HTI-Press. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan pada tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland telah menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area), yakni perjanjian kerjasama untuk melakukan perdagangan bebas di antara negara-negara tersebut.
Bahkan Menteri Perdagangan ASEAN juga telah membahas kerangka kerja penyusunan FTA dengan Uni Eropa dan India.[1] Pokok dari perjanjian tersebut adalah masing-masing negara akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa dari negara-negara yang terlibat perjanjian menjadi nol persen dengan tahapan-tahapan yang disepakati.
Pada perjanjian AANZA-FTA, sekitar 86 persen dari pos tarif Indonesia bertahap akan menjadi nol persen pada 2015, atau sekitar 13 persen tarif menjadi nol persen pada 2009. Dari Australia, 92 persen jadi nol persen pada tahun pertama. Lebih dari 70 persen pos tarif Selandia Baru juga langsung nol persen di tahun pertama. Sementara produk peternakan, seperti daging dan susu, dari kedua negara itu dinolkan pada 2017-2020.[2]
Padahal jika dicermati perjanjian tersebut justru merugikan Indonesia. Selama ini misalnya neraca perdagangan non migas Indonesia baik dengan Australia dan New Zealand selalu negatif. Artinya tanpa perdagangan bebas pun, Indonesia lebih banyak mengimpor barang dari kedua negara tersebut. Australia selama ini dikenal sebagai pemasok utama susu daging sapi dan sejumlah bahan pangan ke Indonesia.
Jika tarif diturunkan menjadi nol persen maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor akan semakin tinggi. Sementara industri pertanian yang kini terseok-seok akibat gempuran produk-produk impor akan semakin terpukul. Sekedar catatan hingga saat ini Indonesia mengimpor sejumlah produk pertanian antara lain: gandum sebanyak 100% dari total kebutuhan gandum dalam negeri, kedelai 61%, gula 31%, susu 70%, daging sapi 50%, garam 66,% dan kapas sebanyak 80%.[3]
Belum lagi dampak free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan sangat berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Australia dan Singapura. Ide-ide dan budaya-budaya kufur dari negara-negara tersebut akan makin mencengkram.
Jerat Negara Maju
Sejak isu globalisasi dihembuskan oleh negara-negara maju, liberalisasi baik perdagangan dan investasi, telah menjadi spirit berbagai perjanjian dan kesepakatan ekonomi baik bilateral seperti Japan Indonesia Economic Aggrement (JIEPA), maupun multilateral seperti Asean Economic Community (AEC), APEC, NAFTA dan WTO. Ciri yang paling menonjol dari perjanjian-perjanjian tersebut adalah menghilangkan secara bertahap berbagai tarif dan hambatan perdagangan dan investasi.
Liberalisasi perdagangan yang digawangi WTO, IMF dan Bank Dunia sejatinya hanyalah kendaraan bagi negara-negara maju untuk memperluas pasar mereka demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Di sisi lain mereka enggan menerapkan aturan yang sama jika mengancam perekonomian domestik mereka. Mereka akan melakukan proteksi terhadap industri-industri mereka jika dianggap lemah baik dengan pengenaan tarif impor yang tinggi, subsidi dan pensyaratan standar mutu yang tinggi bagi produk-produk impor serta berbagai regulasi yang menghambat barang-barang impor masuk ke pasar domestik mereka. Sektor pertanian negara-negara Uni Eropa misalnya hingga kini terus disubsidi melalui pemberlakuan Common Agricultural Policy (CAP).
Jika ditelusuri sebenarnya negar-negara Industri dulunya juga memberlakukan tarif yang tinggi untuk melindungi industri mereka. Pada tahun 1950 misalnya rata-rata tarif industri Amerika dan Inggris masing-masing sebesar 14 dan 23 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tarif perdagangan Brazil (10,4%), China (12,3%) dan negara-negara berkembang lainnya (8,1%) pada tahun 2001.[4] Dr Joon Change, pakar sejarah ekonomi dari Cambridge University menyatakan bahwa AS baru melakukan liberalisasi dan mulai memperjuangkan perdagangan bebas (free trade) setelah perang Dunia ke-2 ketika kedigdayaan industrinya tidak lagi tertandingi.[5]
Perusahaan-perusahaan Mulitinational Corporates (MNCs) yang menguasai dua pertiga perekonomian negara-negara maju, adalah yang paling diuntungkan dalam perdagangan bebas ini. Hal ini secara gamblang dinyatakan oleh komisi perdagangan Uni Eropa, Peter Mandelson:
