Minoritas Muslim di Australia menolak rancangan undang-undang yang melarang kerja di toko pada hari Natal dan Paskah, sebagai seruan toleransi bagi para pedagang eceran untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya, sementara larangan itu tidak berlaku untuk hari libur Islam. Sehingga, para aktivis Muslim menganggap bahwa rancangan undang-undang (RUU) mencerminkan sebuah “diskriminasi terhadap hak beberapa agama minoritas.”
Ketua Asosiasi Persahabatan Islam, Keysar Trad mengatakan: “Hal ini memberi kesan bahwa negara kita hanya bagi bangsa Kristen saja, bahkan hal ini akan menimbulkan masalah bagi agama-agama lain, apakah Anda seorang Hindu, Buddha, atau Muslim.”
Trad menambahkan: “Kami memiliki dua hari raya saja (Idul Fitri dan Idul Adha), jadi tidak terlalu banyak menuntut”. Namun jadikan keduanya sebagai hari libur resmi, seperti yang terdapat dalam situs berita “Eiji News” pada hari Sabtu (12/9).
Dan dalam upaya membela apa yang ada dalam RUU tersebut, juru bicara pemerintah negara bagian New South Wales di Australia mengatakan bahwa mengingat liburan yang diusulkan tidak hanya berhubungan dengan orang-orang Kristen saja, maka RUU ini bukan tentang agama, namun RUU tersebut berhubungan dengan “toleransi (izin) terhadap para pekerja untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya.”
Jumlah kaum Muslim di Australia sekitar 300 ribu orang, yang kebanyakan dari mereka tinggal di dua kota, yaitu Sydney dan Melbourne. Kaum Muslim mewakili 1,5% dari total populasi penduduk yang berjumlah 21 juta. Dan inilah yang menjadikan Islam sebagai agama kedua di Australia. Di Australia memiliki lebih dari 35 mesjid dan pusat-pusat Islam. Sebagian besar umat Islam Australia adalah keturunan Lebanon. (islamtoday.net, 12/9/2009).