Saatnya Perempuan Tolak Demokrasi, Dukung Khilafah

Oleh: Hj Nida Sa’adah SE,AK (DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)

Kuota Perempuan 30%, Tidak Menyelesaikan Persolan!!

Keterlibatan perempuan dalam parlemen telah mendapatkan payung hukum dengan dikeluarkannya UU Pemilu no 10 tahun 2008. Pasal 8 ayat (1) butir (d) menyatakan bahwa partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Legalitas keterlibatan perempuan dalam Pemilu dengan kuota 30% dianggap suatu kemenangan bagi para pengusung gender yang menyerukan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG).

Apakah benar dengan memperbanyak perempuan dalam parlemen (legislatif) akan membawa kebaikan kepada perempuan? Logika bahwa semakin banyak perempuan di parlemen maka akan banyak yang memperjuangkan nasib perempuan adalah logika yang salah arah. Nasib perempuan yang mengalami kesengsaraan luar biasa saat ini bukanlah sekedar karena sedikitnya komposisi perempuan dalam pemerintahan demokrasi.

Tapi masalah sebenarnya justru ada pada tatanan sistem demokrasinya. Kondisi masyarakat saat ini yang melarat dan terhina adalah buah dari penerapan sistem pemerintahan ala demokrasi kapitalis, yang memang mengandung banyak cacat dan kelemahan sejak kelahirannya. Jadi persoalan inti yang seharusnya dibenahi adalah merubah/mengganti tatanan sistem politik demokrasinya. Dan bukan hanya sekedar mengotak-atik komposisi jumlah perempuan dan laki-laki di parlemen, struktur eksekutif pemerintahan dan semacamnya.

Secara fakta, jargon demokrasi kedaulatan di tangan rakyat adalah omong-kosong. Sebabnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan Pemerintah sering dipengaruhi oleh para pemiliki modal, baik lokal maupun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden sering bertabrakan dengan kemauan rakyat.

Karena itu, benarlah pernyataan pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfredo Pareto, dan Robert Michels yang cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar yang lain. Para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara pengusung demokrasi seperti AS dan Inggris sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis (pemilik modal, konglomerat).

Di Inggris, sebagian besar anggota parlemen ini mewakili para penguasa, pemilik tanah, serta golongan bangsawan aristokrat. Di Indonesia, mayoritas kaum Muslim Indonesia berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Indonesia lebih didominasi oleh kelompok minoritas, terutama dalam hal kekuasaan (power) dan pemilikan modal (kapital). Benyamin Constan mengatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.

Artinya, berapa pun kuota perempuan di dalam parlemen tidak akan menjanjikan solusi yang tuntas dalam penyelesaian permasalahan perempuan selama masih dalam bingkai demokrasi. Dalam parlemen yang paling berkuasa adalah “uang”, sekalipun banyak perempuan di parlemen.

Saatnya Perempuan Dukung Khilafah

Kegagalan menampilkan demokrasi (kuota perempuan) sebagai alternatif penyelesaian masalah perempuan, telah mengalihkan perhatian kepada Islam dan Khilafah. Khilafah, sebagai satu-satunya sistem politik yang kuat yang pernah ada di dunia, mestinya menjadi penentu arah dalam gerakan perjuangan para perempuan.

Bagaimana institusi Khilafah bisa menjadi sebuah sistem politik yang sangat kuat dan mensejahterakan warga negaranya, termasuk para perempuan? Hal ini akan dijabarkan dalam struktur eksekutif, legislative, dan yudikatifnya.

Selain itu, akuntabilitas di dalam Negara Khilafah terjamin pertama-tama melalui institusi pemerintahannya, kedua didalam kewajibannya untuk mendirikan parta-partai politik yang beramar ma’ruf nahi munkar, dan ketiga melalui kewajiban dakwah yang diemban seluruh warga negara.

Struktur Eksekutif

Prinsip dari sistem pemerintahan Khilafah adalah bahwa ‘kekuasaan adalah milik umat’. Otoritas Khilafah dalam memerintah harus diberikan berdasarkan kerelaan umat Islam melalui bai’at. Mereka tidak menjabat Khalifah berdasarkan periode tertentu. Tanpa adanya pembatasan masa jabatan ini, Khalifah dapat memfokuskan diri pada perencanaan strategis pembangunan jangka panjang negara daripada bila perencanaan jangka pendek melalui satu pemilu ke pemilu berikutnya sebagaimana kita temukan dalam sistem demokrasi.

Ini juga dapat menghindarkan pembajakan agenda pemerintahan oleh kepentingan segolongan orang yang ingin menggolkan orang yang dapat membantu kepentingan mereka agar terpilih sebagai presiden sebagaimana dalam pemilihan presiden di negara-negara Barat. Khalifah dapat diawasi setiap saat oleh institusi negara dan dapat diberhentikan dari jabatannya bilamana ia melanggar bai’at. Selain itu, membatasi Khalifah pada berbagai proses konstitusional tertentu seperti pada pemberdayaan Majelis Ummah dan Lembaga Yudikatif (Mahkamah Madzalim), sebagai upaya mengimbangi kekuasaan eksekutif Khalifah, dapat dilakukan.

