BOGOR — Komunitas pesantren mendesak insan pers agar lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas profesi, karena belakangan pers cenderung berlaku kurang adil dengan mengait-ngaitkan aksi terorisme dengan pesantren, kata alumnus Pesantren Daarul Rahman Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, Abdul Halim Yahya.
Dalam perbincangan dengan ANTARA di Bogor, Sabtu (15/8), Abdul Halim mengutarakan rasa kecewanya atas opini publik yang berkembang pasca ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta Juli lalu. Pasalnya beberapa media massa secara terang-terangan dan sangat menohok menyerang institusi pesantren sebagai pihak yang dianggap ikut andil atas terjadinya teror.
“Saya lihat setiap hari selalu ada pemberitaan atau tayangan televisi yang mengait-ngaitkan terorisme dengan pesantren. Ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dengan logika dan nalar apapun, karena tidak mencerminkan realitas sesungguhnya,” kata Halim.
Dikatakan Halim, pengaitan terorisme dengan pesantren merupakan tindakan gegabah yang tidak dapat dicerna dengan akal sehat. Faktanya tidak ada kurikulum pesantren yang salah. Tidak ada pesantren yang terlibat dengan gerakan terorisme.
Terhadap adanya beberapa oknum teroris yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren tertentu, hal itu tidak dapat dianggap mewakili komunitas atau institusi pesantren secara keseluruhan.
“Kalaupun ada alumni pada satu pesantren yang terlibat, hal itu tidak bisa dijadikan standar dengan melakukan generalisasi,” imbuh Halim.
Saat ini di Indonesia terdapat puluhan ribu pesantren, yang tersebar di berbagai pelosok penjuru Nusantara dengan jumlah santri mencapai jutaan orang. Kalaupun ada satu pesantren tertentu yang diduga terlibat, hal tersebut tidak lantas melibatkan institusi pesantren. Institusi pesantren tidak patut dikait-kaitkan pada kemungkinan adanya kesalahan yang dilakukan oleh alumni pada sebuah pesantren.
“Tidak bisa kesalahan satu pesantren digeneralisasi pada institusi pesantren secara keseluruhan,” tegas pria yang memilih jalan hidup sebagai wirausaha ini.
Dia kemudian menganalogikan peristiwa korupsi yang kerap menimpa para pejabat negara. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat tertentu tidak bisa dikait-kaitkan apalagi digeneralisasi pada institusi pendidikan di mana mereka menimba ilmu pengetahuan.
“Kalau ada pejabat yang korupsi, kan tidak pernah ada yang mengaitkan kampus tertentu telah salah melahirkan alumninya menjadi koruptor. Selain itu tidak pernah terdengar adanya tindakan generalisasi yang dilakukan media massa maupun masyarakat,” paparnya.
Hal senada diutarakan oleh Asep Zulfikor dari Pesantren Al-Qur`an al-Falakiyyah an-Nahdliyyah Pagentongan, Kota Bogor. Menurutnya, kalangan media massa perlu memperhatikan faktor etika profesi dan azas keadilan dalam menjalankan tugas.
“Kami merasa tersudut dan marah dengan upaya berbagai pihak yang selalu mengaitkan terorisme dengan pesantren. Kami menduga ada upaya sistematis dan rekayasa terselubung yang ingin menghancurkan institusi pesantren,” tutur dia. (Republika online, 16/8/2009)
Kadang-kadang kita bingung dengan misi media masa, dia tidak hanya memberitakan tapi lebih pada opini dan misi pribadi, sesungguhnya mereka ini yang mungkin menciptakan sara dimana-mana, yang tidak ada apa-apa jadi besar persoalannya karena mereka, membuat fitnah demi kepentingan sendiri asal berita laku, membawa kebencian pada satu kelompok kepada yang lain, sekali waktu menghujat habis-habisan, dilain waktu mereka angkat demi menyelamatkan diri mereka, mereka seolah-olah paling pintar, paling tau, paling “demokrasi”, paling “liberal”, dan paling-paling lainnya ……..
tidak ada kontrol prilaku mereka, kita ummat Islam jadi bulan-bulanan saja, tidak ada yang menjaganya…. sungguh Ummat Islam, sadarlah kita butuh pemimpin dan butuh kekuasaan yang sesuai dengan syariat, tegagkan khilafah ……Allohuakbar ……Allohuakbar ……Allohuakbar