HTI-Press. Di antara pertanyaan yang sering muncul adalah berkenaan dengan perlakuan negara dan kedudukan nonmuslim di dalam Daulah Islamiyah. Pertanyaan ini ada yang dilatari oleh ketidaktahuan setelah lenyapnya daulah Islam setelah eksis selama 13 abad. Ada pula yang memang sengaja melemparkan opini buruk terhadap syariah. Targetnya jelas, agar muncul penolakan –termasuk dari umat Islam– terhadap penerapan syariah dalam kehidupan bernegara.
Pelakuan Umum
Pada dasarnya, agama Islam tidak hanya diperuntukkan bagi kaum Muslim belaka, akan tetapi ia adalah agama universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Al-Quran telah menyatakan hal ini di beberapa tempat.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui (QS Saba’ [34]: 28)
Oleh karena itu, tidak dibedakan nonmuslim menjadi warga negara Daulah Khilafah, dia akan mendapatkan perlakuan sama dengan kaum Muslim. Sebab hak mereka sebagai warga negara dijamin penuh oleh negara Islam.. Kendati demikian, ada beberapa ketentuan yang khusus diberlakukan kepada mereka.
Pertama, orang nonmuslim tidak dipaksa untuk masuk Islam.
Allah SWT berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (QS al-Baqarah [2]: 256)
Ayat ini menjadi dalil paling jelas tidak bolehnya memaksa orang nonmuslim ke dalam Islam. Mereka juga tidak dipaksa untuk menyakini dan membenarkan keyakinan Islam. Oleh karena itu, agama dan keyakinan kaum Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Majuzi, Zoaroaster, Atheis, dan sebagainya akan mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan. Pemeluknya juga diberikan kebebasan dan perlindungan untuk melaksanakan ritual-ritual agamanya tanpa ada intimidasi, pemaksaan, maupun apa yang disebut dengan uniformisasi peribadatan.
Orang-orang kafir itu juga tidak dipaksa untuk melakukan prosesi pernikahan seperti prosesi pernikahannya kaum Muslim. Mereka juga tidak dikenai zakat dan lain sebagainya.
Perlakuan khusus hanya diberlakukan bagi kaum Musyrik Ara. Mereka tidak diberi pilihan kecuali hanya masuk Islam. Jika menolak, mereka harus diperangi. Hal ini didasarkan firman Allah Swt:
قُلْ لِلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الْأَعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ
Katakanlah kepada orang-orang Badui yang tertinggal, Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam) (QS al-Fath [48]: 16).
Lain halnya jika seorang Muslim yang murtad. Pelakunya akan dikenai sanksi berupa hukuman mati dari Negara Islam. Begitu juga seorang Muslim yang menyakini dan menyebarluaskan ide sekulerisme, sosialisme, dan liberalisme. Tidak boleh dinyatakan, bahwa tindakan ini dianggap melanggar kebebasan. Sebab, Islam telah menggariskan had al-riddah bagi para pemeluknya.
Kedua, Islam juga tidak akan atau tidak memperbolehkan memberangus peribadatan-peribadatan mereka.
Allah SWT berfirman:
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ (67) وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ (68)
Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan.”[al-Hajj:67-68].
Ayat di atas menunjukkan, bahwa Islam mengakui eksistensi pluralitas agama dan keyakinan. Islam juga tidak akan menyeragamkan atau memberangus keragaman keyakinan dan pandangan hidup selain Islam. Seorang Muslim hanya diwajibkan untuk mengajak nonmuslim untuk memeluk agama Islam. Jika mereka menolak, mereka tidak dipaksa, dan dibiarkan tetap memeluk agama dan keyakinannya.
Ketiga, Islam membiarkan orang nonmuslim untuk hidup berdampingan dengan Muslim, selama tidak memusuhi dan memerangi kaum Muslim.
Nonmuslim yang hidup dalam Daulah Islamiyyah; atau disebut dengan kafir dzimmiy, mendapatkan perlakukan dan hak yang sama dengan kaum Muslim. Harta dan darah mereka terjaga sebagaimana terjaganya darah dan harta kaum Muslim.
