Australia dan Selandia Baru meneken perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan 10 negara yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Para menteri terkait masing-masing negara menandatangani Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Australia dan Selandia Baru (AANZFTA) itu dalam pembukaan KTT ASEAN Summit ke-14 di Hua Hin, Thailand, Jumat (27/2).
Perjanjian yang di antaranya mencakup perdagangan di sektor jasa, investasi, keuangan, telekomunikasi, elektronik, dan properti itu merupakan yang terbesar dan terlengkap sepanjang hubungan dagang ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru.
”Perjanjian ini adalah tonggak hubungan ekonomi di kawasan,” kata Menteri Perdagangan (Mendag) Australia, Simon Crean, sebelum penandatanganan.
Total perdagangan ASEAN dengan kedua negara itu meningkat dari 41 miliar dolar AS pada 2006 menjadi 47,8 miliar dolar AS pada 2007. Dalam sambutannya, PM Thailand, Abhisit Vejjajiva, mengatakan, ”Kita tak mesti mengambil tendensi terhadap proteksionisme yang mencuat.”
Namun, PM Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, menyatakan, adalah reaksi wajar jika ada upaya mengutamakan produk nasional dalam kondisi krisis saat ini. ”Bila kita tak mendukung industri dalam negeri, dan tak membeli produk dan jasa sendiri, kita akan menghadapi masalah serius,” katanya seperti dikutip Bangkok Post.
Kemarin siang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertolak ke Hua Hin, kota tempat penyelenggaraan ASEAN Summit. Para pemimpin negara-negara ASEAN, papar juru bicara Presiden, Dino Patti Djalal, akan berdiskusi berbagai hal, antara lain, ketahanan pangan dan energi, krisis keuangan global, dan penanganan bencana alam.
Di Jakarta, Menperin, Fahmi Idris, menyatakan tetap perlunya perjanjian perdagangan bebas Indonesia dengan Australia dan Selandia Baru memerhatikan keberimbangan. Perdagangan yang berimbal balik tentu akan mendorong hubungan dagang ketiga negara kian lancar.
Bagi Indonesia, ditekennya AANZFTA berimplikasi pada penghapusan bea masuk lima produk Australia dan Selandia Baru, yakni aluminium, kapas, pakan ternak, tepung gandum, dan garam. Sementara, lima produk Indonesia, yaitu mebel, kertas, nikel, sepatu, dan tekstil akan dinolkan bea masuknya.
Sejauh ini, kata Fahmi, perjanjian perdagangan bebas Indonesia dengan dua negara itu belum menemukan titik saling menguntungkan. Fahmi mencontohkan penghapusan tarif bea masuk Indonesia-Australia.
Australia, sebutnya, meminta Pemerintah Indonesia membebaskan tarif bea masuk produk otomotifnya ke Indonesia. Namun sebaliknya, Australia belum setuju menolkan tarif bea masuk produk tekstil Indonesia.
”Kalau caranya seperti ini, perjanjian tarif menjadi tak berimbang. Bila tak seimbang, masak kita mau membebaskan begitu saja,” katanya, kemarin.
Perjanjian yang adil, semestinya, jika Australia mengekspor 1.000 unit produk ke Indonesia, Australia juga mesti menerima 1.000 unit produk ekspor Indonesia. ”Kalau tak mau, berarti perjanjiannya tidak cengli. Jadi, perlu ada keseimbangan perjanjian tarif.”
Kendati begitu, tegasnya, Indonesia harus tetap siap dengan rencana pembebasan 85,2 persen pos tarif produk impor Australia dan Selandia Baru. ”Indonesia sudah masuk ke ranah perdagangan internasional.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, meminta pemerintah tetap melindungi produk dalam negeri. Di antaranya produk garam demi melindugi produsen garam nasional. (Republika, 28/02/09)
Perdagangan bebas… tapi bukan berarti tidak terkendali. :)