Inilah Pola-pola dalam Praktik Mafia Peradilan

Tak bisa dibantah, kalau dikatakan bahwa praktik mafia peradilan di Tanah Air sudah merasuk hingga ke semua lini dalam struktur aparat peradilan itu sendiri. Mulai dari tingkat penyelidikan hingga terdakwa dijebloskan ke penjara, semua tahapan biasa digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri. Inilah pola-pola dalam praktik mafia peradilan:

KEPOLISIAN
A. Tahap Penyelidikan
1. Permintaan uang jasa

  • Laporan ditindaklanjuti setelah menyerahkan uang jasa.

2. Penggelapan perkara

  • Penanganan perkara dihentikan setelah ada kesepakatan membayar sejumlah uang kepada polisi.

B. Tahap Penyidikan
1.Negosiasi Perkara

  • Tawar menawar pasal yang dikenakan terhadap tersangka dengan imbalan uang yang berbeda-beda.
  • Menunda surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kejaksaan.

2. Pemerasan oleh Polisi

  • Tersangka dianiaya lebih dulu agar mau kooperatif dan menyerahkan uang.
  • Mengarahkan kasus lalu menawarkan jalan damai.

C. Pengaturan Ruang Tahanan

  • Penempatan di ruang tahanan menjadi alat tawar-menawar.

KEJAKSAAN
1. Pemerasan

  • Penyidikan diperpanjang untuk merundingkan uang damai.
  • Surat panggilan sengaja tanpa status “saksi” atau “tersangka”, pada ujungnya saat pemeriksaan dimintai uang agar statusnya tidak menjadi “tersangka”.

2. Negosiasi Status

  • Perubahan status tahanan seorang tersangka juga jadi alat tawar-menawar.

3. Pelepasan Tersangka

  • Melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau sengaja membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga terdakwa divonis bebas.

4. Penggelapan Perkara

  • Berkas perkara dapat dihentikan jika memberikan sejumlah uang.
  • Saat dilimpahkan ke kejaksaan, polisi menyebutkan “sudah ada yang mengurus” sehingga tidak tercatat dalam register.

5. Negosiasi perkara

  • Proses penyidikan yang diulur-ulur merupakan isyarat agar keluarga tersangka menghubungi jaksa.
  • Dapat melibatkan calo, antara lain dari kejaksaan, anak pejabat, pengacara rekanan jaksa.
  • Berat atau kecilnya dakwaan menjadi alat tawar-menawar.

6. Pengurangan tuntutan

  • Tuntutan dapat dikurangi apabila tersangka memberikan uang.
  • Berita acara pemeriksaan dibocorkan saat penyidikan.
  • Pasal yang disangkakan juga dapat diperdagangkan.

PERSIDANGAN
1. Permintaan uang jasa

  • Pengacara harus menyiapkan uang ekstra untuk bagian registrasi pengadilan.

2. Penentuan Majelis Hakim

  • Dapat dilakukan sendiri, atau menggunakan jasa penitera pengadilan.

3. Negosiasi putusan

  • Sudah ada koordinasi sebelumnya mengenai tuntutan jaksa yang berujung pada vonis hakim.
  • Tawar menawar antara hakim, jaksa dan pengacara mengenai besarnya hukuman serta uang yang harus dibayarkan.

TAHAP BANDING PERKARA
1. Negosiasi putusan

  • Pengacara menghubungi hakim yang mengadili, lalu tawar-menawar hukuman.

2. Penundaan eksekusi

  • Pelaksanaan putusan dapat ditunda dengan membayar sejumlah uang kepada jaksa melalui calo perkara atau pelaksana eksekusi.

LEMBAGA PEMASYARAKATAN

  1. Pungutan bagi pengunjung
  2. Uang cuti
  3. Menggunakan orang lain yang identitasnya disesuaikan dengan identitas terpidana
  4. Perlakuan istimewa.

Sumber: Kompas.com (23/11/2009)

2 comments

  1. Siapapun yang jujur menilai akan melihat dengan jelas, bahwa carut-marutnya dunia peradilan di Tanah Air Kita, bukan sekadar disebabkan oleh faktor manusianya; baik hakim, jaksa, atau pengacara. Banyaknya hakim, jaksa, atau pengacara ‘busuk’ sebetulnya hanyalah akibat—bukan sebab —dari ‘busuk’-nya sistem peradilan kita. Buktinya, meski ada sejumlah hakim, jaksa, atau pengacara yang mungkin dipandang jujur dan bermoral, toh mereka sering terbentur dengan ‘tembok tebal’ sistem peradilan yang ada (yang memang bobrok) ketika mereka berniat menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Artinya, inti persoalannya bermula dari sistem peradilan sekular yang memang memiliki banyak kelemahan yang bersifat sistemik. Kelemahan sistemik ini tentu bermula dari kelemahan fundamental, yakni sekularisme yang menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Padahal, akal manusia memiliki banyak keterbatasan dan kelemahan dalam menentukan hakikat baik-buruknya sesuatu.
    Oleh sebab itu, untuk membangun sistem peradilan yang tangguh dan tidak mudah diintervensi. Sistem peradilan yang dimaksud tentu saja yang berasal dari Zat Pencipta manusia, yang telah menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum untuk mengadili manusia. Artinya, sistem peradilan yang dibangun hendaklah sistem peradilan Islam yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Sebab, berbeda dengan manusia, Allah Swt. tentu tidak memiliki kepentingan atau interest apapun dalam mengadili manusia melalui hukum-hukum-Nya, selain ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Sebaliknya, dalam sistem sekular seperti sekarang, dimana hukum dihasilkan oleh mereka yang duduk di parlemen (yang kebanyakan lebih mementingkan diri dan partainya ketimbang rakyat kebanyakan), hukum akhirnya menjadi ‘barang dagangan’ yang memungkinkan terjadinya tawar-menawar. Itulah bukti nyata dari bobroknya hukum buatan manusia. Betul tidak?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*