Larangan Pernikahan Dini, Upaya Kontrol Populasi
Oleh : Rezkiana Rahmayanti
Pernikahan Syekh Puji dan Ulfa Terselesaikan
Pernikahan Syekh Puji dengan Luthfiana Ulfa yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 memang menuai kontroversi. Adanya pihak-pihak luar dari kedua belah pihak yang menginginkan pembatalan pernikahan tersebut dengan alasan secara UU (hukum-hukum positif Negara ini) pernikahan tersebut tidak sah karena terjadi terhadap anak dibawah usia 18 tahun. Untuk memperkuat penentangan ini disertai pertimbangan lain bahwa Ulfa yang masih berusia 12 tahun dianggap secara psikologi dan kesehatan reproduksi dinyatakan belum matang.
Hal yang menarik dari kontroversi ini adalah pernikahan yang termasuk ruang privat saat ini telah menjadi konsumsi umum untuk mengintervensi. Padahal pernikahan tersebut secara hukum agama dinyatakan sah dan kedua belah pihak (pihak laki-laki dan perempuan termasuk kedua orangtua perempuan tidak ada yang memaksa dan dipaksa). Campur tangan dilakukan pihak ketiga tidak hanya oleh individu tetapi sudah melibatkan lembaga yang “identik dengan Perlindungan anak dan Pembelaan Terhadap HAK-HAK ANAK”. Sampai-sampai pihak-pihak luar ini dengan “itikad baik katanya” berusaha untuk memisahkan keduanya dengan cara “menjerat pihak laki-laki dengan hukum-hukum positif” ; berusaha menyadarkan pihak perempuan untuk kembali menikmati “masa kanak-kanak”nya.
Bahkan lebih jauh lagi upaya pemisahan ini ditindaklanjuti dengan meminta pihak laki-laki untuk membatalkan pernikahan dengan kata lain “MENCERAIKAN”. Namun apa dinyana pihak perempuan sebagai pihak yang “DIBELA” oleh pihak ketiga ternyata terang-terangan ternyata tidak mau untuk dicerai, Bocah yang belum genap berusia 12 tahun itu menyatakan menolak dipisahkan dengan Syekh Puji dan tetap akan menjadi istrinya.Ulfa mengatakan, dirinya merasa senang dan aman di tempat Syekh Puji. “Saya heran mengapa orang-orang diluar sana meributkan saya,” ucap Ulfa. Lebih lanjut Ulfa memohon doa dari teman-teman dan keluarga semua (Liputan6.com,5/11/2008).
Akhirnya kontroversi ini diselesaikan dengan jalan tengah yaitu Luthfiana Ulfa dititipkan kepada orangtuanya tetapi status pernikahan tidak dibatalkan. Turut menyaksikan Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi; tim penasihat hukum Syeh Puji, istri pertama Syeh Puji Hj Umi Hanni, sejumlah ulama, serta perwakilan Depag. Acara yang diliput media cetak maupun elektronik itu berlangsung di bawah siraman hujan deras. Acara tersebut dimulai dengan ceramah singkat ulama setempat, KH Taschir Mansyur. Pernikahan Syeh Puji-Ulfa, ujar Taschir, menurut syariat sah. Hanya, mengingat mereka berada di Indonesia, sudah selayaknya mereka patuh pada hukum positif. Karena itu, harus dicari solusi terbaik dengan jalan kompromi.
’’Pernikahan Pak Pujiono-Ulfah tetap sah menurut agama (syariat) dan tidak boleh dibatalkan. Yang berhak membatalkan adalah pihak laki-lakinya sendiri, dalam hal ini adalah Pak Pujiono,’’ jelasnya. Penitipan mantan siswa kelas 2 SMPN 1 Bawen itu, lanjut Taschir, bersifat sementara. Bila usia Ulfah sudah cukup untuk pernikahan, Syeh Puji bisa berkumpul kembali. ’’Meski tidak kumpul dan tidak menjalani layaknya hubungan suami-istri, Pak Pujiono wajib menanggung kebutuhannya,’’ tuturnya (Radar Bogor,10/11/2008).
