[Al-Islam 457] Pemilihan Presiden dan Wapres (Pilpres) 2009 akan digelar tidak lama lagi setelah pengumuman tiga pasangan capres-cawapres dalam beberapa pekan terakhir. Berbagai strategi dan cara digelar untuk meraih kemenangan. Yang menarik, setiap pasangan capres-cawapres merasakan kebutuhan dukungan dari ‘penguasa non-formal’ yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah para ulama, kiai, tuan guru, tengku dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh. Setiap menjelang Pemilu, termasuk Pilpres kali ini, mereka sering kedatangan tamu tim sukses pasangan capres-cawapres, atau bahkan langsung pasangan capres-cawapresnya.
Di sisi lain, ada sebagian orang dengan julukan kiai atau ulama bertandang ke kediaman pasangan capres-cawapres. Ada pula yang bertemu di luar ‘kandang’ masing-masing dengan cara menggelar satu acara atau agenda yang bertajuk ‘keumatan’. Pada pertemuan-pertemuan tidak resmi di tengah-tengah jamaah para kiai/ulama tidak jarang “pesanan politik” juga disampaikan. Targetnya tentu saja adalah menjajaki dukungan para tokoh umat ini, dan tentu dengan kompensasi.
Akibat dukung-mendukung capres-cawapres ini, tidak jarang hubungan silaturahmi menjadi renggang hanya karena masing-masing berbeda visi dan dukungan politiknya. Masing-masing pasangan saling mengklaim bahwa mereka pro-rakyat, sementara pasangan lain pro-asing (dengan julukan neoliberal). Padahal sebenarnya semua pasangan adalah pengusung liberalisme, hanya dengan kadar yang berbeda-beda. Ini adalah fakta yang tentu sangat memprihatinkan. Umat menjadi bingung dengan arah politik para ulama dan kiai mereka. Pasalnya, masing-masing kiai/ulama memiliki tujuan politik yang semuanya bisa dikemas dengan bungkus dalil agama. Sebagian kiai/ulama itu seolah menjadi makelar dagangan yang bernama “tahta”. Mereka mengabaikan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya dalam kehidupan sosial-politik.
Lantas apakah yang perlu direnungkan oleh ulama dan umatnya terkait dengan pemilihan pemimpin saat ini? Bagaimana tanggung jawab ulama dalam kehidupan politik dan bernegara? Sejauh mana peran dan fungsi ulama dalam proses perubahan menuju Indonesia yang bersyariah, yang baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr?
Sekularisme: Ancaman Terbesar
Peran ulama sepanjang masa kehidupan kaum Muslim, khususnya dalam kehidupan politik, sangatlah penting. Bahkan pada masa-masa kemunduran umat Islam sekalipun, peran penting ulama dalam kehidupan politik tetap tidak tergantikan. Pasalnya, Islam memang tidak memisahkan antara kehidupan politik dan spiritual, bahkan saat umat jatuh dalam kubangan sekularisme (yang menjauhkan agama dari urusan sosial-politik-kenegaraan) saat ini, yang berdampak pada terpinggirkannya para ulama. Ulama masih memiliki tempat tersendiri dalam pribadi umat dengan berbagai alasan. Karena itu, para penguasa atau calon penguasa selalu berusaha untuk meraih dukungan mereka.
Di sisi lain, ada sebagian kiai/ulama yang merespon persoalan politik kekinian (seperti Pilpres 2009) dengan memberikan panduan kepada umatnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi, misalnya, menyatakan bahwa pemimpin kaum Nahdliyyin memberikan dua syarat untuk calon presiden mendatang. Menurutnya, syarat pertama, calon presiden itu harus menyelamatkan agama, dan syarat kedua, calon presiden tidak membawa agenda neoliberalisme.
Pandangan dan sikap yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi sebagai pimpinan kaum Nahdliyyin ini sangatlah penting untuk memberikan wawasan kepada jamaahnya agar di Pilpres bulan Juli nanti mereka tidak salah memilih (Eramuslim.com).
Sayang, pandangan dan sikap ini tidak menyentuh “sistem politik” yang tegak saat ini. Padahal menyelamatkan agama sejatinya adalah dengan menegakkan akidah dan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan mereka, baik di ranah pribadi maupun ranah sosial-politik-kenegaraan. Semua ini tentu tidak bisa diwujudkan dalam sistem politk sekular saat ini. Sebaliknya, keselamatan agama menuntut adanya institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan.
