Propaganda Anti Islam Dibalik Perang Melawan Terorisme

Oleh Farid Wadjdi

Penjajah Barat kapitalis tidak berhenti melakukan melakukan evaluasi dan studi tentang kaum Muslimin dan Islam. Mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa kekuatan Islam dan umatnya ada pada akidah Islam dan pemikiran-pemikiran yang lahir darinya. Karena itu, mereka tetap berkepentingan untuk memusnahkan Islam. Caranya adalah dengan menghapuskan Islam sebagai akidah siyâyisah (dasar sistem politik) dan menggantikannya dengan akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka pun gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari aqidah sekularisme ini seperti nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan, dan politik pasar bebas.

Di samping itu, untuk menjauhkan keinginan kaum Muslim untuk kembali ke Islam, mereka secara sistematis melakukan pendiskreditan Islam dengan predikat-predikat seperti teroris, fundamentalis, konservatif, ekstremis, dan sebutan-sebutan penghinaan lainnya. Mereka juga melakukan perang propaganda seperti melakukan obfuskasi (pembingungan), disformasi (pemberian informasi yang tidak benar), desepsi, deversi, dan cara-cara propaganda lainnya. Intinya, mereka melakukan penyesatan opini terhadap kaum Muslim. Semuanya itu, sekali lagi, bermuara pada satu hal: memberangus Islam sebagai kekuatan politik dan ideologis sekaligus menghalangi tegaknya Daulah Islamiyah dan penerapan Islam yang kâffah.

Propaganda yang Sistematis

Penyesatan opini, dalam berbagai bentuknya, sesungguhnya merupakan bagian dari sebuah propaganda. Propaganda sering diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan seorang komunikator yang bertujuan untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku penduduk yang menjadi sasarannya melalu simbol-simbol verbal, tulisan, dan perilaku; dengan menggunakan media seperti buku-buku, pamflet, film, ceramah, dan lain-lain. Propaganda merupakan salah satu metode standar yang digunakan negara untuk mengamankan, memelihara, dan menerapkan power (kekuasaan) dalam rangka memajukan kepentingan nasionalnya. (Columbus dan Wolf, Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 184).

Melihat defenisi di atas, propaganda merupakan perkara yang ‘wajib’ ada dalam sebuah negara, apalagi negara yang ideologis. Di sinilah penguasa atau rakyat sebuah negara harus benar-benar mampu menilai mana yang merupakan propaganda mana yang tidak. Penguasa atau rakyat sebuah negara yang gagal memahami propaganda negara lain akan mengakibatkan perubahan sikap, pendapat, dan perilakunya justru sejalan dengan kepentingan musuh.

Umat Islam sebagai umat yang ideologis harus benar-benar menyadari bahwa propaganda itu benar-benar ada. Propaganda bisa dilakukan secara sistematis untuk mendapat kemanfaatan jangka pendek atau bisa juga untuk kemanfaatan jangka panjang. Untuk jangka pendek, misalnya, melegalisasi serangan ke sebuah negara dan menjatuhkan sebuah rezim atau pemerintahan di sebuah negara; seperti propaganda AS untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, Soekarno, dan Soeharto, termasuk Taliban di Afganistan. Sebagai contoh, saat hendak menyerang Irak dalam Perang Teluk II, AS melancarkan propaganda dengan melakukan pembohongan informasi kepada kongres dan publik AS.

Terungkap kebohongan Nariyah yang katanya merupakan saksi kekejaman tentara Irak. Namun ternyata, gadis ini tidak pernah bekerja di Kuwait dan saat peristiwa ada di Paris. Atas dasar laporan bohong itulah, kongres menyetujui serangan ke Irak. (Lihat: ZA Maulani, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 9). Untuk menjatuhkan rezim Taliban, AS dalam propagandanya mendaftar pengkhianatan Taliban terhadap rakyat Afganistan seperti pembantaian, pelanggaran hak asasi wanita dan anak perempuan, perilaku korup, dan menggunakan Islam sebagai selubung pembantaian etnis. (Jaringan Teroris, Deparlu AS, hlm 13).

Propaganda bisa dilakukan juga untuk kepentingan jangka panjang. Propaganda seperti ini biasanya lebih bersinggungan dengan nilai-nilai ideologis yang ingin disebarkan di pihak lawan dan, sebaliknya, menanamkan ‘citra jelek’ terhadap nilai-nilai ideologis yang dianut oleh negara musuh. Tipe propaganda seperti ini biasa lebih membutuhkan waktu yang panjang, namun secara sistematis dan kontinu terus dilakukan. Sebagai contoh, bagaimana AS dengan gencar menyebarkan nilai-nilai ideologisnya seperti sekularisme, demokrasi, HAM, kebebasan, dan pasar bebas. Sesungguhnya ini merupakan propaganda jangka panjang AS. Tujuannya jelas, yakni untuk kepentingan AS sendiri. Sebaliknya, AS membuat citra jelek terhadap lawan ideologinya seperti tuduhan teroris, ekstrimis, konservatif, dan pencitraan jelek lainnya. Metode utama propaganda jangka panjang ini yang dilakukan oleh AS adalah disinformasi, yakni melakukan penyesatan opini. Inilah yang sekarang ini sedang dilakukan oleh AS kepada musuh utama ideologisnya, yakni Islam.