Ketakutan dibalik Pernikahan Dini
Kontroversi terhadap pernikahan Syekh Pujiono dan Luthfiana Ulfa adalah gambaran ketakutan terhadap pernikahan dini melebihi ketakutan terhadap maraknya perzinahan dini. Sangat kontras dengan respon sekelompok minoritas rakyat negeri ini yang menolak UU pornografi dengan ancaman disintegrasi bangsa karena menghambat budaya lokal. Padahal bIla dicermati lebih mendalam, UU tersebut tidaklah dibuat untuk menghapuskan pornografi di bumi pertiwi seperti yang ditolak oleh pihak-pihak pengusung liberalisme, tetapi UU tersebut ada untuk mengatur kebebasan seks termasuk hubungan sesama jenis.
Ada apa dibalik ketakutan pernikahan dini ?. Alasan psikologi yang dilontarkan merupakan alasan yang dibuat-buat karena ada ketidak konsistenan antara upaya penyelamatan psikologi anak bila menjalani pernikahan dini dengan keresahan yang dialami anak menghadapi maraknya pergaulan bebas (berupa fakta-fakta dan pemikiran-pemikiran yang merangsang bangkitnya naluri seksual yang menuntut pemenuhan). Anak-anak semakin mengalami keresahan dimana pendidikan yang ada di negeri ini juga tidak menyiapkan mereka untuk memiliki kematangan berpikir dan bersikap dengan landasan ideologi Islam.
Anak atas nama”menikmati hak anak untuk ceria” diabaikan dari penanaman tanggung jawab terhadap kehidupan di hadapan al-Khaliq . Anak-anak tidak dipersiapkan untuk mengetahui bagaimana mempersiapkan diri untuk menjadi seorang mukallaf dihadapan Allah, yaitu saat dia telah baligh maka memiliki kewajiban untuk terikat dengan segala ketentuan syara’. Saat anak sudah baligh dan ingin menikah tetap dianggap anak tidak layak karena ia akan kehilangan hak untuk ceria dan membebani anak dengan tanggung jawab yang belum seharusnya ia pikul.
Dapat kita bayangkan anak-anak yang sudah baligh mengalami penderitaan, di satu sisi dilarang menikah (karena adanya batasan definisi anak-anak dibawah 18 tahun), disisi lain mereka senantiasa mengkonsumsi produk-produk yang membangkitkan naluri seksual (film,sinetron,buku,komik,video dan di tempat-tempat umum). Ini akan membuat mereka gelisah,bingung bahkan sangat mudah terjerumus kedalam pergaulan bebas termasuk perzinahan. Ditambah lagi peran orangtua sebagai pendidik dan penanggung jawab telah digantikan oleh benda-benda elektronik dan pembantu karena orangtua sibuk berada di luar rumah mengejar materi dan eksistensi diri. Menurut polling yang dilakukan lembaga anti kekerasan online anak-anak, National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), sebesar 75% atau 3 dari 4 anak tersasar dan menemukan gambar-gambar porno dan kekerasan di internet.
Hal yang cukup menggelitik adalah mengapa pernikahan dini lebih dibenci dan ditakuti dibandingkan rusaknya pergaulan anak-anak; maraknya hubungan sejenis (Gay-Lesbian) dan eksploitasi pornografi dan pornoaksi di berbagai media. Perlu ditelusuri apakah yang sebenarnya dikhawatirkan dari pernikahan dini. Apakah betul semata-mata karena pertimbangan psikologi dan kesehatan reproduksi yang belum matang sehingga pernikahan dini dilarang oleh hukum-hukum positif negeri ini. Mengapa pemimpin negeri ini tetap mempertahankan keberadaan hukum-hukum positif tersebut padahal bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh mayoritas penduduk muslim negeri ini. Apakah ada motif politik dibalik semua ini dan apakah ada tekanan dari pihak-pihak luar untuk memaksa pemerintah negeri ini tetap mempertahankannya. Semua Pertanyaan ini menjadi perlu untuk mendapatkan penjelasan.