Islam tidak menggariskan bentuk pemerintahan kolektif dimana kekuasaan eksekutif dibagi pada sekelompok menteri cabinet. Pembagian kekuasaan diantara menteri-menteri pemerintahan berdasarkan portofolio-portofolio (departemen-departemen) menghasilkan sistem birokrasi yang panjang dan dapat memperlambat pemecahan masalah. Pembagian kekuasaan tersebut juga mengakibatkan sengketa dan rivalitas diantara depertemen pemerintahan. Dalam sistem Khilafah, seluruh kekuasaan eksekutif mutlak dipegang Khalifah.

Walau kemudian Khalifah melakukan pendelegasian pada beberapa pembantu (Mu’awin Tafwidz) untuk membantunya mengatur berbagai sector negara, para pembantunya tidak bersifat independent, namun bekerja berdasarkan perintah dan pengawasan Khalifah.

Islam sangat menekankan ketaatan pada aturan hukum. Tak seorang pun di dalam Negara Khilafah, termasuk Khalifah sendiri, posisinya berada diatas hukum atau memiliki hak imunitas (hak kekebalan) dari pelaksanaan hukum.

Khalifah bukan orang suci, melainkan manusia biasa yang bisa berbuat salah. Oleh sebab itulah di dalam sistem Khilafah terdapat sejumlah mekanisme akuntabilitas. Walau Khalifah tak mesti orang suci, ia harus seorang Muslim yang adil. Dia tidak boleh fasik selama memegang jabatannya. Islam juga menentukan bahwa ciri kepribadian seorang Khalifah ialah kemampuannya dalam memegang jabatannya. Yang paling penting diantaranya ialah kuat, takwa, kepada Allah SWT, baik hati dan bukan seseorang yang tak disukai oleh mayoritas orang.

Struktur Legislatif

Prinsip dalam sistem pemerintahan Islam ialah ‘Supremasi Syariat’. Allah SWT berfirman dalam QS al-An’am 57 yang artinya: “Menetapkan hukum adalah hak Allah”.

Seorang Khalifah tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum perundang-undangan berdasarkan keinginannya sendiri atau berdasarkan kepentingannya atau keluarganya. Walau Khalifah memegang seluruh kekuasaan eksekutif secara mutlak di dalam Negara Khilafah, kekuasaannya itu dibatasi oleh syariat.

Demokrasi Barat dalam konsepnya memiliki dewan-dewan legislative yang secara institusional bersifat independent. Namun karena sistem kepartaian yang diterapkannya, maka anggota dewan hany bisa dipilih melalui jalur partai. Demokrasi menetapkan pemisahan kekuasaan mutlak antara lembaga ekseskutif dan legislative.

Namun bila sebuah partai mendominasi kedua lembaga tersebut, pemisahan tersebut pada kenyataaanya tak bermakna sama sekali. Sebaliknya, bila lembaga eksekutif dan legislative didominasi oleh berbagai partai yang berbeda, maka sering terjadi deadlock dalam penyelesaian masalah. Hal ini diperparah, dengan proses hukum di dalam sistem demokrasi sangat lemah bila dibandingkan dengan proses penetapan hukum perundang-undangan dalam sistem Islam.

Struktur Yudikatif

Lembaga ini menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat dan siapapun, serta menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara masyarakat dengan aparat pemerintah, termasuk Khalifah, para pembantunya, para pelayan public atau orang lainnya.

Lembaga Yudikatif Khilafah memegang independensi institusional dan independensi desisional hingga pada skala yang lebih tinggi dari lembaga yudikatif di dalam sistem demokrasi modern.

Independensi institusional berarti bahwa lembaga yudikatif bersifat independent dari pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislative. Khilafah memiliki lembaga peradilan tertinggi yang dinamakan Mahkamah Madzalim. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memberhentikan setiap pejabat negara, terlepas dari apapun jabatan mereka, termasuk Khalifah, bila pejabat tersebut melakukan tindakan yang menyimpang dari kewajiban bai’atnya.

Hal yang unik dalam Mahkamah Madzalim yang tidak memiliki padanan dengan lembaga yudikatif lain ialah adanya posisi Hakim Pengawas Pemerintah (Qadli Madzalim) yang memiliki kewenangan investigatif dalam penyidikan dan tidak memerlukan penggugat untuk bisa menyidangkan sebuah kasus yang diperoleh berdasarkan temuan investigasinya. Hakim ini secara berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakannya untuk memastikan semuanya berjalan sesuai syariat tanpa adanya penindasan pada rakyat.

