memberikan dukungan bulat-bulat kepada pemerintahan Bush untuk melakukan politik luar negerinya, Perang Melawan Terorisme. Adalah Afganistan, negara yang menjadi korban pertama politik luar negeri Bush, dan setelah itu Irak. Sampai saat ini, AS masih dihadapkan pada situasi sulit. Di luar negeri, tentaranya terjebak dalam Perang Irak dan Afganistan yang tak kunjung dimenanginya. Sementara di dalam negeri, AS dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tengah menghadapi resesi.

AS memang sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini, sebagaimana yang pernah dialami tahun 1929. Solusi yang dilakukan oleh AS waktu itu adalah perang. Maka, setelah Perang Dunia II, ketika sekutu keluar menjadi pemenang, AS berhasil mendapatkan banyak keuntungan ekonomi. Dari sanalah, AS bisa mengatasi resesi ekonomi yang dihadapinya. Caranya dengan menjajah. Cara yang sama juga tetap akan dilakukan oleh AS di bawah kepemimpinan Obama, meski dengan pendekatan yang bisa jadi berbeda.

Karena itu, dengan melihat nilai, sistem dan ideologi AS yang Kapitalis, serta penjajahan sebagai metode bakunya, maka justru legitimasi politik Obama ini sangat mengkhawatirkan. Dengan kata lain, Obama bisa menjalankan politik luar negerinya, yaitu neoimperialisme dengan pendekatan barunya, lebih mudah dan cepat, tanpa harus menciptakan atmosfir baru terlebih dahulu, sebagaimana yang dialami Bush pada masa kepemimpinannya. Inilah yang lebih mengkhawatirkan.

Ketiga, poin penting dari kemenangan Obama ini, sebagaimana yang dikatakan dalam pidato kemenangannya, bahwa segala keraguan itu akhirnya terjawab, karena semuanya serba mungkin dalam politik. Memang benar, dengan keyakinan Obama, bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, akhirnya dia bisa menciptakan sejarah sebagai Presiden AS pertama dari kulit hitam. Itulah realitas politik, yaitu seni kemungkinan (fann al-mumkinat).

Maka, dalam dunia politik tidak ada kata mustahil, atau tidak mungkin. Tegaknya syariah dan Khilafah di muka bumi adalah bagian dari politik, maka tidak ada kata mustahil dan tidak mungkin. Siapapun yang mengatakan, bahwa tegaknya kembali syariah dan Khilafah itu mustahil dan tidak mungkin, maka dia sesungguhnya orang dungu. Karena mengingkari fakta dan sejarah. Daripada mendengarkan atau menanggapi orang seperti ini lebih baik kita bekerja dan terus bekerja. Bagi kita, yang terpenting adalah bagaimana membuat sesuatu yang tampak mustahil dan tidak mungkin itu menjadi mungkin dan tidak mustahil? Inilah tantangan kita. Namun, tantangan demi tantangan itu akan bisa kita hadapi dan kita lalui, jika kita yakin dan tetap sabar dalam meniti jalan perjuangan. (Hafidz Abdurrahman)

2 comments

  1. Hanya mencuplik tulisan untuk penegasaan
    “Maka, dalam dunia politik tidak ada kata mustahil, atau tidak mungkin. Tegaknya syariah dan Khilafah di muka bumi adalah bagian dari politik, maka tidak ada kata mustahil dan tidak mungkin. Siapapun yang mengatakan, bahwa tegaknya kembali syariah dan Khilafah itu mustahil dan tidak mungkin, maka dia sesungguhnya orang dungu. Karena mengingkari fakta dan sejarah. Daripada mendengarkan atau menanggapi orang seperti ini lebih baik kita bekerja dan terus bekerja. Bagi kita, yang terpenting adalah bagaimana membuat sesuatu yang tampak mustahil dan tidak mungkin itu menjadi mungkin dan tidak mustahil? Inilah tantangan kita. Namun, tantangan demi tantangan itu akan bisa kita hadapi dan kita lalui, jika kita yakin dan tetap sabar dalam meniti jalan perjuangan”.

  2. Rendra siswoyo

    Hai Kapitalis otak kalian tak ubahnya boneka yang di gerakkan oleh kepentingan kejih dan insting menjajah saja, rasa simpati hanyalah pelumas kebiadaban kalian…tidak takutkah kalian dengan Makar yang tercerdik, terbaik, tentu ja makar Allah yang kelak akan kalian rasakan. ya Insya Allah Kami Pejuang Khilafah siap menjadi jalan Makar-Makar Allah Swt…Allohu Akbar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*