Medan: Perempuan, Demokrasi dan Khilafah
HTI-Press. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Sumatera Utara menyelenggarakan Forum Kajian Peduli Umat ke-3, Ahad, (15/3) di Gedung al-Washliyah Medan. Acara yang dihadiri puluhan tokoh dari ormas, parpol dan institusi ini mengangkat tema ”Perempuan, Demokrasi dan Khilafah”. Menjelang pemilu legislatif 9 April nanti, tema ini memang sangat menarik untuk diperbincangkan. Forum yang dimoderatori Asmaul Husna, Amd. ini berlangsung dengan semangat.
Sebagai pembicara I, Ustazah Etty Sartina Siregar, S.Si, M.Si mengungkapkan masalah perempuan sangat kompleks diantaranya kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilan. Sebagian masyarakat berpendapat permasalahan tersebut disebabkan minimnya jumlah perempuan di parlemen sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak pro perempuan. Adanya kuota 30%, seolah muncul setitik harapan semua masalah perempuanan akan selesai.
”Benarkah dengan masuknya perempuan dalam parlemen akan menyelesaikan masalah?” tanya Ustazah Etty. Ternyata tidak. Bukti mengatakan meski keuangan Indonesia dipegang menteri perempuan, tapi kebijakannya justru menyiksa perempuan. Menteri perdagangan juga seorang perempuan. Namun kebijakannya malah mencekik kaum perempuan. Lantas apa yang salah? ”Ternyata semua itu disebabkan sistem yang diterapkan adalah kapitalisme. Adanya perempuan dalam parlemen pun selama sistemnya masih kapitalisme maka kebijakan yang dihasilkan tentu berpihak pada kapitalis bukan pada rakyat.”
Hal senada juga diungkapkan Ustazah Sri Cahyo Wahyuni, S.Pi, sebagai pembicara II. ”Seluruh persoalan yang menimpa umat saat ini disebabkan karena tidak diterapkannya Islam secara kaffah. Maka, harus ada upaya sungguh-sungguh dari semua pihak untuk memperjuangkannya,” kata Ustazah Sri Cahyo.
Dalam Islam, perempuan dipandang sebagai mitra lelaki membangun peradaban. Perempuan memiliki peran politik yang strategis. Peran politik perempuan adalah sebagai berikut:
- hak dan kewajiban membai’at khalifah
- hak dan kewajiban dipilih menjadi anggota Majlis Umat
- ewajiban amar ma’ruf nahi munkar, menasehati dan mengoreksi penguasa
- kewajiban menjadi anggota partai politik Islam Ideologis
- perempuan dilarang memegang jabatan penguasa.
Namun fungsi perempuan sebagai pengatur rumah tangga, mengharuskannya dapat mensinergiskan antara peran politiknya dan peran pengatur rumah tangganya.
Dalam sesi diskusi, peserta masih sedikit bingung membedakan antara Islam dan demokras. Sebab, konsep musyawarah ada pada keduanya. Dengan gamblang Ustazah Etty menjelaskan konsep dasar kedaulatan demokrasi ada ditangan rakyat berarti yang berhak membuat hukum manusia, jadi apa saja bisa dimusyawarahkan. Berbeda dengan Islam yang konsep kedaulatannya ada di tangan Allah berarti yang berhak membuat hukum hanya Allah saja. ”Jadi tidak ada musyawarah dalam perkara yang sudah ditetapkan secara pasti oleh Allah, namun dibolehkan bermusyawarah dalam perkara yang mubah.”
Seorang penanya, Lathifah Hanum mengatakan sikap apa yang harus dilakukan menghadapi pemilu legislatif nant? Pertanyaan ini dijawab tegas Ustazah Sri Cahyo bahwa di dalam Islam pemilu dipandang sebagai akad perwakalahan yang hukum asalnya mubah. Tentu saja bila memenuhi empat syarat yakni: orang yang mewakilkan, orang yang diwakilkan, ada akad diantara kedua pihak, dan tujuan perwakalahan.
”Nah, untuk pemilu legislatif tentu sama-sama dipahami bahwa pemilihan itu dilakukan untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di parlemen yang tugasnya membuat undang-undang. Ini tentu bertentangan dengan Islam, karena yang berhak membuat hukum atau undang-undang hanya Allah saja,” tegas Ustazah Sri Cahyo.
Fatwa MUI yang mengharamkan golput juga menjadi topik hangat dalam diskusi, Ibu Yurisna, caleg dari PAN menyatakan tidak mempersoalkan halal-haramnya golput namun yang harus dipikirkan umat Islam adalah efek dari golput tadi yang akan membuat oknum tertentu menyelewengkan kertas suara yang berlebih demi kepentingannya. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu Rosdaneli, aktivis perempuan, yang sangat mengkhawatirkan parlemen akan dikuasia orang non-muslim mengingat hampir 70 persen caleg DPRD Sumut berasal dari non-muslim.
Kekhawatiran ini, dijawab Ustazah Sri Cahyo dengan menjelaskan kemungkinan yang akan terjadi ketika masyarakat secara keseluruhan hanya berharap pada Islam, dan tidak percaya lagi dengan sistem demokrasi maka perubahan kekuasaan akan terwujud. Banyaknya masa mengambang, belum menentukan pilihan, harus disikapi dengan melakukan edukasi politik yaitu mencerdaskan mereka, mensosialisasikan sistem yang akan mensejahterakan hanya Islam bukan yang lain. Sudah seharusnya partai juga berbenah. ”Bisa jadi meningkatnya angka golput juga disebabkan kekecewaan mereka terhadap kinerja partai.” (mhti-sumut)