Diriwayatkan Al-Khathib dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw pernah bersabda:
مَنْ آذَى ذِمِّيًّا فَأنَا خَصْمُهُ وَمَنْ كُنْتَ خَصَمَهُ خَصْمَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa menyakiti dzimmiy, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat [Jaami’ Shaghir, hadits hasan].
Keempat, dalam hal mu’amalah, kaum Muslim dipersilahkan untuk bermuamalah dengan mereka. Akan tetapi yang menjadi landasan dan aturan syariat Islam. Kafir dzimmiy diperbolehkan melakukan jual beli, dan syirkah dengan kaum Muslim. Dan dzimmiy juga diperbolehkan ikut berperang bersama kaum muslim, akan tetapi tidak wajib bagi mereka.
Karena kafir dzimmiy menjadi tanggung jawab negara. Maka, mereka berhak mendapatkan hak pelayanan, perlindungan, hak mendapatkan perlakuan baik dari negara Islam. Inilah hukum-hukum tentang non Muslim dzimmiy.
Walhasil stigma buruk penerapan Islam yang dipahami oleh orang non Muslim akan segera tertepis jika mereka memahami secara mendalam hakekat penerapan syari’at Islam, dan keluhuran ajaran Islam.
Perlakuan khusus
Seperti yang telah disinggung sedikit di atas; syariat Islam juga diterapkan bagi nonmslim. Sebab, mukallaf (orang yang dibebani untuk menjalankan syariah) bukan hanya kaum Muslim, namun juga nonmuslim. Sebab, risalah Islam diturunkan Allah Swt untuk seluruh manusia di dunia, baik yang sudah memeluk Islam maupun yang belum. Hanya saja, Islam telah merinci pelaksanaan syariat Islam oleh Non Muslim.
Adapun pelaksanaan syariah oleh nonmuslim dirinci berdasarkan dua tinjauan berikut ini.
Pertama, pelaksanaan syariat Islam oleh nonmuslim berdasarkan inisiatif dan kesadarannya sendiri, tanpa ada paksaan dari Daulah Islam. Dalam hal ini ada perkara yang tidak diperbolehkan bagi kaum kafir untuk melaksanakan disebabkan karena Islam menjadi syarat bagi pelaksanaan hukum syara’ tersebut. Termasuk dalam katagori ini adalah pelaksanaan ibadah sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah mahdhah lainnya. Karena pelaksanaan semua ibadah tersebut mensyaratkan adanya keislaman dan keimanan terlebih dahulu, maka orang kafir tidak diperkenankan melaksanakan atau mengerjakan aktivota ibadah tersebut.
Adapun, jika pelaksanaan syariah tersebut tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu, maka nonmuslim tidak dilarang untuk melaksanakannya. Di antara aktivitas yang termasuk di dalamnya adalah keikutsertaan mereka dalam perang bersama pasukan kaum Muslim, di bawah panji Islam, dan dikomandani seorang Muslim. Mereka diperbolehkan memberikan kesaksian dalam masalah jual beli. Demikian juga dengan semua perkara yang tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu. Oleh karena itu, nonmuslim diperbolehkan berkecimpung dalam bidang kedokteran, industri, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.
Kedua, pemberlakuan dan penerapan syariat Islam khusus atas non Muslim.
Jika ada nash-nash umum yang pelaksanaannya tidak dibatasi oleh syarat keimanan dan keislaman, maka hal ini perlu diteliti terlebih dahulu. Jika pelaksanaan hukum syariat tersebut hanya dikhususkan bagi kaum Muslim –karena ada syarat keimanan dan keislaman di dalamnya; atau ada ketetapan dari Rasulullah saw bahwa mereka tidak dipaksa untuk melaksanakan syariat-syariat tersebut; maka pada dua kondisi semacam ini, hukum syariat tersebut tidak akan dibebankan atau diberlakukan kepada mereka. Dan khalifah tidak boleh memberi sanksi kepada mereka, jika mereka tidak melaksanakan syariat-syariat tersebut.