Teknis Khusus ‘Penyesatan Opini’

KJ Holsti, dalam Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm 220, dengan mengutip buku The Fine Art of Propaganda: A Study of Father Coughlin’n Speeches, mengemukakan beberapa teknis propaganda yang sering dilakukan untuk melakukan penyesatan opini.

Pertama, nama julukan.

Propagandis mencantelkan lambang yang dibebani emosi pada seseorang atau suatu negeri. Sasaran diharapkan akan menanggapi cap tersebut tanpa memeriksa bukti. Sebagai contoh, Saddam Hussain diberi julukan ‘Pembantai dari Baghdad’. Selama Perang Teluk II, media massa AS menyebut Presiden Irak ini dengan sebutan ‘Binatang Buas’ (Mary McGroriy, Washington Post, 7/8/90) atau ‘Monster’ (Newsweek, 20/8/90). Orang-orang Arab (yang jelas sangat berhubungan dengan Islam) dalam budaya populer Barat digambarkan sebagai orang yang licik, tidak bisa dipercaya, jalang, bernafsu seks besar, dan kejam. Rasulullah saw. dijuluki ‘si Maniak Seks’ atau ‘sang Teroris’. Perusahaan kartun a Doaug Marlette membuat headline dengan judul, “What Would Mohammed Drive?” Digambarkan di sana, Rasulullah mengendrai truk yang berisi bom nuklir-laden yang mirip dengan truk yang digunakan oleh Timothi McVeigh dalam pengeboman di Oklahoma City 1995. Pejuang Hamas diberi gelar teroris. Para penegak syariat Islam dilabeli secara sistematis dengan julukan ‘kaum skriptualis’, kaum tekstualis’, atau ‘kaum ortodoks dan konservatif’. Iran diberi gelar ‘negeri para mullah’ (tentu dengan konotasi negatif). Istilah ‘Muslim garis keras’, sebagai lawan dari ‘Muslim moderat’, digunakan untuk memberikan kesan negatif pada pelaku penegak syariat Islam. Negara yang tidak sejalan dengan AS di Timur Tengah dicap sebagai ‘negara militan’, sementara negara yang sejalan dengan AS disebut ‘negara sahabat’ atau ‘negara moderat’.

Dalam teknis propaganda ini, para propagandis biasanya menggunakan istilah-istilah emosional dan stereotif yang telah melekat di telinga pendengar. Seperti kata ‘buas’, ‘maniak’, garis keras’, biasanya merupakan istilah yang sudah melekat dianggap ‘jahat’. Berbeda dengan kata ‘moderat’, ‘pejuang’, dan ‘substansialis’; merupakan kata-kata yang dianggap ‘baik’. Kata-kata tersebut kemudian dilekatkan pada seseorang atau negara tanpa diperiksa lagi kebenarannya.

Kedua, generalitas gemerlapan.

Kalau yang pertama lebih berkaitan dengan individu atau suatu negeri, yang kedua ini digunakan untuk gagasan atau kebijakan. Istilah ‘dunia bebas’, ‘dunia beradab’, atau ‘dunia yang makmur’ adalah generalitas yang paling disukai oleh Barat untuk mendukung ide kapitalismenya.

Ketiga, pengalihan.

Pelaku propaganda berupaya mengidentifikasikan suatu gagasan, seseorang, suatu negara, atau kebijakan dengan mengalihkannya pada gagasan atau kebijakan yang bertolak belakang. Hal ini untuk menimbulkan citra jelek pada gagasan atau kebijakan pihak musuh. Khilafah Islamiyah atau negara Islam dijuluki sebagai ‘negara pada zaman batu’, ‘sistem abad kegelapan’, ‘dunia jumud dan tidak beradab’, ‘sistem utopis’, ‘sistem penuh darah’, serta julukan-julukan negatif lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Israel di Palestina dialihkan dengan gagasan lain seperti ‘anti Semith’ atau ‘anti negara demokrasi’.