Larangan Pernikahan Dini Upaya Kontrol Populasi
Pernikahan dini bagi seorang perempuan berpeluang untuk memiliki keturunan yang lebih banyak apalagi bila suami memiliki kemampuan nafkah lebih dari cukup dan orangtua dapat memberikan pendidikan yang layak. Pernikahan dini dalam masyarakat Indonesia tidaklah asing, dimana terbukti dengan pernikahan dini tidak mengganggu kondisi psikologi ibu; hubungan ibu dengan anak lebih dekat karena perbedaan usai tidak terlalu jauh; orangtua berpeluang untuk menyaksikan anak-anaknya menginjak usia dewasa bahkan menghantarkan kepada jenjang pernikahan bahkan masih berkesempatan untuk menyaksikan lahirnya cucu-cucu sampai mengikuti pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Adanya upaya larangan pernikahan dini dikaitkan dengan pencegahan pertambahan populasi penduduk muslim. Ketakutan pertambahan penduduk pada negeri-negeri muslim ditutup-tutupi dengan jargon-jargon “kepedulian terhadap angka kematian ibu; memberi kesempatan untuk hidup sejahtera ; adanya kesulitan pemenuhan konsumsi barang produksi karena SDA terbatas,dll). Teori kontrol populasi dipelopori oleh munculnya teori “Ledakan Penduduk” yang dikeluarkan oleh Thomas Robert Malthus (1798) seorang pemikir Inggris yang ahli pada bidang teologi dan ekonomi. Teorinya menyatakan: “Jumlah penduduk dunia akan cenderung melebihi pertumbuhan produksi (barang dan jasa). Oleh karenanya, pengurangan ledakan penduduk merupakan suatu keharusan, yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan,kelaparan,perang atau pembatasan kelahiran”.
Upaya kontrol populasi pada dasawarsa 60-an telah diungkapkan secara terang-terangan oleh para pemimpin Eropa dan Amerika dalam strategi jahat mereka untuk melakukan pemusnahan total terhadap bangsa-bangsa tertentu secara bertahap. Buktinya, pada saat itu Mesir dan India (sebagai Negara yang berpopulasi terbanyak didunia) segera menerapkan program pembatasan kelahiran.
Disamping itu terbukti telah banyak kesepakatan, organisasi gereja dan berbagai lembaga yang mengucurkan dana melimpah untuk merealisasikan program pembatasan kelahiran tersebut, khususnya di Dunia Islam. Misalnya kesepakatan Roma, Lembaga Ford Amerika (yang menyokong apa yang disebut dengan program “kesehatan/kesejahteraan keluarga”), Lembaga Imigrasi Inggris (yang dengan terus terang menyerukan perlindungan alam dengan membatasi pertumbuhan manusia,walaupun harus melalui pembantaian massal).
Bukti lainnya, pada bulan Mei 1991,pemerintah AS telah mengekspose beberapa dokumen rahasia yang isinya berupa pandangan pemerintah AS bahwa pertambahan penduduk dunia ketiga merupakan ancaman bagi kepentingan dan keamanan AS. Salah satu dokumen itu ialah instruksi Presiden AS nomor 314 tertanggal 26 November 1985 yang ditujukan kepada berbagai lembaga khusus, agar segera menekan negeri-negeri tertentu mengurangi pertumbuhan penduduknya. Diantaranya negeri-negeri itu adalah India, Mesir, Pakistan, Turki, Nigeria, Indonesia, Irak dan Palestina.
Dokumen itu juga menjelaskan pula sarana-saran yang dapat digunakan secara bergantian, baik berupa upaya untuk menyakinkan maupun untuk memaksa negeri-negeri tersebut agar melaksanakan program pembatasan kelahiran. Diantara sarana-sarana untuk menyakinkan program tersebut, ialah memberi dorongan kepada para penjabat/tokoh masyarakat untuk memimpin program pembatasan kelahiran di negeri-negeri mereka, dengan cara mencuci otak para penduduknya agar memusnahkan seluruh faktor penghalang program pembatasan kelahiran,yakni faktor individu, sosial, keluarga, agama yang kesemuanya menganjurkan dan mendukung kelahiran.
PBB juga telah mensponsori konferensi pertama mengenai masalah ini pada tahun 1994 di Kairo untuk menganalisa masalah overpopulasi dan mengajukan sejumlah langkah untuk mengkontrolnya. Pada konferensi itu diperdebatkan sedemikian banyak pendekatan untuk mengkontrol fertilitas, seperti : dipromosikannya penggunaan alat kontrasepsi, perkembangan ekonomi liberal dan diserukannya peningkatan status wanita. Dasar dari konferensi itu adalah suatu penerimaan atas anggapan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kemorosotan ekonomi dan dilakukannya usaha-usaha untuk mengkontrol pertambahan penduduk di Dunia Ketiga terhambat oleh keyakinan agama yang mendorong dimilikinya keluarga yang besar dan kurangnya pendidikan bagi wanita.
