Kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi masyarakat dari hasil pemilihan umum sebelumnya membuat pilihan sebagian besar masyarakat terhadap partai politik belum nyata menjelang pemungutan suara pemilu legislatif pada 9 April 2009.
Kampanye rapat umum yang sudah berlangsung dua minggu terakhir diyakini tidak akan mampu mendongkrak jumlah warga yang telah memiliki pilihan politiknya sendiri.
Demikian diungkapkan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya, Kacung Marijan, dan peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego, saat dihubungi secara terpisah di Jakarta, Minggu (29/3).
Survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 3.000 pemilih pada 554 desa/kelurahan se-Indonesia pada 20 Februari-3 Maret dengan batas toleransi kesalahan 1,8 persen menunjukkan, sebanyak 39,4 persen responden belum nyata pilihannya. Mereka terdiri dari 22,5 persen responden yang memang belum memiliki pilihan parpol dan 16,9 persen responden yang tidak menjawab atau menyatakan pilihannya sebagai rahasia.
Calon pemilih yang belum nyata pilihannya itu sebagian besar terdistribusi pada kelompok umur 23-35 tahun dan di atas 36 tahun, masing-masing sebesar 38,2 persen dan 41,8 persen. Kelompok pemilih tersebut sebagian besar berpendidikan SD-SMP sebanyak 41,8 persen.
Menurut Kacung, survei itu menunjukkan distribusi pemilih yang belum nyata pilihannya itu merupakan orang-orang yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya minimal satu kali. Hal itu menandakan adanya kejenuhan dan kekecewaan pemilih kepada partai politik dan para elitenya dari pemilu sebelumnya. Karena itu, mereka menangguhkan sementara pilihannya.
”Sebelumnya, mereka berharap ada perubahan signifikan dalam presentasi politik dari pemilu, termasuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Tapi faktanya, kebijakan yang ada tidak terlalu bermakna,” kata Kacung.
Bisa golput
Mereka yang pilihannya belum nyata itu, lanjut Kacung, bisa tidak menggunakan haknya atau menjadi golongan putih pada pemungutan suara 9 April. Tetapi mereka akan menjadi kelompok golput yang sadar, bukan akibat ikut-ikutan ataupun kesalahan administrasi pemilu.
Kelompok ini dapat juga menggunakan hak pilihnya. Parpol yang akan menjadi pilihan kemungkinan adalah parpol besar yang pernah ikut pemilu sebelumnya, tetapi bukan menjadi pilihan sebelumnya atau parpol alternatif lain yang dianggap mampu memberikan harapan.
Indria menambahkan, pemilih yang belum nyata pilihannya dan memilih menggunakan haknya baru akan menentukan pilihannya saat di tempat pemungutan suara. Pilihan mereka akan didasarkan pada hal-hal yang bersifat pragmatis. Hal ini akan menguntungkan parpol dan calon anggota legislatif yang terkenal walau platformnya tidak jelas.
Karena itu, iklan di media massa dan politik uang menjelang pemungutan suara akan sangat memengaruhi pilihan mereka. Kampanye rapat umum tidak akan menambah tingkat pengenalan pemilih terhadap parpol peserta pemilu. Pemilih diyakini tidak memiliki referensi lebih dari 10 parpol dari 38 parpol nasional peserta pemilu.
Menurut Indria, kampanye rapat umum yang digelar dua minggu terakhir tidak akan mengurangi secara signifikan jumlah pemilih yang belum nyata pilihannya. Kampanye rapat umum hanya dimanfaatkan secara optimal hanya oleh parpol yang memiliki dukungan dana besar saja.
”Ada kesenjangan besar antara persepsi massa yang hadir dalam kampanye terbuka dan persepsi elite politik,” katanya menambahkan.
Sikap masyarakat itu timbul karena elite parpol hanya menyapa masyarakat menjelang pemilu. Selama lima tahun sebelumnya, ataupun masa kampanye terbatas sejak sembilan bulan lalu, hanya gambar elite parpol itu yang dapat dijumpai masyarakat.
Hanya 20 persen
Hal senada dilontarkan Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group Andrinof A Chaniago di Jakarta, Sabtu (28/3). Menurut Andrinof, jumlah pemilih yang punya ikatan kuat dengan parpol hanya berkisar 20 persen.
Namun, Andrinof juga menilai faktor parpol dan caleg yang terlalu banyak membuat pemilih butuh waktu lebih lama menentukan pilihan. Mereka yang dibuat bingung karena terlalu banyak pilihan ini termasuk kelompok pemilih yang belum memastikan pilihannya (undecided voters).
Pada Pemilu 2009, rakyat pun dibingungkan oleh keramaian pesan-pesan kampanye yang tidak bermutu dari parpol yang terlalu beragam. ”Mereka akan menunggu penampilan parpol dan tokoh-tokohnya,” sebut Andrinof.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari secara terpisah menilai, besaran pemilih yang belum memutuskan pilihannya itu bergantung pada survei yang dijadikan rujukan. Survei Indo Barometer awal sampai pertengahan Maret menunjukkan, pemilih yang belum menetapkan pilihan tinggal sekitar 5 persen. Survei dilakukan dengan surat suara simulasi yang mirip dengan surat suara yang bakal digunakan 9 April mendatang.
Merujuk pada data tersebut, Qodari menilai masyarakat sebenarnya sudah memiliki pilihan. Qodari justru mengkhawatirkan tingkat partisipasi pemilih yang tidak bakal setinggi yang diharapkan.
Pemicunya antara lain soal pendaftaran pemilih yang tidak akurat. Yang juga layak dikhawatirkan adalah soal perbedaan persepsi sah-tidaknya pemberian suara antara petugas di tempat pemungutan suara, saksi dari peserta pemilu, dan masyarakat.
Hal itulah yang berpotensi menimbulkan konflik besar di seluruh wilayah Indonesia. ”Dengan jumlah TPS mencapai 519.000, ini bisa jadi tawuran nasional,” kata Qodari. (kompas.com)
semoga masyarakat juga sadar, bahwa sistem kita juga mengecewakan.