Saat Irak diserang oleh AS dalam Perang Teluk II, untuk menutupi maksud AS sebenarnya, dipropagandakan bahwa hal itu demi membebaskan Kuwait. Demikian juga saat sekarang; untuk menutupi tujuan AS sebenarnya, yakni menguasai minyak Irak, dipropagandakan bahwa penyerangan atas Irak adalah bukan untuk menyerang umat Islam, tetapi untuk menjatuhkan diktator Saddam Hussein. Pada faktanya, saat AS menyerang Irak dalam Perang Teluk II, 200.000 orang Irak meninggal dunia. Pemerintah dan media massa AS mengabaikan hal ini. Bahkan, Colin Powel, saat ditanya jumlah korban sipil di Irak yang meninggal sejak tahun 1991 dalam tersebut, dengan arogan menjawab, tidak peduli dengan angka-angka korban tersebut, “It’s really not a number I am terribly interested in.”

Kalaulah AS memang bermaksud baik menjatuhkan diktator Saddam Hussein, mengapa Raja Fahd, Musharaf, Husni Mubarak, dan Islam Karimov yang juga diktator tidak diserang. Mengapa pula Ariel Sharon, yang jelas-jelas membantai umat Islam Palestina, tidak diserang AS?

Keempat, ‘orang sederhana’.

Setiap pelaku propaganda sadar bahwa masalah bertambah rumit jika ia tampak pada pendengarnya sebagai ‘orang asing’. Karena itu, mereka berupaya mengidentifikasikan diri sedekat mungkin dengan nilai dan gaya hidup sasaran dengan menggunakan logat, aksen, dan ungkapan setempat. Untuk itu, para propagandis biasanya lebih suka menggunakan penduduk ‘pribumi’ untuk menyuarakan kepentingan mereka. Cara yang paling efektif adalah merekayasa seseorang untuk menjadi tokoh, sumber rujukan, atau ilmuwan yang kompeten. Hal ini dilakukan lewat proses pendidikan, rekayasa media dengan menampilkan tokoh tersebut secara terus-menerus, atau dengan memberinya gelar/penghargaan. Tentu saja dengan kesan wah dan go internasional. Jadi, umat Islam harus waspada, kalau ada calon tokoh atau tokoh, yang idenya bertentangan dengan Islam bahkan menyerang Islam, tetapi mendapat banyak penghargaan dari Barat.

Kelima, kesaksian.

Di sini propagandis menggunakan seseorang atau lembaga yang dihargai untuk mendukung atau mengecam suatu gagasan atau kesatuan politik. Diharapkan sasaran mempercayainya karena hal ini disampaikan oleh yang ‘berwenang’. Propagandis, misalnya, menggunakan narasumber yang diberi gelar ‘pakar’, ‘ahli’, ‘ilmuwan’, ‘yang berpengalaman’, atau ‘saksi langsung’ untuk menambah keyakinan para pendengarnya.

Untuk menambah keyakinan pembaca tentang adanya jaringan Jamaah Islamiyah atau Jaringan al-Qaedah di Asia Tenggara, media massa Barat merujuk pada pendapat orang yang mereka sebut sebagai ‘pakar teroris’ seperti Rohan Gunaratma. Dia disebut ‘pakar’ antaralain karena melakukan studi tentang terorisme atau mengarang buku tentang terorisme. Di sini tidak dipersoalkan, apakah buku yang dikarangnya memberikan bukti-bukti ilmiah atau tidak. Demikian juga untuk menambah keyakinan pendengar tentang ‘pemahaman Islam yang benar’—maksudnya yang sejalan dengan kepentingan Barat, media massa Barat merujuk pada orang yang mereka sebut dengan ‘pakar Islam’ atau ‘cendekiawan Muslim. Padahal, yang dirujuk sering merupakan antek Barat yang dicangkokkan di tubuh umat. Di sini umat Islam penting untuk tetap melihat argumentasi dari ‘sumber-sumber’ tersebut, bukan terpesona dengan gelar-gelarnya.

Di samping itu, untuk menambah percaya pendengarnya, propagandis juga merujuk pada lembaga-lembaga swasta yang dikesankan independen. Padahal, pada praktiknya, lembaga ini merupakan lembaga pesanan yang menjalankan proyek-proyek penelitian berskala besar dengan biaya pemerintah. Banyak studi-studi tentang Islam atau Timur Tengah yang disponsori oleh pemerintah AS atau organasisi donor yang berafiliasi kepada pemerintah AS. Lembaga-lembaga yang terkesan independen ini kemudian memperkuat pandangan pemerintah AS dan mereka kemudian menjadi rujukan media massa. Di Indonesia, sudah diketahui umum, pada imasa Orde Baru, untuk memperkuat kebijakan pemerintah yang otoriter dan korup, penguasa sering merujuk pada CSIS. Padahal, CSIS adalah lembaga thinktank yang diketahui berhubungan dengan penguasa Orba pada waktu itu. Dalam kampanye AS sekarang ini juga banyak lembaga-lembaga yang mendapat bayaran dari Barat untuk mendukung propaganda Barat. Di AS beberapa lembaga ‘independen’ diketahui memiliki hubungan erat dengan pemerintah seperti Heritage Foundation.