Usaha-usaha semacam itu menyebabkan diterimanya pandangan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan efek-efek negatif seperti kemerosotan dan kemandegan ekonomi, kemiskinan global, kelaparan, kerusakan lingkungan dan ketidakstabilan politik. Filosofi semacam itu telah menjadi mesin pendorong bagi PBB dan Bank Dunia. Pertumbuhan penduduk adalah sebuah problem bagi Afrika, Amerika Latin dan Asia dan jika masalahnya mau terpecahkan maka Negara-negara itulah yang harus melaksanakannya. Dalam hal ini, korban yang telah sangat menderita malah dipersalahkan dengan riset empiris yang mendukung asumsi semacam itu.
Di Indonesia telah dibuat program-program yang mendukung upaya kontrol populasi untuk berbagai komunitas yang dikomandoi BKKBN dan LSM lokal, nasional dan asing, diantaranya : untuk kalangan Ibu diterapkan KB dengan slogan hindari 4Ter (Terlalu muda,Terlalu tua, Terlalu sering dan Terlalu dekat). Untuk kalangan bapak diarahkan untuk melakukan kondom dengan segala fasilitasnya dan larangan untuk berpoligami. Untuk kalangan remaja adanya pembatasan usia dewasa 18 tahun sehingga dilarang melakukan pernikahan dini dan pendidikan seks/reproduksi dengan istilah Kesehatan Reproduksi Remaja/KRR yang yang merangsang munculnya naluri seksual dengan slogan “SAVE SEX” dan melarang pernikahan dini.
Untuk kalangan remaja telah dikeluarkan suatu program yang disebut program Dunia RemajaKu Seru (DAKU). Awalnya program DAKU dikenal di negara Uganda, Afrika, dengan nama The World Start With Me, lalu diadaptasi ke beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, Kenya, Afrika Selatan, Mongolia, Cina, Pakistan, serta Indonesia. Program ini seperti nya didisain untuk negara-negara yang memiliki populasi banyak. Untuk di Indonesia telah diberlakukan sebagai percontohan di Jakarta pada beberapa sekolah sejak tahun 2005, 2006, 2007 di 12 SMU-SMK Jakarta (yaitu SMAN 100, SMA Angkasa 2 dan SMKN 27, SMAN 67, SMAK 7 Penabur dan SMKN 32, SMA Muhammadiyah 19, SMAN 53, SMK Jaya Wisata Menteng, SMAN 7, SMK Walisongo dan SMAN 105. Saat ini program tersebut juga telah dikembangkan dibeberapa propinsi diantaranya Bali, Sumatera Utara, Lampung dan Jambi. Program ini disosialisasikan terlebih dahulu oleh suatu LSM yaitu World Population Foundation dan LSM lokal Yayasan Pelita Ilmu. Program yang diperuntukkan bagi anak-anak usia 12-19 tahun, dirancang berbasis teknologi informasi membuat anak-anak remaja bisa langsung secara mudah mengakses berbagai modul-modulnya. Dan yang cukup menarik dalam modul-modul tersebut anak diajarkan untuk bercinta yang sehat tetapi tidak melalui pernikahan dini. Hal ini berarti legalisasi hubungan lawan jenis bahkan di fasilitasi untuk menyalurkan naluri seksualnya tanpa harus dengan pernikahan.
Pandangan Islam
Islam telah memberikan keleluasaan bagi siapa saja yang sudah memiliki kemampuan (al-ba’ah) untuk segera menikah dan tidak menunda-nunda pernikahan bagi yang sudah mampu yang akan dapat menghantarkannya kepada perbuatan haram. Selain itu Rasulullah telah memberikan panduan bagi laki-laki untuk mencari pasangannya yang memiliki potensi subur untuk memiliki banyak keturunan. Rasulullah jelas-jelas sangat menginginkan umatnya nanti di yaumil akhir adalah umat yang terbanyak yang dapat beliau banggakan.
Islam juga telah mengatur bahwa setiap anak memiliki rizki tersendiri bahkan Allah SWT telah memberikan rizki kepada binatang melata apalagi seorang anak manusia yang kedudukannya lebih mulia dibandingkan binatang. Anjuran untuk memiliki banyak keturunan tidaklah bermakna Islam akan menelantarkan mereka, tetapi Islam juga telah menjelaskan hak-hak anak untuk dipenuhi baik berupa kebutuhan pokok (fisik, psikis dan intelektualnya) yang dibebankan kepada orangtua, kerabat/wali dan Negara.
