Bercermin Pada Kepahlawanan Shahabiyat
Oleh : Najmah Saiidah
(Anggota Lajnah Tsaqofiyah, Anggota DPP Muslimah HTI)
Kita semua sudah mengenal nama-nama seperti Abubakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khoththob, Utsman bin ‘Affan, Saad bin Abi Waqosh, Muadz bin Jabal, Salman Al-Farisi dan sebagainya. Mereka adalah para pahlawan muslim yang telah mengorbankan waktu, harta, jiwa dan raganya untuk menegakkan kalimat Allah dan RasulNya dan memperjuangkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Akan tetapi sebagian umat Islam kurang mengenal para`perempuan yang mereka juga hidup di masa Rasulullah (shahabiyat) yang telah mengorbankan waktu, harta, jiwa dan raganya untuk menegakkan kalimat Allah dan RasulNya dan memiliki andil besar`dalam memperjuangkan Islam dan kaum muslimin. Di antaranya Khadijah binti Khuwailid, Asma’ binti Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar, Ummu Sulaim, dan banyak lagi yang lainnya.
Dalam Islam, perempuan diposisikan sebagai perhiasan berharga yang wajib dijaga dan dipelihara. Ini tidak berarti mengekang perempuan dalam wilayah tertentu. Islam memberi peran bagi perempuan dalam ranah domestik dan juga publik sekaligus. Sehingga dimasa peradaban Islam tidaklah mengherankan jika kita mendapati banyak figur waita terbaik dan termulia sepanjang zaman. Mereka bersungguh-sungguh mengerahkan segenap kemampuan dalam menjunjung tinggi syiar Islam, membela agama Allah dengan ketulusan yang tidak diragukan, mencintai Allah dan Rasulullah dengan kecintaan yang mendalam –yang direfleksikan dengan ketaatan kepada risalah yang dibawanya–, bersabar dengan segala kesulitan hidupnya, patuh dan menghargai suami dengan kepatuhan dan penghormatan yang patut diteladani, mendidik anak-anak mereka dengan pendidikan yang baik hingga melahirkan pahlawan-pahlawan sejati yang dijamin masuk syurga, merelakan buah hati mereka terbunuh sebagai syahid membela agamaNya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terjun langsung dalam jihad fii sabilillaah demi meraih mardhatillah dan jannhaNya.
Sejarah telah mencatat bagaimana kaum perempuan pada masa Rasulullah saw (para shahabiyah) melakukan aktivitas politik dan perjuangan politik tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Mereka berjuang bersama-sama Rasulullah saw dan shahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan shahabatnya. Mereka bersama dengan para istri Rasul saw berada dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini serta mendukung perjuangan beliau.
Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq
Aisyah r.a adalah anak Abu Bakar dari pernikahannya dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaymir al Kinaniyah. Di rumah yang dinaungi dengan kebenaran, kejujuran dan keimanan inilah Aisyah dilahirkan, 7 tahun sebelum hijrah. Aisyah diberi julukan Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq (perempuan yang sangat jujur dari orang yang sangat jujur). Terkumpul dalam dirinya ketinggian ilmu dan keutamaan, ia menjadi tempat bertanya para shahabat dan shahabiyat. Ia juga merupakan perowi hadits yang handal, termasuk satu dari tujuh orang yang paling banyak meriwayatkan hadits, bahkan menerima langsung dari Rasulullah saw. Ia tidak pernah membiarkan orang yang salah dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits atau melanggar syariat.
Ummul Mukminin Aisyah menjadi teladan dalam kezuhudan, kemurahan hati dan kedermawanan. Ia mencapai derajat zuhud yang tinggi karena lebih sering berpaling dari duniadan menghadap kepada Allah untuk melaksanakan ibadah. Harta yang ada padanya, segera disalurkan untuk orang-orang miskin, di antara gambaran kedermawanannya adalah ia pernah membagi-bagikan seratus ribu dirham hanya dlam satu hari sementara pada hari itu ia tengah berpuasa tanpa menyisakan satu dirham pun di rumahnya. Dalam hal ibadah, tidak ada yang meragukannya, Aisyah adalah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Banyak mendirikan sholat Sunnah, terutama sholat malam, senantiasa berpuasa ad dahr (sehari puasa sehari tidak).