“We want to liberalize trade and grow markets in which to sell European goods and services. Multilateral negotiations offer the biggest prize in achieving this.” (kami ingin meliberalisasi perdagangan dan menumbuhkan pasar agar dapat menjual berbagai komoditas dan jasa Eropa. Negosiasi multilateral menawarkan hadiah yang besar untuk mendapatkan hal tersebut).[6]
Padahal menurut penelitian yang dilakukan Mark Weisbrot dkk dalam Scorecard on Globalization 1980-2000, globalisasi yang ditandai dengan perdagangan bebas justru memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan manusia. Pertumbuhan ekonomi dan sejumlah indikator kesejahteraan manusia seperti tingkat harapan hidup, kelahiran bayi, dan tingkat pendidikan justru mengalami penurunan sejak gencarnya globalisasi (tahun 1980-2000). Hal tersebut berkebalikan dengan tahun 1960-1980. Salah satu alasan yang mengemuka dalam penelitian tersebut adalah pada tahun 1960-1980 banyak negara yang melakukan proteksi terhadap perekonomian untuk melindungi pasar mereka dari pasar internasional. [7]
Haiti adalah contoh bagaimana liberalisasi perdagangan memakan korbannya. Negara yang hingga dua puluh tahun lalu dapat memenuhi 95 persen kebutuhan berasnya dari produksi domestik, kini malah dibanjiri beras AS yang mencapai 75 persen. Beras sendiri merupakan produk yang mendapat subsidi besar-besaran dari pemerintah AS. Penyebabnya tarif impor beras sebesar 35 persen yang selama ini membentengi petani Haiti, atas desakan IMF pada tahun 1995 diturunkan hingga tiga persen. Akibatnya, kini hampir 50 persen penduduk Haiti didera kemiskinan dan kekurangan pangan.[8] Petani-petani di India, Afrika Barat, Ghana, dan sejumlah negara-negara berkembang lainnya termasuk Indonesia juga menjadi korban akibat kebijakan liberasasi perdagangan ini.
Dengan demikian, menganggap kebijakan perdagangan bebas adalah sesuatu yang menguntungkan bagi semua negara akan menyeret seseorang pada fallacy of generalisation, kesalahan karena melakukan generalisasi pada kasus yang berbeda. Sayangnya sejumlah ekonom dan pengambil kebijakan di negara-negara berkembang termasuk di negeri ini telah mengamini konsep ini. Mereka terus mendukung dan melakukan liberalisasi meski harus menumpas perekonomian negara mereka sendiri. Akibatnya perdagangan bebas telah menjadi petaka bagi negara-negara berkembang.
Hukum Perjanjian Dalam Islam
Sebelum menjelaskan hukum dari perjanjian perdagangan bebas terlebih dahulu dipaparkan secara global bagaimana aturan perjanjian luar negeri Khilafah Islam–satu-satunya bentuk negara yang diakui dalam Islam–dengan negara lain.
Secara umum perjanjian negara Islam dengan negara kafir (dar al-harb) hukumnya mubah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:
إِلَّا الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ
“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian.” (QS al—Nisa’ [4]: 90).
وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS al-Nisâ [4]: 92)
Demikian pula Rasulullah SAW misalnya melakukan perjanjian dengan Yuhanah bin Ru’bah pemilik kota Ilah dan bani Dhamrah.
Syarat-syarat yang disepakati dalam perjanjian tersebut wajib ditunaikan oleh kaum muslimin sebagaimana halnya negara lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
المسلون عند شروطهم
“Kaum muslimin (wajib) terikat pada syarat-syarat yang mereka buat.”
Namun demikian syarat tersebut harus sejalan dengan Islam. Jika bertentangan maka isi perjanjian tersebut harus ditolak dan haram terikat padanya. Perjanjian netralitas yang bersifat permanen antara dua negara misalnya, yakni perjanjian untuk tidak saling menyerang sepanjang masa, perjanjian untuk menetapkan daerah perbatasan secara permanen tidak boleh disepakati. Ini karena perjanjian tersebut akan membatasi pelaksanaan jihad fi sabilillah. Demikian pula perjanjian untuk menyewakan pangkalan udara dan militer kepada negara-negara kafir juga tidak boleh ditandatangani. Ini karena perjanjian tersebut akan memudahkan negara kafir menguasai negara Islam.[9] Rasulullah SAW bersabda:
کل شرط ليس في کتاب الله فهوباطل
“Semua syarat yang bertentangan dengan Kitabullah maka bathil.”