Negara dalam Islam menjamin kesejahteraan bagi seorang anak karena berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab orangtua secara penuh. Bila kedua orangtuanya tidak memiliki kemampuan mendidik anak usia dini maka Negara akan memfasilitasi pembinaan kepada kedua orangtua (khususnya ibu). Sedangkan bila usia sekolah maka anak berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas secara cuma-Cuma. Bila kepala keluarga kesulitan mendapatkan pekerjaan maka Negara akan memfasilitasi pemenuhan pekerjaan.
Selain itu Negara juga memberikan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak agar tidak mengkonsumsi produk-produk yang berbahaya serta mencegah teciptanya lingkungan yang tidak sehat yang dapat membangkitkan munculnya naluri seksual. Penyelenggaraan pendidikan juga mengarahkan proses pembentukan kematangan kepribadian yang mampu berpikir dan bersikap dengan standar ideologi Islam sehingga tidak mudah tergoda rangsangan-rangsangan yang muncul dari luar. Dengan penataan demikian, ketika anak menginjak usia baligh (dewasa) menjadi mukallaf, ia mampu menanggung beban kewajiban dari Sang Khaliq termasuk ketika dia menikah dan bahkan menjalani peran menjadi ibu.
Tatanan sistem Islam mempersiapkan anak-anak untuk bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna. Mereka bisa melalui tahapan golden age dalam binaan penuh sang ibu yang cerdas dan terdidik, dimana keberlangsungan pemenuhan hak-hak mendasarnya memang djamin oleh sistem Islam, baik kebutuhan ekonominya, pendidikan, kesehatan maupun keselamatan diri dan jiwanya. Jaminan ini, bahkan terus berlangsung hingga anak tumbuh dewasa dan menjadi “manusia sempurna”. Sementara itu, para ibupun bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu tanpa harus dipusingkan dengan segala kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan dan pengaruh buruk lingkungan yang akan merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya. Itu semua terwujud karena adanya jaminan pemenuhan oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam yang satu sama lain saling mengukuhkan, mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, sistem sanksi, dan lain sebagainya. Mereka akan merasakan, betapa indah hidup dengan Islam dan dalam sistem Islam.
Wallahu’alam bi showab
beginilah jadinya kalo pake hukum buatan manusia…yang benar jadi salah….ORANG YANG BERAKAL PASTI PAKE HUKUM ALLAH SWT.
ehmm…..semangat terus nisa dalam memahamkan Ummat mengenai masalah ini!!!!!
yakinlah yang haq adalah haq yang batil adalah batil….
Allhuakbar
hukum sekuler harus segera dihancurkan dan diganti dengan hukum islam yang mulia.. hanya orang bodoh lagi kafir yang selalu menolak hukum Allah.. segera jadikan diri anda pejuang sejati..menegakkan hukum Allah..
Hukum buatan manusia memang lemah dan melawan fitrah manusia yang sebenarnya iingin tunduk kepada Al Khaliq.
akan tetapi orang yang memperjuangkan hukum Allah juga harus arif.
contoh dalam kasus pernikahah A’isyah dengan rasul. Abu bakar Ra menyerahkan a’isyah dengan disertai kurma yang masih mentah. hingga rasul pun faham dengan maksud abu bakar.
jadi harus ada perjuangan untuk meyakinkan bahwa Hukum Allah yang terbaik bagi manusia dan perlunya kebijaksanaan dalam beragama wallahu’alam…
Kalo bicara hidup dalam payung islam…sungguh indah dan sempurna….satu bagian akan mengukuhkan bagian yang lain. Masalahnya bagaimana kita mampu menjelaskan dengan ‘arif’ dan bijaksana sekaligus menyentuh….sehingga hukum islam itu bisa diterima dengan akal dan keimanan.
Semoga hukum Allah segera tegak di bumi ini.Allahuakbar!!!!
Insya Allah saya akan menikah dini,,jadi menurut saya seberapa banyak pun populasi manusia dimuka bumi ini,,mreka ada karna ridho dan kehendak allah,,jd manusia tdk ada hak untuk mengurangi populasi manusia… yang penting kita sabagai manusia yg mempunyai akal dan pikiran harus menjaga planet kita sendiri yang usianya semakin tua,,dan lebih giat beribadah untuk diri sendiri maupun untuk keluarga dan org lain…
orang yang sudah menikah,wlwpn dengan usia yg relatif muda,,jika allah blm menghendaki,,toh pasangan yg masih muda jg belum tentu lgsg punya anak kan??
wamakaruu wamakarallaah wallahu khoiru maakiriin
semoga hal yang tidak perlu dipermasalahkan tidak dijadikan masalah yang dibesar2kan.