OXFORD – Para Wanita Muslim dan tunangan Nasrani mereka dari penjuru Eropa kini mendatangi Oxford bila akan menikah. Pasalnya imam-iman di negara mereka menolak untuk memandu prosesi pernikahan.
Dr Taj Hargey, pimpinan Pusat Pendidikan Muslim di Oxford mengatakan ia telah menikahkan sekitar 36 pasang pengantin dalam dua tahun terakhir. Tentu saja pernikahan lintas agama, wanita Muslim dengan pria Muslim.
Mayoritas imam atau penghulu lebih suka melihat pria Muslim menikahi wanita non-Muslim. Pasangan dari Spanyol, Jerman, Swedia, Irlandia, Perancis dan Norwegia, semua datang kepada Hargey setelah gagal menemukan penghulu lokal yang siap untuk memberikan layanan tersebut.
Sebagian besar pasangan ‘gado-gado’ itu mencari seorang imam berbulan-bulan. Banyak yang menemukan Hargey, justru setelah mengontak pemuka Muslim Amerika lewat internet.
Hargey meyakini ia adalah satu-satunya imam di Inggris bahkan di daratan Eropa yang terbuka memberi pelayanan menikahkan pasangan lintas agama. “Kami melakukan itu karena tidak ada larangan dalam Al Qur’an” ujarnya seperti yang dikutip oleh The Oxford Times.
“Islam mengijinkan lelaki Muslim menikahi wanita non-Muslim dan pernikahan macam itu memang umum,” kata Hergey. “Tapi saya salah satu orang yang melayani juga sebaliknya,” imbuhnya.
Ia memaparkan kepada para pasangan, pertama-tama, mereka harus menandatangani persyaratan yang tak bisa ditawar yakni melindungi keyakinian si perempuan. Lalu kedua pasangan harus setuju menjalani konseling sebelum menikah.
Seorang wanita Muslim, Sana Majeed McMillion, 27 tahun, dan pria Kristen, Andrew McMillion, 32, adalah salah satu pasangan yang dinikahkan oleh by Dr Hargey, bulan lalu di Abingdon. Kota yang berjarak tempuh 2.400 kilometer lebih dari rumah mereka, Oslo.
“Secara umum, sepertinya pria Muslim menikahi wanita non-Muslim lebih dapat diterima, namun tidak bila sebaliknya, ” kata Andrew McMillion yang bekerja sebagai manajer akuntansi untuk perusahaan TI. “Ketika kami berbincang dengan Dr Taj, kami akhirnya bertemu seseorang yang memiliki pemahaman berbeda soal itu,” lanjutnya.
Pasangan itu sendiri telah menyelenggarakan pernikahan di Oslo, tahun lalu. Namun mereka, terutama si wanita, menginginkan tata cara pernikahan Islam dan pemberkaatan dari Allah atas pernikahan mereka.
Sana, wanita kelahiran Pakistan yang kini menunggu anak pertama mengatakan keyakinannya merupakan bagian sekaligus berkah yang menyatakan siapa dirinya. “Hak yang diatur dalam pernikahan Islam sangat berharga. Itu sesuatu yang sangat penting bagi saya,” imbuhnya.
Sementara Hargey mengatakan kondisi saat ini, yakni wanita Muslim berpendidikan lebih baik ketimbang lelaki Muslim–wanita menjadi pengacara dan doktor sementara lelaki Muslim berprofesi supir taksi–menjadi semacam bom waktu. Wanita dengan tingkat pendidikan itu tak akan mencari pasangan hidup dari pengemudi taksi.
Pandangan dan praktek Hargey bukannya tanpa tentangan. Seorang dewan di Sekolah Muslim Iqra di Oxford, Dr Hojjat Ramzy, mengatakan pernikahan macam itu tidak diijinkan oleh Islam. “Tidak dibolehkan, dalam situasi apa pun bagi pria Nasrani untuk menikahi seorang wanita Muslim. Itu tidak dapat diterima,” (Republika online, 02/07/2009)