Jakarta, Kompas – BPK melaporkan, beberapa kontraktor kontrak kerja sama masih memiliki kewajiban menyetor biaya operasional produksi migas yang dibebankan kepada pemerintah (cost recovery) senilai Rp 14,58 triliun. Kekurangan paling besar berasal dari PT Pertamina.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menengarai kekurangan setor dana migas tersebut timbul akibat ketidakpatuhan pihak-pihak yang terlibat dalam perhitungan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi terhadap aturan yang disepakati.
”Pemeriksaan BPK atas lima KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) selama semester II-2008 menunjukkan adanya sistem pengendalian internal yang lemah. Akibat kewajiban kelima KKKS itu tidak dijalankan, pemerintah tak bisa menghimpun penerimaan negara Rp 14,58 triliun,” ujar anggota VII BPK, Udju Djuhaeri, seusai Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (21/4).
Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan, kasus koreksi yang paling menonjol adalah terkait perhitungan bagi hasil pada Pertamina Petroleum Contract (PPC) dan Kontrak Minyak Gas Bumi Pertamina (KMGBP) periode 2003-2007. Koreksi itu dilakukan untuk mengurangi cost recovery pada periode tersebut senilai 2,18 miliar dollar AS.
Berdasarkan perhitungan ulang ini, KKKS PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya, yaitu KKKS PT Pertamina EP, mempunyai kewajiban 1,31 miliar dollar AS atau setara Rp 14,4 triliun. BPK menyatakan, penyerahan tambahan bagian negara oleh Pertamina kepada pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Di samping koreksi atas cost recovery Pertamina, ada empat kasus koreksi perhitungan bagi hasil pada lima KKS (kontrak kerja sama) minyak dan gas bumi senilai Rp 174,49 miliar. Perhitungannya mencakup biaya- biaya yang tak dapat diperhitungkan sebagai cost recovery, pendapatan operasi dan nilai pengenaan denda yang belum diperhitungkan sebagai pengurang cost recovery, serta reklasifikasi (penyusunan klasifikasi) ongkos- ongkos yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery.
Rekomendasi BPK
Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan dua hal. Pertama, perbaikan aturan sebab sejak tahun 2003 hingga saat ini temuan BPK terhadap KKS selalu berulang-ulang pada masalah yang sama, antara lain aturan tentang cost recovery. Kedua, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) harus melakukan pengawasan yang lebih ketat atas pelaksanaan KKS agar para kontraktor tidak menjalankan usahanya dengan aturan sendiri.
Auditor Utama Keuangan Negara VII BPK J Widodo Mumpuni mengatakan, aturan yang tidak diperbaiki membuat pihak-pihak terkait salah interpretasi. Dana Rp 14,58 triliun tersebut seharusnya masuk ke kas negara. Namun, ketidaktegasan dan ketidakjelasan aturan cost recovery, dana itu tidak menjadi penerimaan negara. (Kompas, 22/04/2009)