Hizbut Tahrir mengecam keras pertemuan antara Presiden Mahmud Abbas dengan Presiden Amerika, Obama, dan Perdana Menteri Pendudukan, Netanyahu. Hizbut Tahrir mengatakan dalam sebuah pernyataan yang salinannya disampaikan ke ekhbaryat.net: “Pertemuan Mahmud Abbas dengan Presiden Amerika Obama, dan Perdana Menteri entitas Yahudia, Netanyahu adalah pertemuan yang hina dan memalukan dalam catatan pendek Obama. Setelah berminggu-minggu penolakan dan keengganan yang ditunjukkan oleh Otoritas, maka pertemuan diadakan juga dan Obama mengumumkan dimulainya negosiasi tanpa penghentian pemukiman di Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem). Presiden otoritas pun membenarkan pertemuan itu dan memulai negosiasi. Ia berkata: “Kami sebenarnya ingin tetap menjaga—dalam keadaan apapun—hubungan kami dengan Presiden Obama. Kami tidak ingin keluar dengan menimbulkan krisis dengan bangsa Amerika, atau kami memperparah krisis.”
Hizbut Tahrir menekankan bahwa “pertemuan yang diadakan pada saat orang-orang Yahudi yang merongrong dasar-dasar (pondasi) masjid Al-Aqsa, mengusir orang-orang tak berdosa dari rumah mereka, membunuh dan memblokade rakyat Palestina, maka pertemuan itu adalah suatu kejahatan di atas kejahatan yang telah dan sedang dilakukan oleh Otoritas terhadap masalah Palestina dan rakyatnya, serta merupakan kelalaian di atas kelalaian, dan penghinaan di atas penghinaan,” demikian menurut pernyataan itu.
Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa begitu jelasnya hingga di mata orang-orang bodoh sekalipun bahwa pemerintah AS selalu berada di pihak “pendudukan”. Mereka tidak akan melihat AS ada di sisi lain. Bahkan AS dan kaum kafir pendudukan berada dalam parit yang sama. Bukti yang paling jelas dalam hal ini adalah pengulangan Obama tentang permintaannya kepada Yahudi selama beberapa bulan sebelumnya mengenai pentingnya menghentikan pemukiman yang hanya sekedar “kontrol” atas pemukiman, bukan menghentikan dan membekukan. Namun tuntutannya kepada otoritas “nasional” mengenai keharusannya melakukan konsekuensi-konsekuensinya terhadap entitas Yahudi tidak memuaskannya dan juga Netanyahu dalam memberikan pelayanan yang jelas, yang diberikan otoritas kepada Yahudi di bidang keamanan. Sehingga ia menuntut juga akan perlunya tindakan tegas untuk menghentikan provokasi, yaitu menghentikan setiap orang yang membangkitkan kebencian terhadap Yahudi, dan jika ada yang melakukan, maka ia harus ditangkap dan dipenjara. Obama menilai bahwa keringanan dengan mempermudah gerakan pada pos-pos pemeriksaan merupakan karunia dan kemurahan hati bangsa Yahudi.
Sesuai dengan penjelasan Hizbut Tahrir, sesungguhnya masalah Palestina bukanlah masalah pemukiman, masalah air, pengungsi, perbatasan, atau Al-Quds (Yerusalem), tetapi apapun sifat dari perjanjian dengan “pendudukan Israel” yang berkaitan dengan masalah-masalah ini, maka dianggap sebagai sikap menyia-nyiakan Palestina, dan pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Masalah Palestina sepenuhnya masih merupakan masalah wilayah yang tidak terpisahkan yang telah diduduki musuh. Oleh karena itu, wajib dibebaskannya dan diselamatkannya dari cengkeraman pendudukan, dan masalahnya akan tetap seperti itu. Sehingga tidak akan pernah berhasil jika otoritas, semua negara Arab, dan lainnya hendak mengalihkan masalah ini dari masalah sebenarnya. Karena itu, pernyataan dari Perdana Menteri otoritas Gaza seputar solusi dua negara dan menerima pendirian negara di atas wilayah-wilayah yang diduduki tahun 67, seperti dalam suratnya kepada Ban Ki-moon, maka itu tidak lain hanyalah usaha memainkan nada-nada atas draft-draft Barat, serta langkah-langkah dalam menutupi kelalaian dan penyia-nyiaan yang dilakukan otoritas Ramallah. Ini seperti yang katakan Hizbut Tahrir dalam pernyataannya.
Menurut Hizbut Tahrir memfokuskan diri pada masalah pemukiman tidak dengan masalah lainnya, maka itu tidak lain hanyalah penipuan dan kendaraan untuk memuluskan rencana-rencana Barat supaya menjadikan penghentian atau pembekuan pemukiman sebagai harga bagi normalisasi negara-negara Arab secara penuh dan terbuka dengan bangsa Yahudi, serta sebagai harga untuk melalaikan masalah Palestina lainnya dengan imbalan pendirian negara kecil dan lemah, yang sedikitpun tidak memenuhi definisi dan gambaran sebuah negara.
Hizbut Tahrir mengatakan: “Sudah saatnya bagi umat Islam untuk mengambil inisiatif dan mengakhiri semua kelalaian dan ketidakpedulian terhadap masalah-masalah umat Islam, khususnya masalah Palestina. Sudah saatnya setelah sekian peristiwa yang begitu menyakitkan menimpa kita untuk menendang para rezim dan penguasa yang tidak berguna, dan kemudian mendirikan Khilafah untuk membebaskan seluruh wilayah Palestina, mengulang kembali sejarah Al-Faruq (Umar bin Khaththab), Shalahuddin, dan Abdul Hamid, serta mengembalikan kehormatan dan kemuliaan umat Islam yang selama ini telah dirampas,” demikian seruan Hizbut Tahrir dalam pernyataannya. (www.ekhbaryat.net, 26/9/2009)