Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa mengakui bahwa makelar kasus atau ”markus” saat ini merajalela di mana-mana, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan. Hal itu merupakan tantangan semua penegak hukum untuk memberantasnya.
Khusus untuk MA sendiri, keberadaan makelar kasus tersebut diakui Harifin sangat mengganggu independensi hakim dalam menangani perkara.
Terkait dengan hal tersebut, Harifin menjelaskan, Rabu (18/11) di Jakarta, pihaknya sudah mengeluarkan aturan seperti larangan bertemu pihak beperkara dan larangan menerima pemberian dari pihak beperkara. ”Pedoman Perilaku Hakim yang sudah ada akan ditegakkan sungguh-sungguh,” katanya.
Hingga Oktober 2009, MA sudah menjatuhkan sanksi kepada setidaknya 30 hakim. ”Ada hakim yang dipecat, ada hakim dinonpalukan selama satu dan dua tahun. Dalam waktu dekat ini, ada lagi hakim yang diadukan ke Majelis Kehormatan Hakim karena diduga melakukan pelanggaran berat. Dia diusulkan untuk dipecat,” tutur Harifin.
Secara terpisah, Ketua Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, kemarin, menyatakan belum pernah mendengar tentang makelar kasus yang hilir mudik ke Kantor KPK.
”Di KPK, tiap orang yang datang dapat diidentifikasi,” katanya.
Di lingkungan kejaksaan, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan, sejak tahun 2007 kejaksaan sudah mengupayakan birokrasi bersih. Caranya, antara lain, dengan pembaruan kejaksaan.
Riset pola korupsi
Danang Widoyoko dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Darurat Keadilan mengungkapkan, Indonesian Corruption Watch pernah melakukan riset tentang mafia peradilan di Indonesia.
Riset menemukan banyaknya pola korupsi di tubuh kepolisian dalam bentuk permintaan uang jasa, penggelapan perkara dengan alasan tidak cukup bukti, negosiasi perkara saat penyusunan berita acara pemeriksaan, dan pemerasan dan pengaturan ruang tahanan.
Tidak jauh berbeda dengan itu, menurut Danang, catatan tentang kejaksaan juga sangat buruk. Terbongkarnya persekongkolan dan transaksi korup antara Jaksa UTG dan Artalyta Suryani adalah salah satu contohnya.
Untuk itu, pengamat masalah korupsi, Roby Arya Brata, mengusulkan agar pemerintah membentuk badan independen dengan kewenangan kuat untuk mengawasi aparat penegak hukum, terutama KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.
Ahli hukum tata negara, Irman Putra Sidin, berpendapat, untuk menjaga kelanjutan dan arah dari reformasi hukum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu membentuk tim khusus. Tugas tim adalah mengkaji dan memberikan masukan hal-hal yang perlu dilakukan dalam reformasi hukum. (Kompas.com, 19/11/2009)
Memang benar, sistem demokrasilah sumber utama yang melahirkan mafioso peradilan di Indonesia.
Saya mendukung Halaqah Islam dan Peradaban HTI (http://www.voa-islam.net/news/indonesia/2009/11/20/1761/demokrasi-lahirkan-mafioso-peradilan/)