Keenam, pilihan.

Hampir semua propaganda biasanya melakukan pilihan fakta; meskipun aktual, namun jarang rinci. Kalaupun rinci, propagandis menggunakan ‘fakta-fakta’ yang diperlukan saja untuk membuktikan tujuan yang telah ditetapkan terlebih dulu. Pilihan ini biasanya digunakan untuk melakukan generalisasi. Perjuangan syariat Islam diidentikkan dengan kekerasan. Kesimpulan ini dibangun dengan memilih fakta adanya aksi kekerasaan yang dilakukan oleh sekelompok kaum Muslim yang ingin menegakkan syariat Islam (itu pun sering tanpa bukti hukum). Sementara itu, adanya fakta lain berupa perjuangan syariat Islam tanpa kekerasaan—seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir di Uzbekistan, Yordania, Mesir, dan belahan dunia lainnya—cendrung ditutupi. Akibatnya, ada kesan kuat bahwa perjuangan syariat Islam identik dengan teror dan kekerasan.

Pemerintah AS mengeluarkan propaganda khusus untuk membantah diskriminasi Muslim di AS pasca Serangan 11 Septermber. Dalam iklan propaganda yang disiarkan di hampir seluruh Dunia Islam, dipilih fakta-fakta tertentu untuk mendukung tujuan tersebut. Empat orang warga AS yang berasal dari Arab bicara tentang kebebasan dan kesempatan hidup di Negeri Paman Sam itu. Padahal, banyak fakta lain di AS yang bertolak belakang dengan iklan tersebut diabaikan; seperti kewajiban cap jari bagi orang-orang dari Arab, Pakistan, dan negeri-negeri Islam lainnya; perusakan masjid dan Islamic Centre; gangguan terhadap wanita Muslimah di Amerika.

Di samping pilihan fakta, pilihan kata yang digunakan oleh media massa juga berperan dalam propaganda. Jika yang melakukan penyerangan adalah Muslim Palestina, serangan itu disebut sebagai serangan dari kelompok militan, fundamentalis, garis keras, bahkan teroris. Sebaliknya, jika yang melakukan penyerangan dan pembantaian adalah Israel atau Amerika Serikat, kata yang sering digunakan adalah serangan balasan (retaliation), serangan untuk mendahului (preempative strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Pilihan kata itu tentu saja lebih baik dari istilah teroris, bahkan bisa dijadikan pembenaran tindakan. Hamas yang ingin membebaskan diri dari penjajah Israel disebut teroris. Sebaliknya, sebutan pejuang pro kemerdekaan diberikan kepada kelompok Fretelin di Timor Timur yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Jika yang tertangkap adalah tentara AS, mereka disebut sandera atau hostage (berkonotasi tidak bersalah). Sebaliknya, pejuang al-Qaedah yang tertangkap disebut tahanan atau detainer (yang berkonotasi jahat dan sudah bersalah).

Ketujuh, ikut pihak yang banyak.

Teknik ini memanfaatkan keinginan pendengar untuk ‘menjadi bagian’ atau ‘satu sikap’ dengan orang banyak. Propaganda AS dan sekutunya sering menggunakan ungkapan ‘masyarakat internasional’, ‘sahabat-sahabat AS’, dsb. Dengan teknik ini akan terbangun suatu anggapan: siapa yang menentang propaganda tersebut akan menjadi minoritas dan terkucil.

Teknis ini paling sering digunakan oleh AS dalam kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’-nya saat ini. AS dan sekutunya sering menyatakan bahwa terorisme adalah serangan terhadap dunia.

Sama halnya dengan ungkapan para penolak syariat Islam yang sering menggunakan ungkapan, ‘mayoritas umat Islam Indonesia adalah moderat’, ‘organisasi Islam terbesar di Indonesia saja menolak syariat Islam’, ‘mereka itu hanya minoritas…’, dan ungkapan-ungkapan sejenis lainnya. Padahal jelas, kebenaran tidaklah bergantung pada suara mayoritas.

Kedelapan, kambing hitam frustasi.

