Seputar Hijrah: Makna, Hukum, dan Aktualisasinya Kini

1. Definisi Hijrah

Secara literal, kata al-hijrah merupakan isim (kata benda) dari fi’il hajara, yang bermakna dlidd al-washl (lawan dari tetap atau sama). Bila dinyatakan “al-muhajirah min ardl ila ardl” (berhijrah dari satu negeri ke negeri lain); maknanya adalah “tark al-ulaa li al-tsaaniyyah” (meninggalkan negeri pertama menuju ke negeri yang kedua). [Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 690; Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 3, hal. 48]

Menurut istilah umum, al-hijrah bermakna berpindah (al-intiqaal) dari satu tempat atau keadaan ke tempat atau keadaan lain, dan tujuannya adalah meninggalkan yang pertama menuju yang kedua. Adapun konotasi hijrah menurut istilah khusus adalah meninggalkan negeri kufur (daar al-Kufr), lalu berpindah menuju negeri Islam (daar al-Islaam).[Al-Jurjaniy, al-Ta’rifaat, juz 1, hal. 83] Pengertian terakhir ini juga merupakan definisi syar’iy dari kata al-hijrah.

2. Hukum Hijrah

Hijrah dari Daar al-Kufr menuju Daar al-Islaam tidak hanya memiliki satu hukum saja, akan tetapi ia mempunyai beberapa hukum tergantung dari keadaan dan situasinya.

2.1. Hijrah Berhukum Wajib

Hijrah berhukum wajib dalam keadaan dan situasi sebagai berikut;

1. Ketika seseorang sudah tidak mampu lagi melaksanakan taklif-taklif syar’iyyah di tempat yang ia tinggali.[Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 10, hal. 514]

2. Khawatir jika ia tidak berpindah dari tempat itu, akan terjadi fitnah terhadap agamanya; walaupun ia masih mampu menjalankan taklif-taklif syar’iyyah. [Imam Syarbini, Mughniy al-Muhtaaj, juz 4, hal. 239]

3. Jika ada perintah dari imam untuk memperkuat kekuasaan Islam. [Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 8, hal. 29]

Adapun dalil wajibnya hijrah dalam tiga keadaan di atas adalah firman Allah swt;

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali“. [TQS An Nisaa’ (4):97]

Yang dimaksud dengan orang yang mendzalimi dirinya sendiri ialah kaum Muslim Mekah yang tidak mau berhijrah bersama Nabi ke Madinah, padahal mereka sanggup. Akibatnya, mereka ditindas dan dipaksa oleh kaum kafir Quraisy berperang bersama mereka di medan Badar.

Imam Ibnu Qudamah menyatakan, “Ayat ini merupakan peringatan sangat keras yang menunjukkan hukum wajib. Sebab, melaksanakan kewajiban agama merupakan kewajiban bagi orang yang mampu melaksanakannya. Hijrah sendiri termasuk kewajiban yang sangat penting, sekaligus penyempurna bagi kewajiban lain. Jika suatu kewajiban tidak tersempurna kecuali oleh sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 10, hal. 514]

Imam Qurthubiy dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Alasan yang dikemukakan kaum Muslim Mekah “kunnaa mustadl’afiina fi al-ardl” (kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)” adalah alasan yang tidak benar. Sebab, mereka mampu berpindah, dan tahu jalan menuju Madinah. Lalu, malaikat mengingatkan kepada mereka tentang urusan agama mereka dengan perkataannya, ‘alam takun ardl al-Allah waasi’ah” (bukankah negeri Allah sangatlah luas?). Tanya jawab diantara mereka memberikan faedah bahwa orang-orang Muslim Mekah itu adalah kaum Muslim yang menganiaya dirinya sendiri karena telah meninggalkan kewajiban hijrah”. [Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 5, hal. 346]

Sebagian ulama berpendapat, siapa saja meninggalkan hijrah, padahal ia mampu melaksanakannya, maka ia telah murtad dari Islam. Al-Jashshaash dalam Ahkaam al-Quran menyatakan, “..Hasan bin Shalih berkata, “…jika kaum kafir berhasil menguasai negeri Islam; dan penduduk Muslim masih tetap tinggal di negeri tersebut, padahal mereka sanggup keluar dari negeri itu, maka mereka bukanlah kaum Muslim..” [ Al-Jashshaash, Ahkaam al-Quran, juz 3, hal. 219]. Hanya saja, Imam al-Jashshaash membantah pendapat Hasan bin Shalih, karena bertentangan dengan al-Quran dan Ijma’. Alasannya, Allah swt berfirman, artinya, “dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah..” Ayat ini tetap mensifati orang yang tidak berhijrah dengan sifat mukmin. Ini menunjukkan bahwa orang yang mampu berhijrah namun tidak melakukannya, tidak terjatuh dalam kemurtadan. Kesimpulan ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sulaiman bin Buraidah, bahwasanya Nabi saw bersabda, “….Lalu ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka menuju negeri Muhajirin…jika mereka menolaknya, beritahulah mereka bahwa mereka seperti orang-orang Arab Muslim pedusunan..” [HR. Imam Muslim]

Namun, jika orang yang tidak berhijrah itu mendapatkan fitnah dan berpaling dari agama Islam, maka ia dihukumi murtad.