Oleh karena itu, khalifah tidak boleh memberi sanksi atas ketidakimanan dan ketidakislamannya non Muslim. Mereka dibiarkan tetap tidak beriman, atau menyakini keyakinan-keyakinan kufurnya. Negara tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam. Negara Islam juga tidak boleh memaksa orang kafir untuk beribadah seperti ibadahnya kaum Muslim. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
Ketentuan ini didasarkan pada af’âl Rasulullah saw yang membiarkan nonmuslim beribadah sesuai dengan keyakinan dan agama mereka. Beliau saw juga tidak menghancurkan gereja, biara, dan tempat-tempat peribadatan orang-orang kafir. Hukum-hukum jihad juga tidak dibebankan kepada mereka. Mereka juga tidak diwajibkan pergi berjihad bersama kaum Muslim.
Mereka juga tidak dipaksa untuk meninggalkan minuman keras, dan atas mereka juga tidak diterapkan hukum-hukum yang berhubungan dengan minuman keras (syirbul khamr). Sebab, para shahabat ra, ketika menaklukkan wilayah Yaman, mereka membiarkan orang-orang Kristen di wilayah itu minum-minuman keras, dan para shahabat tidak memaksa mereka untuk meninggalkan minuman keras.
Namun, jika ada hukum-hukum yang pelaksanaannya tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu, dan tidak ada nash umum yang mengecualikan pelaksanaannya bagi non Muslim; maka huum-hukum itu akan diberlakukan dan diterapkan kepada non Muslim. Misalnya, hukum-hukum yang menyangkut masalah muamalah, pidana, dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika non Muslim melakukan pencurian, maka ia akan dikenai hukuman potong tangan. Begitu pula juga ada non Muslim melakukan perzinaan, maka ia akan dikenai had zina, dan sebagainya. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwa Nabi saw pernah dilapori kasus pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Yahudi terhadap seorang budak perempuan. Ketika orang Yahudi itu mengakui perbuatannya, Rasulullah saw pun memvonis hukuman mati (qishash) atas orang Yahudi tersebut. Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah Hadits bahwa Nabi saw pernah merajam seorang laki-laki dari suku Aslam, dan seorang laki-laki dari orang Yahudi dan wanitanya.
Begitu pula hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan muamalat, pidana, pemerintahan, dan sebagainya, semuanya juga diberlakukan kepada nonmuslim tanpa pengecualiaan.
Inilah ketentuan pokok yang berhubungan dengan pelaksanaan syariah Islam oleh non Muslim. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita, bahwa tidak ada penyeragaman dan pemaksaan atas orang-orang kafir, dalam hal ibadah, keyakinan, dan lain sebagainya; sesuai dengan ketentuan di atas.
Praktek Nyata dalam Daulah Islam
Ketentuan itu menjadi makin jelas jika kita menengok prakteknya semasa Islam berkuasa. Selama Islam berkuasa, tidak pernah membunuh, apalagi pembunuhan massal, nonmuslim semata disebabkan karena keyakinannya. Ini berbeda sekalai dengan negara-negara Eropa yang sering meneriakkan kebebasan beragama, namun mereka justru pemaksaan terhadap kaum Muslim untuk memeluk agama mereka. Seperti yang terjadi di Andalusia, ketika umat Islam dikalahkan, hanya diberi dua pilihan: Mati atau meninggalkan Islam.
Berikut ini ada sebagian dari cuplikan potret kafir dzimi dalam daulah Islam.
Pada Masa Rasulullah SAW.
Setelah kekuasaan Daulah Islamiyyah meluas di Jazirah Arab, Nabi saw memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah, Jarba’, Adzrah, Maqna, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Juga perlindungan baik harta, jiwa, dan agama penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi. Serta memberikan perlindungan kepada penduduk Juhainah, Bani Dhamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzaam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri’asy, dan masih banyak lagi.
Saat itu, Khaibar telah menjadi bagian Negara Islam, dan penduduknya didominasi oleh orang-orang Yahudi. Ketika orang—orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah saw pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka. Bahkan, beliau saw membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan di Khaibar tersebut. Hadits ini menunjukkan bagaimana Rasulullah saw menegakkan keadilan hukum bagi warga negaranya tanpa memandang lagi perbedaan agama, ras, dan suku. Adapun non Muslim yang hidup di bawah kekuasaan Islam, mereka tunduk dan patuh terhadap syariat Islam yang telah ditetapkan sebagai hukum negara. Mereka juga mendapatkan perlindungan dalam menjalankan peribadatan, dan keyakinan mereka. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk Islam, atau diperintah untuk melenyapkan truth claim atas agama dan keyakinan yang mereka anut. Malah, mereka diberi kebebasan untuk menjalankan seluruh aktivitasnya sesuai dengan koridor hukum negara (syariat Islam) (lihat Prof. Dr. Mohammad Hamidullah, dalam karyanya Majmû’ah al-Watsâiq al-Siyâsiyyah li al-‘Ahd al-Nabawiy wa al-Khilâfah al-Râsyidah, hal. 116-123)..
