Koalisi Nir-Ideologi
Bandung (Humas),- Pasca Pemilu legislatif 9 April, para elite parpol sibuk merancang koalisi untuk polpres mendatang, mengingat tidak adanya satu parpol pun yang memenuhi syarat untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres, terlebih parpol Islam. Koalisi ini lah yang menjadi bahan hangat pembicaraan dalam Focus Group Discussion (FGD) HTI Jabar dan Lemlit UNPAD pada hari Senin (27/04) lalu di ruang diskusi Lemlit UNPAD, Jl. Cisangkuy No. 62.
Dalam kesempatan tersebut hadir Ust. Taufik Ridlo, Lc, Ketua DPW PKS Jabar, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, Dr. Dede Mariana, Dr. Bahtiar Muin, Drs. Cecep Dharmawan, M.Si. Ust. Taufik Abdul Karim dan intelektual muslim lainnya.
Ust. Taufik Ridlo menyebut, karena PKS berangkat dari gerakan dakwah, maka tujuannya adalah memayungi dakwah dengan politik, seraya menyebut kaidah maa laa yudroku kulluh la yutroku kuluh, yakni jika tidak bisa diambil semuanya, maka jangan tinggalkan semuanya. Lebih lanjut beliau mengatakan, memang dalam khasanah Islam tidak ada yang namanya demokrasi, akan tetapi menurutnya, bagaimana dengan tools yang ada dapat dimanfaatkan untuk kemashlahatan ummat, terutama menurutnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Yang menarik dari apa yang beliau ungkapkan, di PKS dikenal yang namanya khitab sya’bi dan wathani. Khitab sya’bi artinya, para aktivis PKS betul-betul dikader dengan pengkaderan dan bahasa yang kental dengan Islam, begitupun ketika mereka menyampaikannya ke masyarakat, sehingga menurutnya tidak jarang yang menyebutnya ‘thaliban’. Berbeda halnya dengan pimpinan partai yang dituntut untuk berbicara dan menyampaikan pendapat dalam konteks yang umum dan bersifat kebangsaan. Ini yang disebut Ust. Taufik Ridlo dengan khitab wathani. Sehingga menurutnya, para wartawan dalam dan luar negeri sering dibuat bingung karenanya.
Prof. Asep Warlan Yusuf menyebut koalisi yang saat ini terjadi bukanlah koalisi karena ideologi. Begitu pun halnya menurut Dr. Dede Mariana, bahkan beliau mengkritik PKS di Jawa Barat yang dahulu mendamba kekuasaan, akan tetapi menurutnya ketika saat ini kekuasaan sudah berada di tangan, tidak dimanfaatkan, buktinya menurut Dede pembersihan birokrasi masih macet di tengah jalan.
Sementara itu, Ust. Taufik Abdul Karim mengkritik koalisi yang sedang berlangsung yang masih tetap dalam bingkai demokrasi sekular. Harusnya ada wacana baru yang diangkat oleh elite politik maupun intelektual, bukan melulu dengan demokrasi. Lebih lanjut beliau mengatakan, para elite atau intelektual sering mengatakan bahwa ummat masih belum siap dengan Islam, padahal menurut beliau, boleh jadi masyarakat sudah siap dipimpin oleh Islam, yang belum siap justru elite dan para intelektual.
Tema yang sama juga diangkat dalam Halqah Islam dan Peradaban (HIP) HTI Jawa Barat pada hari Ahad (03/05) di Galeri Cinde, Jl. Pahlawan, Bandung yang menghadirkan narasumber diantaranya Drs. Setia Permana, M.Si., mantan Ketua KPU Jabar yang saat ini menjadi fungsionaris PDIP, Husein al-Banjari, fungsionaris PKS yang juga Wakil Ketua DPRD Jabar dan H. Budi Mulyana, pengurus DPD I HTI Jabar.
Dalam kesempatan tersebut, H. Budi Mulyana menyampaikan bahwa jika melihat tingkah para elite politik, sesungguhnya mereka sedang mengalami kebingungan luar biasa. Contoh ketika memaknai koalisi, padahal lazimnya koalisi ada dalam system pemerintahan parlementer, bukan presidensial. Jika demikian, apa yang akan mereka koalisikan, tanyanya retoris. Selain itu, ideologi, dalam hal ini Islam, sudah tidak lagi menjadi acuan dalam menjalin koalisi. Jika demikian, omong kosong jika berbicara kesejahteraan rakyat, tapi mengabaikan ideology. Menyambut hal tersebut, Setia Permana sangat mengapresiasi gagasan-gagasan HTI yang selalu berbasis pada ideologi yang menurutnya sudah ditinggalkan oleh parpol yang ada. (Kantor Humas HTI Jabar)