Tidak diragukan lagi bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang tangguh dalam berjihad. Ketika perang Uhud ia ikut mengangkut air di pundaknya bagi para mujahiddin. Anas bin Malik meriwayatkan : “ Aku melihat Aisyah binti Abi Bakar dan Ummu Sulaim, keduanya menyingsingkan ujung pakainnya, keduanya mengangkut gerabah air di atas pundaknya lalu memberi minum orang-orang terluka. Kemudian keduanya kembali memenuhi gerabah itu, lalu memberi minum mereka ( HR Muttafaq Alaih) Demikian pula ketika perang khandak ‘Aisyah terjun langsung dalam perang tersebut bergabung dengan para shahabat. Pada waktu itu ia maju mendekati front mujahiddin paling depan.
Aisyah telah memberikan teladan yang sangat banyak, ia merupakan cermin bagi para muslimah yang dari perjalanan hidupnya mereka dapat mengetahui bagaimana ia memiliki kepribadian yang kuat tanpa harus merendahkan diri, bagaimana ia menjaga kebagusan lahiriah tetapi penuh ketundukan dan kesederhanaan, bagaimana ia mendalami agama sehingga menjadi sumber argumentasi; bagaimana ia memahami hukum-hukum agama dan mempraktekkannya dalam amalan-amalan nyata; bagaimana ia memberikan buah pikirnya dan materi yang dimilikinya untuk menegakkan agama Allah; bagaiamana ia menata kehidupan suami istrinya hingga dapat membangkitkan semangat suaminya yang dengan semangat ilmunya berupaya meraih kejayaan.
Asma binti Yazid bin As-Sakan
Dia adalah Asma binti Yazid bin As-Sakan bin Rafi’ bin Umru’ul Qais bin Abdul Asyhal bin Harits. Seorang wanita ahli hadits, mujahidah yang agung, cerdas, taat beragama, dan ahli pidato, sehingga ia digelari orator wanita. Sesuatu yang spesial dalam diri Asma adalah kehalusan perasaannya dan kehalusan budi bahasanya –sebagaimana remaja muslimah lainnya yang lahir dari madrasah kenabian–, namun dalam satu hal, ia tidak malu untuk mengeluarkan . Dia adalah wanita teguh pendirian dan pejuang yang gagah berani. Dia adalah contoh wanita pelopor dalam berbagai bidang. Asma datang dalam serombongan kaum wanita kepada Nabi untuk berbai’at pada tahun pertama Hijriyah, berjanji untuk taat kepada Islam. Asma berbai’at kepada Nabi saw dengan penuh kejujuran dan keikhlasan. Dalam kita-kitab sirah (sejarah) disebutkan bahwa ketika mau melakukan bai’at, Asma memakai dua gelang emas yang besar di kedua tangannya, maka Nabi saw bersabda kepadanya:“Lemparkanlah kedua gelang itu, wahai Asma! Apakah engkau tidak takut jika engkau kelak memakaikan gelang dari api neraka kepadamu?” Tanpa membantah atau berbicara sedikit pun, dia langsung melaksanakan perintah Rasul saw. Kedua gelang itu dilepaskannya dan diletakkannya di hadapan Nabi saw.
Asma pernah diutus oleh kaum wanita untuk membicarakan masalah mereka kepada Rasul saw. Suatu ketika dia datang kepada Rasul saw dan berkata:”Wahai Rasul saw, aku adalah utusan dari sekelompok wanita kepadamu. Apa yang akan kutanyakan sama dengan pertanyaan mereka dan pendapat mereka sama dengan pendapatku…..Sesungguhnya Allah ta’aala telah mengutusmu kepada seluruh kaum laki-laki dan kaum wanita, maka kami beriman dan mengikutimu. Akan tetapi, kami kaum wanita, terbatas gerak-geriknya. Kami hanyalah sebagai tiang penyangga (pengurus) rumah tangga, tempat penyaluran syahwat para laki-laki, dan yang mengandung anak-anak mereka, sedang kaum laki-laki memperoleh keutamaan, dengan diperintahkannya melakukan shalat berjamaah, mengantar jenazah, dan berjihad di medan perang. Jika kaum laki-laki keluar untuk berperang, kamilah yang menjaga harta-harta mereka dan mengasuh anak-anak mereka. Oleh karena itu, apakah kami bisa mengimbangi pahala mereka, wahai Rasulullah?”