Lagipula, masalah kepemimpinan sesungguhnya terkait dengan dua faktor: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan yang digunakannya. Jika panduan untuk memilih pemimpin ini hanya terkait dengan sosok pemimpinnya saja, tentu hal demikian telah mengabaikan sama sekali sistemnya (yakni sistem sekular) yang justru gagal menyelamatkan agama dari pengebirian perannya sekadar sebatas penjaga moral belaka. Dalam sistem sekular saat ini, peran agama sebagai solusi atas seluruh problem kehidupan malah disingkirkan jauh-jauh. Sistem sekular ini pun sekaligus menjadi payung bagi tegaknya neoliberalisme/liberalisme dalam berbagai aspek kehidupan umat.
Karena itu, kesadaran akan bahaya sekularisme ini harus ada di benak para ulama. Singkat kata, ulama harus mulai menyadari bahwa sistem sekular inilah yang harus terlebih dulu disingkirkan dan digantikan dengan sistem Islam, yakni sistem yang menegakkan syariah Islam, sebelum umat ini benar-benar diarahkan untuk memilih pemimpinnya. Jika hal ini tidak dilakukan, siapapun pemimpin yang terpilih, yakinlah, mereka hanya akan semakin mengokohkan sistem sekular ini. Akibatnya, harapan untuk menyelamatkan agama sekaligus menjauhkan neoliberalisme akan menjadi tinggal harapan, tidak akan pernah mewujud dalam kenyataan. Pasalnya, justru sekularismelah ancaman yang sebenarnya terhadap keselamatan agama, dan sekularisme pula yang sekaligus menjadi pintu yang sangat lebar bagi masuknya neoliberalisme.
Peran dan Tanggung Jawab Ulama
Ulama adalah pewaris para nabi. Apa yang diwariskan oleh para nabi tentu tidak akan digadaikan dengan apapun, meski dengan seluruh isi bumi dan langit ini. Tentu karena para ulama adalah orang-orang yang memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Atas dasar iman dan ilmunya, ulama akan senantiasa berjuang membimbing umat untuk senantiasa hanya menghamba kepada Allah SWT secara total. Penghambaan secara total itu harus dibuktikan dengan cara menjalani dan menata hidup ini sesuai dan tuntunan (baca: syariah Islam) yang dibawa oleh Rasulullah saw., baik dalam kehidupan politik maupun spiritual, seraya berharap keridhaan Allah SWT sebagai tujuan paling puncak.
Karenanya, ulama harus menjadi penyambung lidah umat di hadapan para penguasa. Ulama harus menjadi pembimbing mereka menuju kepemimpinan yang mulia dengan Islam. Sebab, mereka semua adalah hamba-hamba Allah SWT yang juga merindukan surga.
Namun demikian, fungsi ulama akan pudar dan tertutup dengan sikap dukung-mendukung calon pemimpin tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Selain itu, dukungan ulama sejatinya hanya diberikan kepada mereka yang mau menegakkan akidah dan syariah Islam secara kâffah, bukan kepada mereka yang akan melanggengkan sekularisme yang nyata-nyata selalu menjadi ancaman bagi keselamatan agama dan menjadi pintu masuk bagi bercokolnya neoliberalisme.
Di sisi lain, para pemimpin atau calon pemimpin harus dekat dengan ulama semata-mata demi meminta bimbingan menuju ridha Allah SWT, dan bukan demi ‘membeli’ ulama sekadar untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan.
Umat hari ini merindukan sosok ulama yang ikhlas berjuang dengan pengorbanan maksimal agar bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliah modern, derita dan nestapa dalam kerangkeng sistem sekular-liberal; menuju cahaya Islam dalam wujud masyarakat dan negara yang bersyariah, yang berjalan di atas hidayah Islam. Itulah masyarakat dan negara yang pernah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah beliau.
Sifat-sifat Ulama
Karena itu, ulama harus memiliki sejumlah sifat dan karakter khas, antara lain: Pertama, senantiasa berzikir kepada Allah dalam semua keadaan. Allah SWT berfirman:
]الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ[
Mereka adalah orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadan berbaring (QS Ali Imran [3]: 191).
Kedua, menjauhi penghambaan kepada thâghût. Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا[
Mereka adalah orang-orang yang menjauhi thâghût, yaitu tidak menghambakan diri kepadanya (QS az-Zumar [39]: 17).
Ketiga, senantiasa bertobat (kembali) kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
]وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ[
Mereka senantiasa kembali kepada Allah (QS az-Zumar [39]: 17).
Keempat, selalu menghubungkan apa saja yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan seperti silaturahmi, loyal kepada sesama Mukmin, mengimani semua nabi dan menjaga semua hak manusia. Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ[
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan (QS ar-Ra’d [13]: 21).
Seorang ulama pasti lebih suka berdekatan dengan seorang Muslim yang taat daripada dengan mereka yang selalu memusuhi umat Islam. Ulama pun akan menjadi perekat umat, pionir ukhuwah islamiyah, dan tidak mungkin menjadi pemecah-belah umat.