Adapun perjanjian luar negeri dalam bidang ekonomi, perdagangan dan keuangan maka secara umum hukumnya mubah karena masuk dalam kategori hukum sewa atas barang dan jasa (ijarah), jual-beli (bai’), dan pertukaran mata uang (sharf). Namun demikian jika di dalam klausul perjanjian tersebut terdapat hal-hal yang bertentangan dengan syara’ maka tidak boleh disepakati dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh kesepakatan untuk mengekspor komoditi yang sangat vital bagi negara Islam, mengekspor komoditas yang justru memperkuat negara lain sehingga dapat mengancam negara Islam atau perjanjian yang merugikan industri-industri dalam negeri. Semua hal tersebut diharamkan karena mengakibatkan bahaya (dharar) bagi ummat Islam. Hal ini didasarkan pada kaedah ushul:
کل فرد من ﺃفراد المباح ﺇﺫا کان يؤدي ﺇلی ضرر يمنع ﺫالك الفرد ويبقی الشيﺀ مباحا
“Setiap bagian yang masuk dalam kategori mubah jika mengantarkan pada dharar maka bagian tersebut dilarang sementara bagian-bagian lain yang masuk dalam kategori tersebut tetap mubah.”[10]
Hukum Perdagangan Bebas
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum bahwa tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi AS dan negara-negara maju yang memiliki superioritas atas negara-negara berkembang. Akibatnya negara-negara berkembang akan terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain kebijakan tersebut membuat negara-negara berkembang semakin sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab mereka terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan pernah bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.[11]
Oleh karena itu beliau menegaskan haramnya untuk menerima konsep pasar bebas yang dipropagandakan oleh Amerika dan negara-negara barat. Di samping secara faktual jelas-jelas merugikan, sejatinya kebijakan tersebut tidak lain merupakan implementasi dari konsep kebebasan memiliki (freedom of ownership) yakni kebebasan untuk memiliki dan menguasai berbagai jenis komoditi.
Padahal di dalam Islam konsep kemilikan telah diatur dengan jelas. Seseorang individu hanya berhak menguasai barang-barang yang masuk dalam kategori milkiyyah fardiyyah. Sementara untuk kepemilikan umum (milikiyyah ‘ammah) dan negara (milikiyyatu ad daulah) berada di tangan pemerintah yang dikelola untuk kemaslahatan rakyat.
Di samping itu, pasar bebas pada faktanya merupakan alat bagai negara-negara kufur mampu mencengkram dan mengontrol perekonomian negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
“Dan Allah tidak memperkenankan orang-orang Kafir menguasai orang-orang beriman.” (QS al-Nisa [4]: 141)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Syekh Taqiuddin An-Nabhany. Menurutnya perdagangan luar negeri yang berbasis teori free market (hurriyatu al-mubadalah) yakni perdagangan luar negeri antara negara dilakukan tanpa hambatan seperti tarif bertentangan dengan Islam.
Alasannya perdagangan luar negeri merupakan hubungan antara negara Islam dengan negara lain berada dalam tanggungjawab negara. Sebagaimana difahami bahwa negara memiliki otoritas untuk mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain termasuk hubungan antara rakyatnya dengan rakyat negara lain, baik dalam bidang ekonomi, perdagangan ataupun yang lainnya. Oleh karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol.
Di samping itu negara Islam memiliki otoritas untuk mengizinkan atau melarang komoditas tertentu untuk diekspor. Syara’ juga telah memberikan tanggangjawab kepada negara untuk mengatur pedagang ahlu al-harb dan mu’ahid. Termasuk dalam hal ini memberikan pelayanan kepada rakyatnya yang berdagang baik di dalam maupun di luar negeri.[12]
Alhasil, dalam membuat berbagai perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain negara Khilafah Islamiyyah—yang insya Allah akan tegak dalam waktu yang tidak lama lagi–wajib terikat pada syariat Islam dan sedikitpun tidak boleh menyimpang darinya. Berbeda dengan negara ini yang telah menyimpang jauh dari syariah Islam. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. Bersambung. (Muhammad Ishaq – Lajnah Tsaqafiyyah HTI).
[1] “Perdagangan Bebas ASEAN-India Difinalisasi”, Kompas, 29/8/08
[2] “Minta Manfaat Tambahan”, Kompas 28/2/09
[3] “Impor produk pertanian masih tinggi”, Bisnis Indonesia, 10/2/09
[4] Action Aid international,Trade Invader, 2005. www.actionaid.org
[5] http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/economy/1916-the-myth-of-free-trade
[6] Action Aid International, Unde Influence, 2005. www.actionaid.org
[7] http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/economy/1916-the-myth-of-free-trade
[8] http://www.pih.org/inforesources/news/Haiiti_food_crisis_04-08.html
[9] Taqiyuddin An Nabhany, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 309
[10] Ibid, hal. 307
[11] Abdul Qadim Zallum, The American Campaign to Suppress Islam, hal. 29
Pasar Bebas ???
Nggak bebas dari imperialisme kapitalis !
Tegakkan Sistem Islam !!!
biar bagaimanapun, kecondongan sistem kapitalisme tetap
nampak…..
hegemoni penjajahan modern; penjajahan terselubung
dalam kerjasama, perjanjian,nota kesepakatan, dll.
g bisa dipercaya lagi…
benar sekali,… ini merupakan jalan pembantaian perlahan-lahan bagaimana bisa indonesia bisa mengalahkan free trde ini dengan mudah. tohhh indo sendiri sudah melakukan ekspro barang kluar,…
keikut sertaan pemerintah indonesia trhadap pasar bebas hanya ingin menunmjukkan kemampuan bangsa indonesia dlm kanca pasa global.padahal bangsa kita belum mampu. dan belom siap menerima kenyataan ini…smga para pengambil kebijakan segera sadar dan mengambil langkah-langkah yang tentunya berorientasi kepada kepentingan rakyat.aminnnnnn