Mendengar pertanyaan seperti itu, Rasul saw lalu menoleh kepada para shahabat yang ada di dekatnya dan bertanya:”Pernahkah kalian mendengar pertanyaan wanita lain tentang urusan agamanya yang lebih baik daripada pertanyaan wanita ini?” Mereka menjawab:”Belum pernah, wahai Rasul saw.” Selanjutnya, beliau bersabda:”Kembalilah engkau, wahai Asma, dan beri tahukan kepada wanita-wanita yang mengutusmu bahwa perlakuan baik salah seorang dari kalian kepada suaminya, usahanya mencari keridhaan suaminya, dan ketaatannya kepada suaminya, dapat menyamai pahala dari amal laki-laki yang engkau sebutkan tadi.” Asma pulang sambil bertahlil dan bertakbir karena saking gembiranya dengan apa yang disampaikan Rasul saw.
Hati Asma sebenarnya sangat ingin ikut serta untuk berjihad. Akan tetapi, keadaan waktu tidak memungkinkan dia menyampaikan tuntutan tersebut. Keinginannya untuk terjun ke medan jihad baru terwujud setelah Rasul saw wafat, yaitu ketika terjadi perang Yarmuk pada tahun ke-13 Hijriyyah. Dalam perang besar (Yarmuk) itu Asma binti Yazid bersama kaum mukminah lainnya berada di barisan belakang laki-laki. Semuanya berusaha mengerahkan segenap kekuatannya untuk mensuplai persenjataan pasukan laki-laki. Memberi minum kepada mereka, mengurus mereka yang terluka, dan mengobarkan semangat jihad mereka. Ketika peperangan berkecamuk dengan begitu serunya, ia berjuang sekuat tenaganya. Akan tetapi, dia tidak menemukan senjata apapun, selain tiang penyangga tendanya. Dengan bersenjatakan tiang itulah, dia menyusup ke tengah-tengah medan tempur dan menyerang musuh yang ada di kanan dan kirinya, sampai akhirnya dia berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi. Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar,”Dia adalah asma binti Yazid bin As-Sakan yang ikut terjun dalam perang Yarmuk. Pada hari itu dia berhasil membunuh sembilan orang tentara Romawi dengan menggunakan tiang tendanya. Setelah perang Yarmuk ia masih hidup dalam waktu yang cukup lama. Asma keluar dari medan pertempuran dengan luka parah sebagaimana juga banyak dialami pasukan kaum muslimin. Akan tetapi, Allah berkehendak ia tetap hidup dalam waktu yang cukup lama. Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Asma binti Yazidd bin As-Sakan dan memuliakan tempatnya di sisi-Nya atas berbagai Hadits yang diriwayatkannya dan atas segala pengorbanannya. Dia telah berbuat sesuatu agar dijadikannya contoh bagi wanita muslimah lainnya, yaitu kerelaan dan tekadnya yang kuat untuk membela dan mempertahankan agama Allah dan mengangkat panji Islam sampai agama Allah tegak di muka bumi.
Kabsyah bintu Rafi’ bin Muawiyah bin Ubaid bin Al-Abjar Al-Ansyariyah Al-Khudriyah
Ia termasuk salah seorang wanita yang memberikan kesaksian kebenaran bagi Rasulullah saw. Rasul turut menjanjikan imbalan kebaikan dan mendoakan barakah baginya. Ketika suasana iman menggantikan kegelapan jahiliyyah dan mentari hidayah mulai terpancar di tanah Madinah, ia mencurahkan segala yang dimiliki dan menjadi ibu kepada dua orang anaknya yang gugur sebagai syuhada’; dua pahlawan Islam yang segar di dalam medan sejarah. Berbagai kitab sejarah telah menyajikan peribadi mulia dan keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh Kabsyah bintu Rafi’, seperti keberanian, kebaikan dan keprihatinan beliau kepada tetangga. Beliau juga memberikan contoh terbaik yang mencerminkan kedudukannya yang sangat istimewa di sisi Rasulullah saw. Beliau terkenal karena keberanian dan kesabarannya dalam membela Rasulullah. dan mendorong anak-anaknya untuk terjun ke medan jihad .Di dalam Perang Badar, beliau meniupkan semangat kepada kedua anak beliau, Saad bin Muadz dan Amru bin Muadz, agar berjihad karena Allah dengan sebenar-benar jihad, sehingga keduanya mendapat cobaan yang berakhir dengan kabar kemenangan.