Pada masa Kekhilafahan Islam
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai dari Jazirah Arab, jazirah Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah itu, tidak mendorong para Khalifah untuk melakukan uniformisasi warga Negara, maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal, dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya, keyakinan, dan agama yang sangat besar, dan sewaktu-waktu bisa memunculkan “konflik agama“. Akan tetapi, hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik.
Bahkan, penerapan syariat Islam saat itu, berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun nonmuslim. Dalam bukunya Holy War, Karen Amstrong menggambarkan saat-saat penyerahan kunci Baitul Maqdis kepada Umar bin Khathathab kira-kira sebagai berikut, “Pada tahun 637 M, Umar bin Khaththab memasuki Yerusalem dengan dikawal oleh Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar dibawa segera ke Haram al-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat Nabi Mohammad saw melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup memandang Umar penuh dengan ketakutan. Ia berfikir, ini adalah hari penaklukan yang akan dipenuhi oleh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel. Pastilah, Umar ra adalah sang Anti Kristus yang akan melakukan pembantian dan menandai datangnya Hari Kiamat. Namun, kekhawatiran Sofronius sama sekali tidak terbukti.” Setelah itu, penduduk Palestina hidup damai, tentram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda, Islam, Kristen, dan Yahudi.
Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad, di bawah naungan kekuasaan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam.
Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.
Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada Khilafah Islamiyyah atas bantuan pangan yang dikirimkan kepada mereka pasca perang melawan Inggris pada abad ke 18.
Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.
Pada tanggal 13 Rabiul Akhir 1282/5 September 1865, khalifah memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah berimigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah khalifah. Sebab, di Rusia mereka tidak mendapatkan kesejahteraan hidup.
Itulah sebagian fragmen sejarah yang menunjukkan, bahwa penerapan syariat Islam dalam koridor Negara tetap melindungi dan metolerir adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada uniformisasi, tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas, tidak ada pemaksaan atas non Muslim untuk masuk Islam, dan tidak ada pengusiran terhadap non Muslim dari wilayah kekuasaan Islam. Yang terjadi justru, perlindungan terhadap non Muslim, Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariat Islamnya benar-benar telah mewujudkan gagasan masyarakat inclusive tanpa menghapus truth claim agama, dan tanpa melakukan uniformisasi dan intimidasi.
Jadi tidak ada alasan untuk khawatir atas pemberlakukan syariat Islam dalam sebuah negara; atau barangkali ini adalah isyu politis yang ditujukan untuk menghambat penerapan syariat Islam dalam koridor Negara. Wal-Lâh ‘alam bi al-shawâb. (Moh. Arif Adiningrat – Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia)
Makanya, yang non muslim nggak usah khawatir dengan khilafah. So, dukung Hizbut Tahrir ya.
Tuu kan.. Kl hidup didlm negara Khilafah buat orang2 non muslim lebih enak kan? Minum miras aja ga dilarang (walaupun sebaiknya ga usah supaya ga merusak kesehatan). Emang lebih aman n nyaman lahir bathin kalau hidup dibwh naungan negara Khilafah.
Perlu terus disosialisasikan sistim negara khilafah, sistim komunis, liberal, kapitalis telah gagal dan menimbulkan kesengsaraan dan ketidak adilan dimana mana.
Cina mulai meninggalkan sistim komunis sayangnya sedang menuju sistim kapitalis. Belanda lagi kebingungan karena sistim liberal menyebabkan maraknya narkoba, miras, lesbian , gay dan kerusakan moral. Amerika dengan sistim kapitalisnya diguncang resesi . Mudah mudahan khilafah bisa menggantikan semua sistim tersebut.