Kelima, memiliki rasa takut kepada Allah dan keagungan-Nya, sebagaimana firman-Nya:
]وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ[
Mereka selalu takut kepada Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 21).
Ulama hakiki akan memiliki rasa takut yang luar biasa kepada Allah. Dia akan lebih mudah menangis daripada tertawa terbahak-bahak. Tampak keanggunan dan kewibawaannya karena kekhusyukan yang memancar dalam dirinya.
Keenam, takut terhadap keburukan Hari Penghisaban, sebagaimana firman-Nya:
]وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ[
Mereka senantiasa takut pada hisab yang buruk (QS ar-Ra’d [13]: 21).
Rasa takut ini tercermin dalam ucapan dan semua perbuatannya untuk selalu menjauhi semua larangan Allah.
Ketujuh, memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu. Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ[
Mereka adalah orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya (QS ar-Ra’d [13]: 22).
Semua perintah Allah adalah kewajiban dan beban yang harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran. Demikian juga dengan musibah.
Umat Membutuhkan ’Ulama Akhirat’
Sebagaimana dimaklumi, kewajiban terbesar umat Islam hari ini adalah mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat dengan menegakkan seluruh syariah Allah SWT. Sebaliknya, kemungkaran terbesar yang wajib ditumbangkan saat ini adalah sistem thâghût yang menerapkan hukum-hukum kufur buat manusia. Itulah sistem sekular yang tengah berlangsung saat ini.
Karena itu, saat ini umat benar-benar membutuhkan ’ulama akhirat’ yang bisa membimbing mereka untuk kembali pada Islam secara kâffah sambil terus-menerus memberikan dorongan dan dukungan terhadap perjuangan ke arah penegakkan syariah Islam. Umat membutuhkan ulama yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. dalam mewujudkan masyarakat islami, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan, dalam Daulah Khilafah. Hanya dengan itulah cita-cita umat mewujudkan baldat[un] thayyibat[un] warabb[un] ghafûr akan benar-benar terwujud, insya Allah.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []
KOMENTAR:
Rakyat jangan berharap banyak pada Parlemen baru (Kompas, 26/5/2009).
Memang, karena mereka hanya akan mengokohkan sekularisme.
TETAP ISTIQOMAH DIJALANNYA……………………………
SEMUANYA AKAN BERJALAN SESUAI SEBAGAIMANA KREINGINAN KITA JIKA ALLAH MENGHENDAKI………..SUBHANALLAH WAL HAMDULILLAH…………….WA ALLAHU AKBAR
‘Ulama akhirat = ‘Ulama penerus para nabi. Mereka tidak takut dengan celaan para pencela ketika berjuang mengembalikan kehidupan islam. Mereka adalah mutiara umat yang senantiasa membimbing dan menjaga umat agar selalu terikat dengan syari’at islam.
Menjadi ‘ulama akhirat’ tentulah tidak mudah. Namun kita pasti BISA menjadi sepertinya. Mari sadarakan Umat dengan terus BERGERAK, BERJUANG, TEGAKKAN IDEOLOGI ISLAM! ALLAHUAKBAR!!!
Ideologi Islam akan memunculkan org2 yg berkaliber ulama akhirat
Perbanyak kader ulama penyebar syari’ah dan khilafah. Tinggalkan ulama penjilat yang sukanya runtang-runtung sama penguasa tanpa menyeru kepada Islam. Ulama akherat tidak cari popularitas apalagi mengemis pada founding asing. Jangan masukkan anak ke IAIN/UIN nanti jadi benci syari’ah.
yassarollohu umurona….Allohu akbar
Kami ingin tahu komentar HTI atas pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presdiden, Komentar tsb akan menjadi rujukan bagi kami dalam memilih. Apabila kami umat Islam boleh memilih pasangan mana yg layak di plilih, atau kami harus Golput.Terimakasih HTI.
Katakanlah, kepada Capres, Cawapres, caleg/leg, tim sukses dan jurkam (dan seterusnya) yang datang kepada Anda.
Katakanlah kepada mereka :
”Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan”. (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, kalian banyak mengadukan perkara kepadaku, sedangkan aku juga manusia. Bisa jadi, sebagian dari kalian lebih pandai beralasan dibanding yang lain. Maka barang siapa yang aku menangkan perkaranya dengan menzalimi saudaranya karena dia pintar bicara, sungguh yang aku berikan adalah potongan api neraka. Oleh sebab itu janganlah dia mengambilnya.” (Muttafaq Alaih). Sabda Rasulullah SAW diatas berkaitan dengan banyaknya orang bersilat lidah, baik dalam menuduh maupun membantah.
Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir. (HR. Ad-Dailami)
Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath-Thabrani)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras penantangnya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan dari Abu Ustman an-Nahdi, Umar bin khattab berkata dalam khutbahnya, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, perkara yang sangat aku takutkan atas ummat ini adalah orang munafik yang lihai bersilat lidah’.” (Shahih, HR Ahmad, Abu Ya’la, Abdu bin Humaid, al-Firyabi, al-Baihaqi)
Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang bagi mereka. (HR. Ahmad)
MUI HARUS MENGELUARKAN FATWA WAJIB MEMILIH PRESIDEN YG MAU MELAKSANAKAN SYARIAT ISLAM BUKAN FATWA HARAM GOLPUT
Sosok pemimpin yang didambakan umat islam yang berprilaku islami dan mampu (cakap dalam bidang ekonomi) memberdayakan umat di indonesia memang sulit dan Sosok tersebut ada namun bagaimana Umat mampu melihat sosok tersebut dari Pesta Demokrsasi Pilpres mendatang.
Sulit mas Syafrizal…
Bahkan, menurut saya tidak ada.
Apalagi dalam pilpres sekarang.
Sayangnya, ada sebagian, ulama kita justeru malah terbawa arus.
Pengangguran makin banyak, PHK bertambah, belum lagi banyak perusahaan nasional yang diprivatisasi.Dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.Ini berarti masalahnya bukan di orangnya saja, tapi dari sistem yang dipakai. Ini sudah berlarut-larut, terlalu lama rakyat Indonesia, diombang-ambing oleh rezim-rezim pro-liberal secara bergantian.
Tapi sebagian ulama kita malah meminta jabatan dari orang2 neoliberalis. Di panggung manis, tapi entah kenapa di lapangan, jauh dari yang diucapkan.
Gak ada mas!
Setuju!
Ulama sejati hanya akan terlahir dari sistem yang menjamin kebeningan hati. Kebeningan hati tidak akan pernah ada dalam DEMOKRASI KUFUR!!!…
“Ulama” akhirat yang kami cari, bukan ulama yang bersurban demokrasi,,menjadi posko pengumpul suara umat untuk mengokohkan sistem kufur.. Alih-alih mencari pemimpin yang mengutamakan agama, yang ada hanya kepentingan pragmatis yang bicara..
Jangan gadaikan keimanan dengan secuil materi, karena semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak..
Tetaplah pada perjuangan penegakan Syariah Islam, jika ingin mendapatkan pemimpin yang menyelamatkan agama, tak ada pilihan selain “Pengangkatan seorang Khalifah, bukan presiden”.
Wallahu’alam.
Yang penting banget … satukan seluruh umat Islam yang ada di Bumi Indonesia ini. Tingggallan dulu perbedaan-perbedaan dalam Islam… Karena Allah hanya mengenal Islam bukan perbedaannya. Yang penting sama-sama kita tegakan kalimat tauhid, setelah kalimat tauhid sudah terpatri di hati muslim Indonesia, Insya Allah akan ada ulama akhirat ( ulama yang terpercaya) di hati umat muslim. Insya Allah ..
Allahu Akbar …..
Ulama – ulama yang minta jabatan adalah ulama dunia bukan ulama akhirat ….
Bukankah Allah akan mencampakkan ulama-ulama yang mementing diri sendiri, memamerkan ilmunya kepada manusia supaya disebut alim dan dipublikasikan ? bukan karena Allah ….
Saya pernah baca dalam suatu hadist ulama seperti itu akan dicampakkan dengan mukanya terlebih dahulu ke dalam neraka.. Nauzubillhi minzalik
Kalo para sekuleris berani korupsi sampai pengadilan ( badan yudikatif ) kerepotan, maka mari kita berjama’ah tidak bayar pajak, supaya pemerintah juga repot mengurus penunggak 2 tsb. Terus kita/ umat islam bargaining kepada legislatif, pemerintah dan yudikatif untuk mengumpulkan dan mengalokasikan /distribusikan sendiri dana infaq, sodaqoh dan zakat sebagai kompensasi umat islam yang tidak bayar pajak. Jadi kita tukar hukum pajak dengan hukum zakat langsung di terapkan di tengah -tengah umat. Supaya sekolah dan kesehatan bisa gratis kita umat islam mengurus sendiri9 saja. Kalo gak mau,? ya apa lagi kalo tidak jihad melawan musuh islam. Walaupun fisik ana sudah lemah tapi ghiroh ana menegakan syariah islam tidak kalah dengan ABG. Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar.
Ulama adalah warisan para nabi. Sudah seharusnya tugas ulama adalah membimbing umat ke jalan yang benar. Jangan sampai kemuliaan ulama dapat dibeli dengan harta dunia.
Ya, kita butuh ulama yang kaffah,artinya tidak setengah hati mengurus Agama Allah (Islam)
Bukannya ini sistem thoghut, buat apa ikut pilpres ?
ayo konsisten saudraku …