Salah satu cara untuk menciptakan kebencian dan melepaskan frustasi adalah menciptakan kambing hitam. Propaganda kapitalis acapkali menuduh terorisme sebagai pengacau kemakmuran dunia, penyebab kemelaratan dan kemiskinan, dan pengganggu kebebasan dunia dan demokrasi. Padahal semua itu justru merupakan buah dari sistem kapitalisme yang keji. Syariat Islam dituduh merendahkan wanita dan menjadi pangkal kemunduran wanita, padahal sistem kapitalismelah penyebabnya. Tuduhan ‘pemecah-belah’ sering dilontarkan terhadap pejuang syariat Islam. Padahal pada faktanya, justru ide nasionalisme, kebebasan menentukan nasib sendiri, dan ide-ide kapitalisme lainnyalah yang menyebabkan terpecahbelahnya kaum Muslim. Bukankah ini terjadi pada Timor Timur yang melakukan referandum untuk memisahkan diri? Alasannya, kebebasan menentukan nasib sendiri.

Merangkul Media Massa

Hubungan antara propagaganda dengan media massa dan para intelektual adalah hal yang lumrah. Sebab, propaganda untuk mengubah pemikiran dan sikap sasarannya membutuhkan media massa sebagai alat yang efektif. Sementara itu, para intelektual sering dimanfaatkan sebagai narasumber yang dipercaya oleh masyarakat untuk memperkuat sebuah propaganda. Coulombus dan Wolf menulis, bahwa salah satu fungsi bisnis propaganda adalah memonitor, mengklasifikasi, mengevaluasi, dan mempengaruhi media massa. Para wartawan, kolumnis, komentator, dan pembuat opini yang dianggap bersahabat biasanya diundang ke kedutaan besar. Pihak kedutaan besar biasanya memberikan informasi ekslusif, bila perlu menawarkan bonus. Di negara-negara Barat, peran dinas propaganda luar negeri sangat besar. Hal ini mengingat opini publik, kelompok penekan, dan media massa terlibat terus-menerus untuk mempengaruhi kebijakan sebuah negara. (Pengantar Hubungan Internasional, hlm., 186-187).

Pemerintah AS saat dipimpin oleh Presiden Eisenhower pernah membentuk Badan Informasi Amerika Serikat (U.S.I.A) untuk menjalankan fungsi propaganda ini. Badan yang kemudian berganti nama ini menjalankan program-program radio multi bahasa pada Radio Voice of America (VOA); Radio Free Europe, telivisi, film dan media berita; serta program khusus seperti pertukaran mahasiswa dan sarjana, pidato keliling, konferensi-konferensi artistik, keilmuan, dan ilmiah. (Pengantar Hubungan Internasional, hlm. 186).

Pemerintah AS juga melakukan propaganda lewat media massa ‘swasta’ yang mengklaim diri independen. Dalam kasus isu terorisme, misalnya, sebagian besar media massa AS menggunakan pemerintah sebagai sumber utama berita mereka. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Edward Herman dan Gerry O’Sulivan, terbukti bahwa sumber-sumber media massa yang digunakan sebagian besar adalah pejabat pemerintah (42,3%).(Lihat: Satrio Arismunandar, Jurnal Ilmu Politik no. 12, hlm. 69). Tentu saja, informasi itu akan sangat bias, karena dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, dan biasanya, tanpa pengujian.

Keterlibatan pemerintah AS, dengan memanfaatkan wartawan sebagai agen intelijen mereka, sudah terjadi sejak Perang Dingin. Seperti yang ditulis surat kabar New York Times, “Sejak berakhirnya Perang Dunia II, lebih dari 30 atau bahkan 100 wartawan Amerika dari sejumlah organisasi berita dilibatkan sebagai pekerja operasi intelijen yang dibayar sementara menjalankan tugas-tugas reportasenya.”

Pada pertemuan dengan serikat redaktur surat kabar bergengsi, American Society of Newspaper Editors, pada April 1980, Direktur CIA Marsekal Stansfeild Truner mengatakan, “Bila dibutuhkan, ia tak akan ragu-ragu merekrut jurnalis.”

Agen CIA juga memiliki, mensubsidi, dan mempengaruhi banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya. (Ade Armando, dalam, Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, hlm. 78-79). Dalam era Perang Dingin, Badan Propaganda Amerika Serikat (ICA) sering mendukung penulis atau editor surat kabar asing yang menulis secara baik mengenai AS dan kebijakannya. (K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm 222). Tidak aneh jika kemudian media massa Barat sangat miring dalam memberitakan perjuangan umat Islam. Di Indonesia, bahkan ada TV yang dengan tegas menyatakan visinya sekularisme dan anti syariat Islam. Kalaupun membuat talkshow tentang syariat Islam dan menghadirkan pembicara yang pro dan yang kontra, biasanya acaranya direkasaya sedemikian rupa, baik dari segi waktu maupun moderatornya.

Perhatikan perubahan istilah ‘pejuang’ menjadi ‘teroris’ yang digunakan untuk kaum mujahidin Afganistan. Media massa Barat menggunakan istilah pejuang, karena saat itu AS memiliki kepentingan untuk mengusir pengaruh komunis di negeri itu. Setelah kepentingan AS berubah, yakni ingin menguasai Afganistan, dan istilah ‘pejuang’ kemudian menjadi ‘teroris’.

