Syaikh ‘Izzuddin ‘Abdussalam, terkenal dengan gelar Sulthan al-ulama’ (raja para ulama’), karena sikapnya. Imam as-Subki berkomentar tentang beliau, “Seorang ulama’ yang melakukan amar makruf dan mencegah kemunkaran pada zamannya.” Al-Kutaibi juga memberikan komentar, “Beliaulah ahli amar makruf dan nahi munkar. Beliau tidak pernah takut terhadap cacian siapapun orang yang mencacinya, semata karena Allah.” Ibn al-‘Imad al-Hanbali berkomentar, “Selain dikenal zuhud, wara’ juga menegakkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran.” Dari sinilah, Syaikh ‘Izzuddin mendapat gela sebagai Sulthan al-ulama’ (‘Abdu al-‘Aziz al-Badri, al-Islam Bain al-Ulama’ wa al-Hukkam, hal. 191).
Suatu ketika Syaikh ‘Izzuddin pernah ditanya oleh salah seorang muridnya, setelah beliau mengoreksi seorang penguasa, “Apakah Anda tidak takut kepadanya?” Maka, dengan lugas Syaikh ‘Izzuddin menjawabnya, “Demi Allah wahai anakku, aku sungguh telah menghadirkan keperkasaan Allah SWT (ke dalam kalbuku), maka penguasa itu di hadapanku, tak ubahnya seperti seekor kucing betina..” (Fauzi Sinnuqarth, at-Taqarrub Ila-Llah Thariq at-Taufiq, hal. 46).
Syaikh ‘Izzuddin hidup pada zaman penguasa Syam, Malik Shalih Ismail. Pada tahun 138 H, bekerjasama dengan kaum Salibis untuk memerangi saudaranya, Malik Shalih Najmuddin Ayyub. Dalam sebuah khutbahnya, Syaikh ‘Izzuddin menyatakan berlepas diri dari Malik Shalih Ismail. Akibatnya, beliau dicari dan hendak ditangkap. Pada saat seperti itu, para kolega beliau menyarankan untuk melarikan diri, tetapi beliau justru dengan tegas menyatakan, “Demi Allah, saya tidak akan lari.. Saya telah menyiapkan diri saya untuk menerima apa yang akan saya peroleh di jalan ini. Dan, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal orang-orang yang bersabar.” (‘Abdu al-‘Aziz al-Badri, al-Islam Bain al-Ulama’ wa al-Hukkam, hal. 194) (Hafidz Abdurrahman)
Terus, berjuang. Allah bersama orang yg istiqomah