Di dalam Perang Uhud, Ummu Saad turut terlibat secara langsung bersama beberapa wanita Muslimah lainnya. Berita kekalahan tentara kaum Muslimin dan gugur syahidnya anak beliau, Amru bin Muadz sampai pada beliau. Namun, hal ini tidak menjadikan beliau patah arang, justru ia sangat mengkhawatirkan keselamatan Rasulullah. Beliau lantas bersegera ke medan peperangan dan melihat dengan mata kepala sendiri keadaan dan keselamatan Rasulullah saw. Saat itu juga, beliau memanjatkan puji dan syukur kepada Allah seraya berkata: ”Selagi aku melihat engkau dalam keadaan yang selamat, maka musibah ini (kematian Amru bin Muadz) adalah terasa sangat ringan”
Di saat Perang Khandaq meletus, Rasulullah saw mengarahkan para wanita muslimat dan anak-anak yang turut serta untuk berlindung di dalam benteng Bani Haritsah. Turut bersama mereka ialah Aisyah Ummul Mukminin Radiallahu Anha dan Ummu Saad. Aisyah menuturkan bahawa Saad bin Muadz berlalu untuk menyertai pasukan perang dengan mengenakan baju besi yang pendek. Beliau juga menyandang tombak yang dibanggakannya sambil melantunkan bait syair Hamal bin Sa’danah Al-Kalby: Teguhkan hatimu barang sejenak dalam gejolak medan laga; Jangan pedulikan kematian jika sudah tiba saatnya. Mendengar perkataan anaknya, Ummu Saad lantas menasihatkan anaknya agar bersegera supaya tidak ketinggalan walau sesaatpun tanpa bersama-sama Rasulullah. Beliaulah yang tidak henti-henti menasihati dan meniupkan semangat jihad di dalam dada anak-anaknya. Beliau berkata:
”Wahai anakku, cepatlah berangkat karena demi Allah, engkau sudah terlambat!”
Di dalam peperangan tersebut, Saad terkena anak panah lemparan Hibban Al-Urqah yang memutuskan urat di dekat mata kakinya. Saat itu, Saad sempat berdoa kepada Allah dengan doanya yang sangat masyur, ”Ya Allah, jika Engkau masih menyisakan peperangan melawan Quraisy, maka berikanlah aku sisa umur untuk aku menyertainya. Tidak ada kaum yang lebih aku sukai untuk memeranginya kerana Engkau, selain dari kaum yang telah menyakiti Nabi-Mu, mendustakannya dan mengusirnya. Ya Allah, jika Engkau menjadikan peperangan antara kami dengan mereka, maka jadikanlah mati syahid bagiku dan janganlah Engkau uji aku sehingga aku merasakan senang kerana dapat mengalahkan bani Quraizhah”
Tenyata Allah mengabulkan doa Saad bin Muadz.
Sekali lagi, Ummu Saad diuji dengan kehilangan anak beliau. Sungguh kesabaran dan kekuatannya menerima ujian merupakan teladan yang sangat baik. Jasad Saad diusung dan dikebumikan di Baqi’. Kesedihan Ummu Saad terpancar jelas di wajahnya. Lalu Rasulullah menghibur beliau dengan bersabda,
” Adakah air matamu tidak dapat dibendung dan apakah kesedihanmu tidak dapat dihilangkan? Sesungguhnya anakmu adalah orang pertama, Allah tersenyum kepadanya dan Arasy bergoncang karena kematiannya“. Hatinya lantas gembira dengan doa yang dipanjatkan Rasulullah. Ia hanya mengharapkan pahala kebaikan di sisi Allah dan RasulNya di atas kematian kedua anaknya syuhada’. Beliau mendahulukan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di atas segala sesuatu yang di mata manusia lainnya sangat berharga, termasuk harta dan anak-anak. Beliau layak mendapatkan kabar gembira dari Allah dan RasulNya sebagai penghuni syurga. Sabda Rasulullah : ” Wahai Ummu Saad, terimalah khabar gembira dan sampaikanlah khabar gembira kepada keluarga mereka, bahawa orang-orang yang terbunuh di antara mereka saling berteman di dalam syurga, semuanya dan mereka diberi syafaat untuk keluarganya”
Memang benar, bahwa fakta saat ini sulit untuk menentukan sosok figur shahabiyah dan keteladanannya, sesulit mencari permata ditengah-tengah hamparan pasir. Namun, bukan berarti fakta ini dijadikan permakluman untuk membenarkan fakta yang salah. Yang salah akan tetap salah, dan yang haq akan selamanya haq, tidak akan kemudian tertukar. Buktinya, kita tidak pernah menyalahkan segala kebaikan yang dilakukan oleh para shahabiyah tadi, justru sebaliknya, kita senantiasa mengenang dan mengaguminya, bahkan tertarik untuk menteladaninya, walaupun bukan suatu hal mudah bagi kebanyakan kaum wanita yang hidup pada masa sekarang ini.
