Tuntutan atau gugatan hukum terhadap KPU atas kekacauan DPT, tak hanya mengurangi legitimasi hasil pemilu, tetapi juga berpotensi menimbulkan kekisruhan baru. Apakah KPU siap menghadapinya?
Masalah amburadulnya daftar pemilih tetap (DPT) sudah kita ketahui bersama. Padahal hari H pemilu, Kamis (9/4/2009) lalu, hampir semua media televisi, radio dan online, mewartakan soal berbagai komplin dan protes warga yang tidak bisa menggunakan hak pilih karena namanya tidak ada dalam DPT.
Mulai pukul 15.00 WIB perhatian media beralih ke hitungan cepat atau quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei. Atas pemberitaan media siaran dan online ini, kita sejenak melupakan masalah DPT. Hingga tengah malam rasa ingin tahu kita tertuju pada perolehan suara masing-masing partai politik.
Besoknya, Jumat (10/4/2009) semua media cetak membikin headline tentang kemenangan Partai Demokrat yang mengguguli Golkar dan PDIP. Tentu ini kejutan luar biasa (meskipun hasil survei sebelumnya sudah mengindikasikan ke sana), karena kenaikan suara partai ini hampir tiga kali lipat. Ingat, sebelumnya banyak pengamat yang memprediksi, paling banter suara partai itu naik dua kali lipat dari pemilu sebelumnya
Berita perolehan suara dari hitungan cepat itulah yang sejenak melenakan kita tentang berbagai probem penyelenggaraan pemungutan suara sehari sebelumnya. Media cetak memang menulis tentang masalah-masalah tersebut, tetapi porsinya tidak besar.
Namun hari ini, Sabtu (11/4/2009) media cetak menyadarkan kita kembali, betapa banyak masalah dan pelanggaran pemilu pada hari pemilihan. Kompas misalnya menulis headline tentang Bawaslu yang kewalahan menghadapi datangnya laporan pelanggaran. Sedang The Jakarta Post menulis meningkatnya jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS, yang sebagian besar diakibatkan oleh amburadulnya administrasi pemilu.
Penghilangan hak pilih kali ini bersifat masif. Nyaris tidak ada wilayah TPS yang tidak menghadapi problem DPT. Padahal hal ini menyangkut hak konstitusional warga negara. Oleh karena itu, apa pun dalih KPU, dia harus menghadapi segala macam bentuk tuntutan dan gugatan dari mereka yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya.
KPU tak cukup minta maaf. Juga tak cukup bilang, bahwa kami sudah menjalankan amanat undang-undang semaksimal mungkin. Pernyataan kedua itu harus dibuktikan di pengadilan, apakah di persidangan PN, PT, PTUN, PTTUN, MA atau MK.
Inilah yang merisaukan. Perdebatan di pengadilan antara pihak penggugat (bisa pemilih bisa juga peserta pemilu) dengan tergugat (KPU dan jajarannya), akan membuka masalah-masalah atau pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan, yang selama ini dianggap oleh KPU sebagai masalah biasa saja. Apa pun keputusan hakim, perdebatan tersebut akan mempengaruhi legitimasi hasil pemilu.
Memang, siapa pun tidak bisa mengklaim bahwa mereka yang tidak masuk DPT akan memilih partai atau calon tertentu. Jika mereka mendapat kesempatan memilih, suaranya akan tersebar di seluruh partai atau calon. Tetapi pendapat ini juga tidak bisa dibuktikan, karena itu hanya hepotesis. Kenyataannya mereka tidak bisa memilih.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah KPU siap menghadapai gugatan-gugatan tersebut. Terus terang saya meragukannya. Pertama, KPU sempat kalah dalam menghadapai partai politik yang dinyatakan tidak memenuhi sayarat menjadi peserta pemilu. Kedua, KPU juga tidak mempersiapkan tim pembela hukum yang tangguh. Beberapa pengacara yang ditampilkannya terkesan asal tunjuk.
Mari ambil kemungkinan terburuk. Katakanlah KPU dinyatakan kalah atau bersalah. Selama putusan itu hanya memberikan denda kepada anggota KPU atau lembaga KPU, mungkin tak jadi masalah besar. Tapi bagaimana kalau putusan itu berupa sanksi admnistrasi yang mempengaruhi hasil pemilu? Legitimasi hasil pemilu tak hanya jatuh, tapi kita juga harus bersiap menghadapi kekisruhan baru.
Didik Supriyanto adalah Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi. (detik.com)
pemilu sudah mahal gagal lagi… kasihan rakyat Indonesia, supaya aman di pilpres nanti mari kita semuanya memilih kholifah
Untuk urusan pemilu saja sudah kisruh, bagaimana nanti kalau mengurus negara?
kasian serbah salah dalam pelaksanaan sistem ini, dipelosok, di daerah bahkan di pusat,ada aja baik secara administrasi bahkaN sampai pelaksanaan pada hari H. padahal bukan yang pertama kalinya negeri kita ini melakukan pemilu kenapa masih tetap berada pada masalah yang sama.ARTNYA nagaapin juga masih tetap berharap pada pemilu menuju perubahan…??? hal yang mustahil selama sistem Demokrasi masi tetap menguasa. jadi mari bersama – sama menuju perubahan yang REVOLUSIONER. yaitu diterapkannya SYARIAT ISLAM secara KAFFAH oleh KHILAFAH…..ALAHU AKBAR…!!!Wallahu alam bisawab
allah maha besar