2. 2. Hijrah Berhukum Sunnah

Hijrah berhukum sunnah bagi orang yang mampu melakukan hijrah namun tidak berhijrah, dan ia masih mungkin memenangkan agamanya di daar al-Kufur. Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughniy menjelaskan sebab kesunnahan hijrah dalam keadaan tersebut, sebagai berikut, “Jika penduduk Muslim masih mampu memperkuat jihad, memobilisasi kaum Muslim, membantu mereka, dan jika ia masih mungkin melenyapkan kekuatan dan persekutuan kaum kafir, serta membinasakan panji-panji kemungkaran, maka mereka tidak wajib hijrah, karena mereka masih sanggup menegakkan kewajiban agamanya, meskipun tanpa harus berhijrah ke Daar al-Islam”. Kemudian, beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’aim al-Nahaam, bahwasanya ia hendak hijrah ke Madinah. Lalu, kaumnya, Bani ‘Adiy, mendatangi dirinya dan berkata, “Tetap tinggallah anda di negeri kami, dan anda tetap di atas agama anda. Dan kami akan melindungi anda dari orang-orang yang hendak menyakiti anda….’ Beliau pun mengurungkan diri untuk berhijrah beberapa waktu lamanya, lalu setelah itu beliau berhijrah. Nabi saw berkata kepadanya, “Perlakuan kaummu terhadap dirimu lebih baik dibandingkan perlakuan kaumku kepadaku. Kaumku telah mengusirku, dan hendak membunuhku. Sedangkan kaummu, menjaga dan melindungimu..” [Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 10, hal. 515]

2.3. Hukum Hijrah Ketiga:Gugurnya Kewajiban dan Kesunnahan Hijrah

Hukum ketiga dari hukum-hukum hijrah adalah gugurnya kewajiban dan kesunnahan hijrah bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan hijrah. Ketidakmampuan di sini disebabkan karena sakit, dipaksa untuk tetap tinggal, atau orang tersebut terkategori kaum lemah (wanita dan anak-anak). Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt;

إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً

“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah)”. [TQS An Nisaa’ (4):98]

Menurut Ibnu Qudamah, ayat ini juga tidak mengindikasikan adanya hukum sunnah; sehingga, dalam keadaan seperti ini, gugurlah hukum wajib dan sunnah dari hijrah.

2.4. Kaum Muslim Disunnahkan Tinggal di Daar al-Kufr

Hukum ini berlaku, jika tinggalnya seorang Mukmin di daar al-Kufr memberikan mashlahat kepada kaum Muslim. Imam Syarbiniy dalam Mughniy al-Muhtaaj menuturkan sebuah riwayat bahwasanya ‘Abbas ra sudah masuk Islam sebelum perang Badar, namun ia masih menyembunyikannya. ‘Abbas ra pun mengirimkan surat kepada Nabi saw dan menginformasikan keadaan kaum Musyrik kepada beliau saw, dan menyatakan bahwa kaum Muslim di Mekah masih mempercayai beliau saw sepenuhnya. ‘Abbas ra juga menyampaikan bahwa sebenarnya ia lebih suka bersua dengan Nabi saw. Nabi saw puin mengirim surat kepadanya, di mana di dalamnya tertulis, “Sesungguhnya, tinggalnya anda di Mekah itu baik”. Lalu, ‘Abbas ra menampakkan keislamannya pada saat penaklukkan Mekah”. [Imam al-Khathiib al-Syarbiniy,Mughniy al-Muhtaaj bi Syarh al-Minhaaj, juz 4, hal. 239]

2.5. Haramnya Hijrah dari Daar al-Kufr Menuju Daar al-Islaam

Seorang Muslim dilarang (haram) berhijrah dari Daar al-Kufr ke Daar al-Islam, dan ia wajib tetap tinggal di Daar al-Kufr, jika ia memiliki kesanggupan dan kekuatan untuk mengubah Daar al-Kufr yang ia tinggali menjadi Daar al-Islaam. Kesanggupan dan kekuataan ini bisa saja karena ia sendiri memang kuat dan mampu, atau bergabung dengan kaum Muslim lain yang tinggal di negerinya, atau bersekutu dengan kaum Muslim yang berada di luar, atau mendapatkan dukungan dari Daulah al-Islaamiyyah. Dalam kondisi semacam ini, ia wajib tinggal di Daar al-Kufr dan dilarang hijrah ke Daar al-Islaam. [Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 2, hal. 269-270]. Dalilnya adalah firman Allah swt;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ قَاتِلُواْ الَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُواْ فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa“. [TQS At Taubah (9):123]

Berdasarkan ayat ini, setiap orang yang mampu memerangi orang kafir dan menundukkan negerinya di bawah kekuasaan Islam, maka berlakulah hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Pendapat semacam ini juga dikemukakan oleh Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj. [Imam Syarbiniy, Mughniy al-Muhtaaj, juz 4, hal. 239]