Munculnya shahabiyah-shahabiyah yang menjadi figur wanita yang mengagumkan tadi bukanlah suatu kebetulan, bukan karena sarana kebutuhan yang masih sederhana, bukan pula karena kebutuhan mereka berbeda dengan kaum wanita saat ini, melainkan karena dilandasi oleh suatu pemahaman Islam ideologis yang tegak di atas keyakinan yang kokoh, yakni aqidah Islamiyah. Mereka sangat menyadari bahwa konsekuensi dari pemelukan aqidah islamiyah adalah terikat dengan semua aturan-aturan yang terpancar dari aqidah tersebut, mereka belajar untuk memahami aturan-aturan Islam, tidak memilih sebagian aturan saja dan mencampakkan sebagian aturan yang lain. Mereka belum merasa sebagai orang yang memeluk aqidah Islam, kalau mereka tidak siap untuk menanggung resiko keterikatannya dengan hukum Allah, sekalipun mereka harus mengorbankan harta tertingginya, yaitu nyawa. Mereka lebih mencintai Allah dan Rasulnya dibandingkan dengan keluarganya, bukan karena suatu tradisi yang kebetulan pada saat itu, tapi dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim dan muslimah. Ummu Sulaim tidak akan mampu menghadapi kemarahan suaminya ‘Malik’ karena keislaman dirinya dan anaknya ‘Anas’, kalau Ummu Sulaim tidak meyakini secara kuat akan aqidah Islam dan menyadari bahwa mendidik anak dengan Islam adalah kewajibannya. Ummu Sulaim tidak tertarik dengan limpahan kekayaan Abu Thalhah sebelum masuk Islam, bukan karena beliau anti kekayaan. Tapi, lebih didasari oleh suatu pemahaman bahwa seorang muslimah diharamkan untuk dinikahi oleh seorang laki-laki kafir, dan beliau sangat menyadari bahwa kekayaan bukanlah segala-galanya. Begitu pula halnya dengan Kabsyah, beliau tidak mungkin bisa mendorong anak-anaknyanya, Saad dan Amru bin Muadz untuk tetap berada di medan perang, kalau ia tidak memahami bahwa aktifitas jihad adalah suatu kewajiban setiap muslim, mundur dari medan perang adalah haram, dan syahid adalah sebaik-baiknya pahala. Demikian pula ketika mereka ikut bersama-sama barisan Rasulullah dan para shahabat di medan pertempuran, baik di garis belakang dengan menyediakan air dan makanan, merawat yang terluka ataupun menyemangati kaum lelaki yang perperang, beberapa di antara mereka pun megirim makanan ke medan pertempuran bahkan ikut berhadapan dengan musuh bersama Rasulullah dan sahabatnya, seluruhnya dilakukan semata-mata karena kecintaannya kepada Allah dan RasulNya.
Salah satu teladan penting lainnya yang dapat kita ambil dari mereka adalah, kemampuan mereka mensinergiskan keseluruhan peran dan fungsi yang telah Allah bebankan atas mereka, baik dia sebagai seorang hamba Allah, sebagai istri dan ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Seluruh kewajiban yang terkait dengan peran-peran dan fungsi itu mampu mereka tunaikan tanpa mengabaikan yang satu dari yang lainnya. Kesibukan dan beratnya beban mereka dalam mengurus kehidupan rumahtangganya tidak lantas membuat mereka abai terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan terlebih-lebih lagi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki tanggungjawab besar untuk bersama-sama kaum Muslimin yang lain membangun kehidupan yang mulia. Demikian pula sebaliknya, kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan masyarakat, yang terwujud dalam keterlibatannya dalam aktivitas politik, tidak lantas pula membuat mereka lalai terhadap kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Semua, mereka lakukan dengan kesadaran penuh bahwa pelaksanaan atas seluruh peran-peran dan fungsi itu, adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban yang telah Allah bebankan kepada mereka yang suatu saat akan mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Wallahu a’lam bishshawwab.
(disarikan dari berbagai sumber).
Alhamdulillah yang selama ini menjadi pertanyaan terbesarku akhirnya terjawab sudah. Jzk
Subehanallah!moga saya bisa mencontoh para shabiyyah terutama dalam dakwah&mendidik anak,doakan ya teh!