Independensi desisional adalah gagasan bahwa hakim wajib membuat keputusan berdasarkan hukum dan kasus yang dihadapinya semata, tanpa adanya pengaruh media, politik, atau hal lain yang dapat memalingkan mereka dari keputusan yang adil. Syariat menyatakan bahwa seorang hakim haruslah seseorang yang memiliki kejujuran, pengetahuan, dan pengambilan keputusan yang baik. Guna memastikan agar Qadli Madzalim bebas dari pengaruh politis, syariat membatasi kekuasaan eksekutif Khalifah untuk tidak memiliki wewenang memberhentikan seorang Qadli madzalim dari poisisnya, bila Qadli Madzalim sedang meyidang kasus yang melibatkan Khalifah, pembantu utama (Muawin Tafwidl), atau kepala pengadilan (Qadli al-Qudhat).

Pertanyaan yang mungkin mengemuka adalah: Jika Qadli Madzalim menyidang kasus penyimpangan Khalifah, apakah Khalifah berhak membatalkan keputusan Qadli dan kemudian mengubah aturan? Konsep Khilafah tidak mengenal konsep ‘pengampunan’ atas kejahatan, sebagaimana terjadi di Barat dimana Presiden bisa membatalkan keputusan pengadilan atau bahkan sama sekali membatalkan gugatan atau tuntutan. Lembaga Yudikatif Khilafah bertanggung jawab dalam mengeluarkan keputusan yang kemudian harus dilaksanakan oleh negara.

Karena itu apabila Qadli Madzalim telah mengeluarkan sebuah keputusan yang bertentangan dengan Khilafah sekalipun, keputusannya itu harus ditaati oleh seluruh lembaga negara seperti polisi, tentara, atau lembaga keuangan negara (Baitul Mal). Khalifah tidak memiliki wewenang untuk membatalkan keputusan dalam situasi apapun dan ia dipaksa untuk tunduk dan menjalankan keputusan tersebut.

Demikianlah, Khilafah sebuah tatanan sistem politik yang kuat, telah terbukti berhasil mensejahterakan semua warga negaranya selama berabad-abad. Di era sistem politik demokrasi saat ini, yang penuh kecacatan, menimbulkan kesengasaraan, mestinya para perempuan bisa melihat dengan jernih inti masalah yang sebenarnya. Dan tidak tertipu dengan analisa masalah yang menyesatkan. Saatnya perempuan tolak demokrasi, dan dukung Khilafah !!

6 comments

  1. Ayo para perempuan….. tolak demokrasi, dan dukung Khilafah!!!
    ALLAHU AKBAR…3X

  2. yang dilihat di sisi allah bukanlah jenis kelaminnya,tp tingkat ketakwaannya….maju terus para mujahidah…tolak gender….ALLAHU AKBAAARRRRRRRRRRR

  3. terbukti …hanya khilafah yang melindungi kaum hawa sejak zaman dahulu. yang lain? sudah dirasakan dan buktikan kaum perempuan hanya slogan yang didengungkan untuk hegemoni yang mereka sebut emansipasi

  4. sy terikat kisah Dari Abu Najih ’Irbadh bin Sariyah rodhiallohu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti ini adalah nasihat perpisahan, karena itu berilah kami nasihat”. Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap menjaga ketakwaan kepada Alloh ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin) meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. Karena orang-orang yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)

    *Mendengar dan taat sama dengan bai’at. Bai’at kepada penguasa muslim yang sah hukumnya wajib. Kewajiban di sini selama bukan dalam kemaksiatan. Yaitu dalam hal-hal yang mubah. Karena kalau imam memerintahkan sesuatu yang wajib maka hakikatnya adalah mendengar dan taat kepada Alloh. Dengan demikian perintah imam terbagi dalam tiga bentuk yaitu:Perintah tersebut merupakan kewajiban syar’i, maka ketaatan di sini merupakan ketaatan kepada Alloh; Perintah tersebut sesuatu yang mubah maka wajib ditaati karena ini merupakan haknya; Perintah tersebut merupakan kemaksiatan maka tidak boleh ditaati.

    Jadi, wahai saudaraku…
    Khilafahlah yang akan menyelamatkan kalian dari kehinaan dan keterpurukan kalian. Khilafahlah yang pasti akan mengembalikan kemuliaan kalian. Khilafah pula yang merupakan sistem yang diwajibkan Tuhan semesta alam (untuk mengatur kalian). Allah SWT juga telah menjadikan kemenangan/pertolongan-Nya bergantung pada institusi ini.

  5. assalamu.wr.wb.,……………………………….
    MEMANG SEHARUSNYA BEGITU, SEMOGA NASROLLAH DATANG SELAMATKAN DUNIA DENGAN SYARIAH DAN KHILAFAH,………..MAJU TERUS PANTANG MUNDUR, GITHOOOOO LOH, amjapicenter asal Bangka Belitung

  6. ALLOHUAKBAR! Islam adalah sempurna. Hiduplah dg syariat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*