Pengamat: Presiden dan Wapres Berbeda Partai Rawan Konflik

BANDUNG– Pengalaman penerapan sistem presidensial yang abu-abu sehingga menjadikan tidak efektif pemerintahan di Indonesia selama ini, hendaknya jangan lagi terulang pada Pemilu Pilpres 8 Juli 2009.

“Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia selama ini dimana presiden dan Wapres dari partai berbeda menimbulkan konflik kepentingan yang berakibat terhadap jalannya pemerintahan,” kata pengamat yang juga ketua Gerakan Masyarakat Peduli Masa Depan Bangsa, Hendarmin Ranadireksa di Bandung, Kamis.

Tidak ada yang salah kalau Ketua Umum DPP Golkar Jusuf Kalla dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri sama-sama ingin maju sebagai Capres pada Pemilu Pilpres mendatang. “Menjadi salah bila diantara mereka otak-atik siapa Capres dan siapa Cawapres, atau Jusuf Kalla mau menjadi Cawapres SBY lagi,” ucapnya.

Pada Diskusi Sosial Politik Pasca Pemilu legislatif 9 April 2009 di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu(29/4), Hendarmin berpendapat akan sangat sulit bagi pimpinan pemerintahan untuk menyatukan visi dan misi pemerintahan negara, kalau keduanya dari partai berbeda.
Presiden dan Wapres harus bisa saling membantu dalam fungsi yang sama melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan dan negara.

Untuk itu guna perbaikan Indonesia kedepan disarankan agar Capres dan Cawapres pada Pemilu Pilpres 2009 dari partai yang sama, kendati sistem politik dan konstitusi di Indonesia tidak membatasi hal itu.

“Konstitusi berupa perundang-undangan dan peraturan tentang Pemilu itu yang membuat kondisi politik Indonesia terus dalam kebingungan, dan semua itu diciptakan parlemen yang memiliki otoritas terhadap konsitusi,” katanya.

Untuk itu dia, berharap agar komposisi parlemen Indonesia hasil Pemilu legislatif 9 April 2009 dapat merepresentasikan aspirasi masyarakat Indonesia dan tidak lagi hanya ditempati orang-orang sarat kepentingan kelompok.

Syarat sebuah konstitusi harus mengedapkan tiga hal pokok yaitu menjamin hak azazi manusia, yang mengatur lembaga-lembaga negara, dan mengenai mekanisme bernegara.

Hal lain yang dianggap aneh dari sistem bernegara di Indonesia adalah penentuan suara Presiden yang hanya perlu 25 persen dari suara keseluruhan. Dikatakan, misalkan SBY berhasil mendapatkan 25 persen suara maka dia dikatakan menang. Namun jika yang 75 persen lagi menentang, apakah itu bisa dikatakan mewakili, ujarnya.

Hal lain yang membuktikan sistem bernegara di Indonesia mengandung bahaya adalah kecaman-kecaman yang datang dari mayoritas apabila yang minor akhirnya menang. Di sisi lain, apabila yang mayoritas menang, maka akan terjadi permainan di dalam legislatif.

Untuk itu Hendarmin menegaskan, Indonesia harus konsisten dengan sistem kenegaraannya. “Kita memakai sistem presidensial atau sistem parlementer,” tegasnya.

Jika sistem presidensial, maka seharusnya mengadakan Pemilu Presiden dulu baru Pemilu Legislatif.

Jika carut marut sistem kenegaraan Indonesia tidak segera diatasi maka akan terjadi kehancuran masyarakat.

Untuk menghindari kekhawatiran dampak dari sistem politik yang rancu itu maka Indonesia perlu pemimpin yang mau berkorban untuk merubah sistem negara, perlu gerakan aksi massa dari mahasiswa untuk merubah kondisi, dan perlu perubahan dalam legislatif Indonesia. (Republika Online, 30/04/2009-10:37)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*