Halqoh Mubalighoh II Sumatera Utara: “Mewujudkan Perubahan Hakiki”
Kondisi masyarakat kian hari kian terpuruk. Data menunjukkan jumlah kemiskinan Indonesia mencapai 100 juta penduduk. Tingkat pengangguran mencapai 40 juta orang. Sebanyak 4,5 juta anak putus sekolah. Pemerintah terjerat hutang 1400 triliun. Belum lagi angka kriminalitas meningkat1000 persen dan perceraian pasutri naik 400%. Melihat kondisi ini, para mubalighoh di Sumatera Utara terdorong untuk mendiskusikan langkah penyelesaiannya. Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) memfasilitasi dengan menyelenggarakan Halqoh Mubalighoh II bertajuk ”Mewujudkan Perubahan Hakiki”., Sabtu (29/8) di Hotel Dhaksina.
”Saya kecewa terhadap hasil pemilu yang tidak pernah membawa perbaikan dalam kehidupan masyarakat, justru masyarakat semakin terpuruk,”ungkap ibu Zakiyah menanggapi pertanyaan moderator tentang pemilu, apakah merupakan jalan untuk meraih perubahan. Menurut beliau, pemilu bukanlah jalan untuk meraih perubahan masyarakat menuju lebih baik.
Pernyataan ibu Zakiyah langsung dibenarkan oleh Honriani Nasution, S.T sebagai pembicara pertama. ”Pemilu memang tidak akan pernah menghantarkan umat pada kesejahteraan dan kemuliaan hidup,” tegasnya. Beliau lalu bertanya kepada peserta apakah permasalahan yang mendera umat saat ini hanya permasalahan individu saja ataukah permasalahan sistem? Beranekaragam jawaban peserta ada yang menjawab kemiskinan terjadi karena orangnya yang malas bekerja. Namun ini disanggah oleh peserta lain, para petani telah bekerja keras di sawah dari subuh sampai sore hari. Namun tetap saja miskin. Ketika masa panen harga padi atau sayur sering anjlok. Apakah ini masalah individu saja atau masalah sistem?”. ”Sistem!” jawab para peserta. ”Benar bu, permasalahan umat saat ini disebabkan penerapan sistem kapitalis. Sistem ini membuat pemerintah membuat aturan dengan standar manfaat saja. Walaupun bertentangan dengan Islam, selama suatu hal mendatangkan manfaat maka hal tersebut akan dilegalkan. Contohnya lokalisasi prostitusi,” ungkapnya.
Lalu kenapa umat Islam diam saja ketika diterapkan sistem kapitalis yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidahnya? ”Hal ini disebabkan oleh dua faktor,” jawab Honriani Nasution, S.T. Pertama, faktor internal yaitu lemahnya pemahaman umat terhadap Isslam yang benar. Umat hanya memahami Islam sekedar agama ritual belaka, bukan pengatur seluruh aspek kehidupan. Kedua, faktor eksternal yaitu serangan misionaris dan musuh-musuh islam serta cengkeraman dan hegemoni politik dan ekonomi di dunia islam. Parahnya lagi, umat bukan hanya sekedar diam dengan penerapan sistem kapitalis, bahkan mereka semakin jauh dari Islam dan menerima ide-ide kufur seperti demokrasi, HAM, nasionalisme dan sebagainya.
Sri Cahyo Wahyuni, S.Pi, pembicara kedua menjelaskan ada dua jenis perubahan di dalam Islam. Pertama, ishlahiyah yaitu perubahan parsial dan personal. Hal ini dilakukan ketika Daulah Khilafah Islamiyah ada. Sistem Islam sudah diterapkan, namun ada pelanggaran dari penguasa. Maka perlu diganti penguasanya agar Islam kembali dijalankan secara benar. Kedua, taghyir yaitu perubahan mendasar dan menyeluruh. Hal ini dilakukan ketika belum ada Daulah Khilafah Islamiyah. Berarti sistem Islam belum diterapkan. Maka harus diganti dasar negara yang bukan Islam tersebut dengan dasar Islam. Seperti negara kita saat ini, dasarnya adalah sekulerisme. Maka perubahan yang harus kita lakukan adalah taghyir, perubahan mendasar dan menyeluruh. ”Namun banyak umat Islam saat ini yang menolak diterapkannya aturan Islam. Mubalighoh merupakan ujung tombak untuk menyadarkan masyarakat bahwa menerapkan Islam adalah kewajiban dari Allah SWT. Allah akan menghinakan kita di dunia dan akhirat bila kita tidak menerapkan aturanNya,” papar beliau.
Para peserta begitu antusias untuk bertanya ketika memasuki waktu diskusi. Salah satunya ibu Niar yang bertanya: ”Saya pernah mengisi ceramah di Pantai Cermin, lalu saya menyampaikan kewajiban memperjuangkan penerapan hukum Islam. Kita butuh dana besar untuk itu. Saya menyeru mereka untuk berinfak. Namun sulit sekali mereka mengeluarkan hartanya. Padahal jika untuk berinfak ke fakir miskin mereka mau mengeluarkan banyak uang. Lalu ketika saya katakan bahwa Al-quran tidak cukup dibaca saja, tapi juga harus difahami tafsirnya. Mereka merasa heran. Bagaimana cara menyadarkan umat yang seperti ini?” Pemateri kedua menjawab: ”Pemikiran yang sudah lama bercokol di benak umat memang sulit untuk dicabut. Selama ini umat hanya memahami bahwa mereka hanya wajib menginfakkan harta ke fakir miskin. Padahal menginfakkan harta untuk memperjuangkan penerapan hukum Islam juga wajib. Seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab yang saling berlomba untuk menginfakkan hartanya untuk mendanai jihad dalam rangka menghancurkan kekuatan fisik yang menghambat dakwah. Oleh karena itu, pemikiran yang telah bercokol ini harus digulat. Yaitu terus-menerus disampaikan hingga mereka menerimanya. Kita harus terus bersabar. Karena tugas ini memang tidak mudah”.