Khaled Meshaal, Ketua Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) menyerukan untuk: “menerima dan berkompromi dengan aturan permainan demokrasi di dalam nasional Palestina”. Sebab, menurutnya itu merupakan syarat (kondisi) yang diperlukan untuk keberhasilan dialog menuju rekonsiliasi Palestina.
Meshaal menolak jika dikatakan bahwa Hamas “menjadi ekor (kepanjangan) Iran di wilayah Palestina”. Dia menekankan bahwa Hamas memiliki keputusannya sendiri untuk masa depan bukannya mengekor pada siapapun”. Namun, dia membenarkan jika gerakannya punya hubungan dengan Iran, dimana dalam hal ini dia berkata: “tidak boleh menyalahkan jika ia meminta bantuan Teheran setelah semuanya mengabaikannya”.
Dia meminta, “untuk menjauhkan berbagai intervensi dan persyaratan eksternal (dari luar) terhadap persoalan Palestina”. Dan dia juga menyangkal jika peran serta Mesir atau Arab dikatakan sebagai bentuk intervensi”. Bahkan dia melihat hal itu sebagai “sesuatu yang diperlukan bagi penyelesaian persoalan Palestina”. Sedang yang dimaksud dengan intervensi yang ditolaknya adalah “terbatas pada intervensi Amerika dan Tim Kuartet yang terdiri dari PBB, Uni Eropa, Amerika, dan Rusia”.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan gerakan Hamas, yang masih saja berkoordinasi dengan rezim Mesir yang senantiasa diselimuti banyak tanda tanya, serta dengan rezim Arab yang jelas-jelas tidak punya nyali, dan sikap Hamas yang masih saja menerima pengawasan oleh Kepala Intelijen Mesir, Suleiman Amru dalam proses dialog, maka ini artinya bahwa gerakan Hamas masih saja tunduk pada berbagai dikte (ketentuan) Amerika secata tidak langsung, yang hal itu dilakukan melalui pintu rezim Mesir, yang semua tahu bahwa rezim Mesir merupakan antek setia Amerika. (kantor berita HT, 15/06/2009)