Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan, titik krusial dalam teks keagamaan adalah pada penafsirannya, terutama yang terkait dengan pola hubungan antara lafal dan makna.
“Tidak jarang kita temukan pemahaman keagamaan yang begitu ketat dan literal, bahkan terkadang terasa menyulitkan, namun tidak sedikit juga kita temukan pemahaman yang begitu longgar bahkan liberal,” kata Maftuh di hadapan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ulama Alquran di Cisarua, Bogor, Senin malam.
Oleh karena itu, lanjut dia, tugas berat para ulama adalah mengawal pemahaman teks-teks keagamaan tersebut agar tetap benar dan baik, terhindar dari segala bentuk penyelewengan.
“Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud (kaku) dalam menyikapi persoalan,” Maftuh menegaskan.
Sebaliknya, terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syariat. Keduanya merupakan kesalahan dan penyelewengan yang tidak dapat ditolerir, katanya.
Di tengah masyarakat global yang plural seperti saat ini, menurut Menag, diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahir teks.
Prinsipnya adalah, “menjaga kemurnian ajaran dengan tidak menutup diri bagi setiap perkembangan, dan senantiasa mengikuti perkembangan tanpa harus melebur di dalamnya”, tegasnya.
Wajah kusam Islam dan umat Islam saat ini, selain karena propaganda kelompok tertentu, juga disebabkan oleh sikap, prilaku, dan pemikiran sebagian komunitas Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.
Sikap seperti ini, katanya, pernah dilakukan oleh umat terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. Pada surah Al-Baqarah ayat 78, Alquran menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai “ummiyyun” (buta huruf), yang tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik.
Kalaupun mengerti, katanya lagi, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah) seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. (mediaumat.com)