Para Intelektual Pengkhianat

Kaum intelektual Islam juga digunakan sebagai alat propaganda AS, baik sadar maupun tidak. Karena itu, AS sangat getol memberikan beasiswa kepada para pelajar di seluruh dunia. Pemerintah AS sangat sadar bahwa para pelajar yang sudah dibina oleh mereka akan menjadi corong-corong propaganda kepentingan Amerika di negara asal mereka masing-masing.

Mereka pun sangat jeli memilih siapa pelajar yang mereka beri beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Mereka biasanya adalah para aktivis serta para pelajar yang cerdas dan unggul namun lemah secara ideologis atau mereka yang berasal dari organisasi, etnis, atau agama yang berpengaruh di sebuah negara. Tidak mengherankan, untuk Indonesia, beasiswa luar negeri sering diberikan kepada para pelajar dari organisasi Islam yang besar di Indonesia. Tentu saja, mereka berharap, para pelajar yang bisa dipengaruhi akan menjadi corong mereka dengan legitimasi yang kuat, yakni dari organisasi Islam yang besar di Indonesia; meskipun tidak semua kemudian ‘berhasil’ mereka jadikan corong. (Lebih jelas, lihat: Holsty, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, hlm. 223).

Dunia Islam saat ini dipenuhi oleh para intelektual pengkhianat semacam di atas. Mereka menyebarkan ide-ide kapitalis seperti sekularisme, demokrasi, individualisme, HAM, pluralisme, dll. Mereka juga menjadi pembela sejati ‘yang dibiayai’ oleh pemerintah kapitalis. Tujuannya adalah untuk merusak akidah umat dan menjauhkan mereka dari syariat Islam. Dua perkara ini, akidah dan syariat Islam, memang menjadi sumber kekuatan umat Islam yang utama.

Lihat saja, bagaimana para alumnus universitas Barat pengkhianat itu membela habis-habisan kebijakan ekonomi kapitalis di Indonesia; membela IMF dan Bank Dunia. Mulut mereka juga berbusa-busa membela privatisasi, penghapusan utang konglomerat, pencabutan subsidi, dan mengikuti arahan tuan kapitalis mereka. Mereka tidak mau tahu, bagaimana penderitaan rakyat yang semakin terpuruk akibat diterapkan sistem ekonomi kapitalis tersebut.

Perhatikan pula pengusung ide libelisme yang ingin menghancurkan akidah umat dan syariat Islam. Mereka getol menyerukan ‘dialog antarumat beragama’ untuk menyatakan semua agama itu sama. Sekularisme juga mereka ajarkan kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Islam itu adalah masalah individual; tidak ada hubungannya dengan masalah publik seperti ekonomi dan politik; juga tidak ada urusannya dengan negara. Seruan-seruan mereka ini kemudian melanggengkan sistem sekularisme di Dunia Islam yang berarti melanggengkan penjajahan kapitalis Barat. []

13 comments

  1. Imad, T.Agung

    Assalamu’alaikum.
    Top markotop ustadz tulisannya.
    Semoga bisa membuka mata hati banyak orang, siapa sebenarnya yang jahat dan keji itu. Dan semoga bisa jadi obat penawar orang-orang yang terjangkiti penyakit phobi Islam. Amin.

  2. Hasan Mz/Abu Haidar

    Propaganda demi kepentingan barat yang anti Islam ini sekarang sedang dijalankan, hanya dengan qiyadah fikriyyah yang berlandaskan qur’an dan sunnah maka kita akan terbebaskan dari propaganda jahat ini bahkan sudah seharusnya melakukan counter-counter yang cerdas yang berlandaskan qur’an dan sunnah tadi

  3. kupasan yg jitu…,dan jelas. really… semua rentetan teror di dunia ini adalah provokator musuh islam. musuh khilafah. kalau ada orang islam yang mengatakan saudara islamnya teroris, nyata dia sudah dikangkangi propaganda untuk membusukan islam sebagai agama yg suci.

  4. wah propaganda ini yang harus di stop, karena semakin lama umat islam akan terpengaruh juga, karena selama ini aksi teroris selalu dikaitkan dengan islam,semoga umat islam tidak terpengaruh propaganda tersebut.

  5. semakin jelas saja topeng para propagandis. semoga dengan tulisan ini banyak dari saudara-saudara kita yang lebih cermat dan akurat mengungkap kebohongan yang banyak terjadi saat sekarang ini. selamat untuk menganalisa setiap kejadian yang terjadi disekeliling kita !!! dan semoga kita bisa meluruskan opini yang menyesatkan umat Islam.

