Kekerasan Rusia Terhadap Muslim Chechnya Berlanjut

Tak lagi mengusung komunis,  tak menghentikan Rusia bertindak kejam dan melecehkan warga Chechnya, demikian ujar Amnesti Internasional, Rabu (1/7). Organisasi itu mengingatkan bahwa ketidakadilan akan menggangu kestabilan wilayah Kaukasus Utara yang bermayoritas Muslim.

“Kekerasan serius terhadap hak asasi manusia terus terjadi dengan iklim bebas hukum,” ujar Amnesti Internasional dalam laporannya berjudul “Aturan tanpa hukum: Kekerasan terhadap Hak Asasi Manusia di Kaukasus Utara”. Laporan itu dibuat berdasar pengakuan, penuturan warga, dan bukti di wilayah tersebut.

Meski Moskow telah menyatakan secara resmi akhir operasi militer di republik Kaukasus pada April lalu, kekerasan dan pelecehan hak asasi terus ada di bawah operasi yang dijuluki Rusia, lawan-teroris. “Pada 16 April, 2009, pemerintah memang mengumumkan akhir operasi, namun hanya untuk mengenalkan kembali operasi tak jauh beda di beberapa distrik,” demikian bunyi dalam laporan.

Amnesti mengatakan warga Chechnya masih tinggal dalam atmosfer tanpa hukum yang mengancam penuh ketakutan. Rasa ketidakamanan muncul sebab kekerasan dan pelecehan kerap dilakukan tanpa kemungkinan tersentuh hukum.

“Penegak hukum melakukan kebijakan anti-teroris yang, di berbagai kasus mengakibatkan kekerasan serius terhadap hak asasi manusia,” lanjut laporan. “Mereka yang bertanggung jawab terhadap kekerasan melenggang bebas, sementara korban dan keluarga mereka tidak memiliki tempat mengadu meski dalam sistem peradilan Rusia,”

Laporan juga menambahkan jika jumlah kasus yang ditemukan ole Pengadilan Hak Asasi Eropa, yakni Rusia bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga Chechnya, telah mencapai 100 kasus hanya untuk bulan Mei. “Orang-orang menjadi korban di wilayah itu, seperti menghilang, penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dan tindakan menyakitkan fisik lain, atau bahkan dibunuh dala penahanan,”

Chechnya telah tercabik dalam dua perang sejak 1994. Wilayah itu hanya sempat merasakan damai relatif selama tiga tahun setelah perang pertama antara Rusia dan Chechnya berakhir pada Agustus 1996.

Paling sedikit 100 ribu warga sipil–sepuluh persen dari populasi–diperkirakan tewas dalam kedua perang tersebut, meski beberapa grup hak asasi mengatakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih banyak.

Grup pengamat hak asasi telah lama menyaksikan Moskow melakukan tindak pemerkosaan, penyiksaan, eksekusi tanpa pengadilan oleh tentara-tentara Rusia. Hal itu terjadi setia hari di Chechnya.

“Padahal saat ini di wilayah tersebut hanya sedikit pertikaian antara tentara pemerintah dengan kelompok bersenjata Chechnya, malah perlawanan di wilayah lain yang lebih intensif,”

Laporan juga menyatakan serangan percobaan pembunuhan terbaru akhir-akhir ini oleh kelompok bersenjata di Ingushetia, tepatnya 22 Juni lalu terhadap Presiden Yunus-Bek Yevkurov, membuat sang presiden terluka. “Itu hanya puncak dari gunung es,” kata Amnesti.

Pada Juni, kepala deputi Mahkamah Agung Ingushetia dan Menteri Dalam Negeri Dagestan, terbunuh. Amnesti menegaskan hanya melalui penyeledikan independen terhadap kekerasan hak asasi manusia masa lalu yang dapat membawa keamanan di wilayah tersebut.

Normalisasi di Chechnya, dan juga Kaukasus Utara secara keseluruhan, menurut Amnesti, tidak mungkin tanpa penegakan hukum tegas dan benar-benar mengakhiri kekerasan hak asasi dan yang selama ini bebas dilakukan. “Tanpa penghormatan sesungguhnya terhadap hukum untuk mencegah kekerasan mengerikan, stabilitas dan keamanan bagi warga Kaukasus Utara tidak dapat terwujud,” (Republika online, 02/07/2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*