Dana Moneter Internasional, Selasa (21/4) di Washington, menaikkan perkiraan kerugian global akibat krisis finansial. Jumlahnya naik menjadi lebih dari empat triliun dollar AS karena peningkatan kredit bermasalah perbankan AS di sektor perumahan.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan total biaya krisis ekonomi, dipicu krisis di sektor keuangan, menjadi 4,054 triliun dollar AS.
Kerugian ini lebih kurang sama dengan sembilan kali produksi domestik bruto (PDB) Indonesia. Artinya, dengan kerugian ini, selama sembilan tahun Indonesia tidak memiliki pendapatan dan mungkin hanya bisa hidup dari tabungan yang ada, atau juga dengan menggadaikan harta milik yang ada.
Di masa krisis ini, banyak warga kaya di AS dan Eropa yang sudah mulai menggadaikan benda berharga milik mereka.
Total kerugian 4 triliun dollar AS ini sudah termasuk 2,712 triliun dollar AS dari kerugian yang diderita perbankan AS. Kerugian yang diderita kawasan Eropa diperkirakan mencapai 1,193 triliun dollar AS. Kerugian di pihak Jepang mencapai 149 miliar dollar AS.
Kerugian ini menggambarkan hal apa saja yang diperlukan, sekaligus menggambarkan besarnya pertolongan yang diperlukan lembaga keuangan. Ini semua terjadi karena penurunan pendapatan bank secara drastis dari pengucuran kredit kepemilikan rumah (KPR).
Perkiraan IMF soal kerugian biaya krisis itu sudah meliputi jangka waktu mulai pertengahan 2007 dan prediksi hingga hingga 2010. Data itu dipublikasikan pada Laporan Stabilitas Finansial Global (GFSR).
Pada laporan Januari lalu, IMF memperkirakan kerugian hanya sebesar 2,2 triliun dollar AS untuk Amerika Serikat dan saat itu belum ada perkiraan kerugian untuk Eropa dan Jepang. “Sistem finansial global tetap berada di bawah tekanan. Krisis terus meluas termasuk ke keluarga, korporasi, dan sektor perbankan mulai dari negara maju hingga berkembang,” demikian pernyataan dari IMF.
”Melemahnya aktivitas ekonomi terus memberi tekanan pada neraca perbankan. Aset bank terus tergerus karena kerugian. Hal ini membahayakan rasio kecukupan modal perbankan sehingga memerlukan suntikan modal,” demikian institusi yang beranggotakan 185 negara itu.
Bank korban terbesar
Dari total kerugian itu, industri perbankan menanggung porsi terbesar, yakni 2,470 triliun dollar AS atau 61 persen dari total. Pengakuan dari sektor perbankan masih harus ditunggu, yaitu bahwa dua pertiga kerugian terjadi pada diri mereka. ”Pengakuan soal kerugian ini masih belum dilakukan dan kekuatan modal mereka tidak memadai berdasarkan sebuah skenario resesi,” demikian lanjutan isi GFSR.
Dalam tiga tahun terakhir ini sudah muncul pertanyaan, seberapa dalam kerugian riil yang diderita perbankan. Hal ini tidak pernah terjawab.
Lembaga lain, termasuk dana pensiunan dan perusahaan-perusahaan asuransi, juga turut menjadi korban kerugian. Lembaga ini ikut serta membiayai kredit di sektor perumahan yang berubah macet.
IMF menegaskan bahwa kerugian itu sekaligus menunjukkan kebijakan yang jitu dan tepat sasaran amat diperlukan. Hal ini penting jika stabilisasi dini ingin dicapai. Di samping itu, hal yang juga diperlukan adalah koordinasi internasional.
Dua hal ini perlu agar perbaikan kerusakan segera bisa dicapai dan kepercayaan publik bisa pulih. Hal ini diperlukan untuk memulihkan aktivitas pasar.
IMF memperkirakan, rekapitalisasi perbankan AS memerlukan dana 275 miliar dollar AS di AS dan 600 miliar dollar AS di Eropa. Namun, jika perbankan meraih posisi seperti pada dekade 1990-an, rekapitalisasi bank di AS memerlukan dana 500 miliar dollar AS dan Eropa 1,2 triliun dollar AS. (Kompas, 22/04/2009)