  6. Ulasan yang bagus, kritis, bermanfaat!
    USA = The Real Terrorist!
    USA = United State of Agressor!

  7. Selang beberapa hari setelah Bom Kuningan TV ONE mengundang mantan Komandan Densus 88 Menyjen Suryadharma Salim, ada beberapa catatan yang sempat terekam dalam benak saya waktu itu :
    1. Yang melakukan teror tersebut adalah Al-Qaedah yang tujuannya akan mendirikan Negara Islam ( Kekhalifahan ) seperti jaman para Sahabat ( setelah ) Nabi Muhammad.
    2. Dia mengatakan bahwa Densus 88 adalah best of the best, semua kasus teror di Indonesia bisa diungkap dan ditangkap, setelah dengan sombong menyampaikan keberhasilannya Karni Ilyas menyampaikan satu pertanyaan, kalau Densus 88 memang hebat, kapan ” Tokoh Utama Teror di Indonesia yaitu Noordin bisa ditangkap ” lucunya,, ini sangat lucu sekali kayak srimulat karena jawabnya : ” itu perlu kesabaran ”
    3. Ketika ada seorang penanya, Suryadharma balik bertanya siapa yang melakukan pengahncuran WTC. Karena tidak bisa menjawab maka dijawab sendiri oleh Suryadharma, ( yang jawabnya sebenarnya sangat menggelikan kalau dia seorang Jendral ) : bahwa yang melakukan serangan ke WTC adalah Al-qaedah yang pertama menggunakan bom truck yang kedua menggunakan Pesawat terbang.
    acara tersebut pada tanggal 21 Juli 2009, dimuat di http://www.tvone.co.id, dan ternyata tanggapan masyarakat sangat antusias dan luar biasa, dari sekian ratus tanggapan semuannya memuji kehebatan Suryadharma, karena memang malam itu dia bicara sendiri tidak ada penyanggah, kecuali penonton yang diberi kesempatan bertanya, jadi yang memang kelihatan hebat, apalagi lagak beliau begitu sombong.
    Saya sangat kasihan pada beliau dan penonton :
    1. Dia seorang Islam tapi kok menganggap kepemimpinan Sahabat dianggap begitu kejam, padahal sebaik-baik pemimpin setelah Nabi adalah para Sahabat.
    2. Yang menjadi Topik pembicaraan adalah Noordin dan dia sendiri sudah dengan sombong dan congkaknya memuji kehebatan dirinya ( best of the best ), tapi ketika ditanya kapan bisa menyelesaian masalah utamanya ( menangkap Noordin ), jawabnya perlu kesabaran
    3. Dia seorang Jendral tapi dapat dongeng dari mana Usamah bisa membajak 4 pesawat ( yang sebenarnya 7 pesawat ) lalu menabrakkan ke Gedung kembar WTC setelah itu 1 jam kemudian Pentagon di hancurkan juga. Mestinya dia juga harus memakai logika, kalau toh misalnya kecolongan ( seharusnya tidak bisa juga ) 2 Gedung WTC dihancurkan, mestinya seluruh angkatan perang kan siap siaga ( khsusnya angkatan udara ), dan bagaimana radar-radar canggih Amerika yang sudah puluhan tahun disiapkan untuk mengahadpi serangan Nuklir Soviet kok tidak beraksi sama sekali padahal pengalaman sebelumnya bila didalam pesawat ada ( sipil ) ada yang membahayan si Sombong Amerika tak segan-segan menembaknya, konyolnya 1 jam kemudian malah Pusat Pertahanan dan Keamanan Amerika sendiri yang dihancurkan, jadi Amerika seperti ” Kebo Kopoken ” ( jawa ) masuk akal ndak para pembaca, yang masuk akal kan hanya Elit militer Amerika sendiri yang bisa melakukan kebiadaban ini.
    Lho kok Amerika menghancurkan Gedungnya sendiri dan membunuh rakyatnya sendiri apa ya masuk akal ? masuk akal saja wong namanya Amerika, kita masih ingat peristiwa Teluk Babi, yairu rencana jahat Amerika untuk membunmuh warganya sendiri di Kuba kemudian akan menuduh Kuba yang melakukan pembunuhan kemudian Amerika menyerang Kuba, jangankan rakyat Presiden saja kalau perlu dibunuh, kita masih ingat pembunuhan Presiden Kenedy, tungguh tahun 2017, peristiwa memalukan tersebut akan diuangkap secara resmi kepada umum siapa sebenarnya yang membunuh Kenedy
    Terus Usamah yang hidup di gua2 tanpa komunikasi dan televisi bisa mengorganisir perang melawan Negara Adikuasa dengan pengorganisasian tempur yang ” memerlukan disiplin kecerdasan luar biasa ” serta melatih plilot serba super ( canggih dengan keberanian tanpa batas ) bisa mematikan seluruh radar militer Amerika, mungkinkah.
    Hari gini masih ada orang yang ” ndongeng di tv yang disiarkan keseluruh Indonesia ” kasihan deeehh tv one,,,, kasihan dehh pak Suryadharma
    Lebih kasihan lagi penonton yang sampai ngiler-ngiler dan orang-orang yang mengaguminya.
    Kami juga mengingatkan kepada kita semua khsusnya Umat Islam jangan terpancing dan jangan gampang percaya kepada orang yang pinter ngomong