3. Aktualisasi Hijrah Bagi Kaum Muslim

Seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, hijrah merupakan bagian integral dari ketaqwaan seorang Muslim kepada Allah swt. Sebab, hijrah merupakan instrumen hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama dan jiwa kaum Muslim dari ancaman musuh-musuhnya. Dengan hijrah, seorang Muslim akan diantarkan menuju tempat atau keadaan yang menjadikan dirinya aman dan tenang dalam menjalankan taklif-taklif syariat. Tidak hanya itu saja, dengan hijrah, seorang Muslim akan merasakan betapa luasnya bumi Allah; sehingga ia rela meninggalkan negeri yang dicintainya menuju negeri yang bisa menjamin keselamatan agama dan jiwanya. Dengan hijrah pula, kesempitan dalam menjalankan perintah Allah akan berganti dengan kelapangan. Oleh karena itu, hijrah akan selalu aktual, bahkan menjadi kebutuhan bagi seorang Muslim yang peduli dengan keselamatan jiwa dan agamanya.

Seorang Muslim yang tidak berhijrah tanpa ada alasan syar’iy, tak ubahnya dengan seseorang yang tidak lagi peduli terhadap agamanya. Muslim sejati adalah orang yang selalu peduli terhadap kesempurnaan peribadahannya kepada Allah swt. Bila ia menyadari bahwa pekerjaan dan muamalatnya bertentangan dengan syariat Islam, atau akan menjerumuskan dirinya kepada kenistaan, maka ia segera meninggalkan semua itu, dan berpindah menuju ke pekerjaan dan muamalat Islamiy. Begitu pula, bila ia hidup di sebuah negeri yang menerapkan aturan–aturan kufur, maka dengan sekuat tenaga ia akan menjaga agamanya dari segala bentuk kekufuran dan kemaksiyatan. Tidak hanya itu saja, ia juga berusaha sekuat tenaga untuk mengubah aturan-aturan kufur tersebut, dan diganti dengan aturan-aturan Islam, agar ia bisa menjalankan semua perintah Allah swt tanpa ada halangan lagi. Dengan kata lain, ia selalu memikirkan berbagai macam upaya dan cara agar keadaan masyarakatnya yang kufur itu berubah (berpindah) menuju masyarakat yang Islamiy. Ia tidak hanya menunggu-nunggu tegaknya Daulah Islamiyyah di negeri lain, sehingga ia bisa pergi hijrah ke sana, akan tetapi ia berupaya keras menegakkan kekuasaan Islam di negerinya, dan turut serta berjuang bersama kaum Muslim yang lain untuk mewujudkan kembali tatanan masyarakat dan negara yang diatur dengan syariat Islam.

Atas dasar itu, aktualisasi hijrah dalam konteks sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam ranah individu, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, aktualisasi hijrah sekarang harus diwujudkan dengan cara berjuang menegakkan kembali kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyyah) yang akan menjamin terlaksananya hukum hijrah itu sendiri. Sebab, hijrah dalam konteks berpindahnya kaum Muslim dari Daar al-Kufr menuju Daar al-Islaam hanya akan bisa ditegakkan jika di tengah-tengah kaum Muslim telah berdiri Khilafah Islamiyyah. Dan hanya dengan Khilafah Islamiyyah semata, kaum Muslim bisa berpindah (hijrah) dari sebuah kondisi dan negeri yang kufur menuju kondisi dan negeri yang Islamiy. Dengan begitu, tujuan utama hijrah yakni penjagaan atas jiwa dan agama kaum Muslim bisa diwujudkan secara faktual. Wallahu A’lam bil Shawab. (Syamsuddin Ramadlan an Nawy –Lajnah Tsaqafiyyah, HTI).

3 comments

  1. Sangatlh naif org2 yg branggapan bahwa pada saat ini hijrah sudah tidak relavan lagi..Faktanya,aktualisasi hijrah slalu relevan tuk dlakukan..Janganlah psimis wahai saudaraku,truslah bjuang mengubah kondisi keterpurukan ini,menuju kebangkitan hakiki yakni tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah dengan mengobarkan semangat dakwah pada umat,bukan dengan pemilu..Sungguh pesimis orang2 yg branggapan dapat mengubah sgalanya hanya dgn jalan parlemen..No way!

  2. setuju! Ayo kita kubur dalam-dalam kapitaslisme! Kita tanam terus benih Islam Ideologi untuk menggantikan kehancuran kapitaslisme global yang sudah diujung tanduk. Hijrah tinggal selangkah, Khilafah sudah di depan mata!!! Berjuang terus..!!!Allahu Akbar!!!!

  3. Ass…wahai kaum Muslim,Allah akan Ridho kpd kita manakala syariatnya dilaksanakan,dengan tegaknya Khilafah. Semua aturan bisa diterapkan,kalau Khilafah benar-benar berdiri tegak.Tanpa khilafah tegak mustahil syariat bisa ditegakan… selamat berjuang wahai teman-teman,jangan berputus asa dari rahmat Allah,berhasil & tidaknya kita serahkan kpd Allah,asalkan kita telah berihktiar sesuai dengan kemampuan yg kita miliki,tugas utama kita adalah menunaikannya……Wassalam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*