  8. Makar orang2 anti islam ini tidak akan mampu dalam menghadapi makar Allah,sesungguhnya Allah lah yg maha menguasai semuanya.

    wahai umat islam,janganlah kalian terjebak dalam makar globalisasi yg ditunjukan orang2 kafir itu!!!!

  9. Abu Dhissyah

    Propaganda yang dikorbarkan oleh AS dan Sekutunya telah nampak nyata ditambah lagi opini media sudah mengarah menyudutkan ummat ISlam, sudah nampak kebencian mereka terhadap ummat Islam, hal ini tidak akan mungkin berhenti, saya akan menganalisa hal terorisme yang menurut saya banyak keganjilan :
    1. Hub Al qoidah – JI bersamaan dengan hub osama – hambali – azhari – noordin, yang muncul tiba – tiba pada saat peristiwa SARA di Ambon dan Poso, yang dimana aprat keamanan Polri dan TNI tidak bisa menghentikan kasus SARA yang banyak menindas kaum muslimin, tapi pada saat ummat Islam bangkit dan bersatu di daerah tesebut, ummat Islam yang disalahkan, muncullah awal mula terorisme si azhari – noordin – dkk.
    2. Arah sasaran dari terorisme sekarang adalah Presiden, saya berpikir mengada – ada, kalau seandainya mereka betul-betul ada dan berkomitmen dengan orang asing dari peristiwa Bali hingga hotel Mariot – Ritz, tidak akan mungkin mengalihkan perhatian ke Presiden karena mereka belum akan mampu untuk menggulingkan pemerintahan, mereka belum bisa menghancurkan Indonesia, mereka akan tetap secara logika akan bertujuan orang asing.
    3. Indikasi arah bom yang akan diarahkan ke Presiden saya kira ini berkaitan dengan pidato presiden setelah peristiwa hotel Mariot – Ritz, yang dimana ancaman teroris menuju hasil KPU dan Presiden apalagi yang dituduhkan adalah lawan2 politik beliau, secara logika itu tidak mungkin(pen. point 2)jadi saya analisa saya densus 88 ingin cari pembenaran ke arah pidato presiden (ABS).
    4. Apa yang terjadi di tumenggung kalau kita melihat secara live di televisi sebenarnya tidak ada tembakan balasan dari dalam rumah, jadi densus 88 mengada – ada, yang saling menembak itu polisi ama polisi dari berbagai arah, jadi opini itu menjadi kebohongan belaka serta yang jadi aneh strategi polisi menggrebek rumah tersebut di sebarluaskan ke media, saya berpikir apakah polisi kita saat ini wajar membeberkan strategi2 yang ada.
    Propaganda ini tidak akan mungkin selesai, tapi pasti akan muncul kembali karena noordin belum mati, dan bagi para pejuang Islam tetaplah teguh dijalan yang kalian perjuangkan, insyaAllah kita akan menang

  10. ini hanya cobaan dari Aulloh untuk kite semue.

  11. Kl mengikuti perkembangan opini belakangan ini, sy kok teringat pada zaman Rasulullah tempo doloe, tentang mereka yang terfitnah, tentang mereka yang teraniaya. Ingat kawan, tak seorang pun pembawa risalah tauhid yang terbebas dari fitnah, bahkan SANG NABI PUN TIDAK !!!

  12. But any way, kelompok pergerakan Islam mesti Introspeksi diri, walaupun pelaku teroris bukan berasal dari kelompok pergerakan, tp tidak menutup kemungkinan kita tersusupi. Perkuat kader, rapatkan barisan… ALLAHU AKBAR !!!!

  13. Allahu Akbar juga,
    Yah Aulloh bantulah kami, dengarkan & bereskanlah semua malasah seluruh Islam dan umat muslim di Dunia ini yg sudah lama berdoa & meminta ini ( Palestina,irak dan afganistan dsb.) Agar umatMU tindak perlu berjihad dan menjadi teroris demi namaMU.
    Singkirkan kaum kafir dari dunia ini. Amerika,Israel,eropa, pilipina dan thailand juga.
    InsyahAllah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*