Dunia peradilan kembali digegerkan kasus suap dan mafia peradilan. Kali ini melibatkan Institusi lembaga peradilan dan penegak keadilan di Indonesia, KPK(komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Ironisnya, nama institusi kepolisian makin terpuruk karena seolah-olah kasus ini di rancang dan dikendalikan oleh orang sipil. Mencuatnya kasus itu makin membuktikan, mafia peradilan bukan sekadar isu. Realitas ini tentu amat menyedihkan. Bagaimana mungkin lembaga-lembag tersebut bisa diharapkan memberantas korupsi, suap-menyuap, dan berbagai kejahatan lain jika lembaga itu tak steril dari perbuatan tercela itu?
Potret Penegakan Hukum di Indonesia
Adalah rekaman penyadapan terhadap Anggodo Widjaya yang membuka tabir kasus tuduhan korupsi terhadap lembaga KPK. Hasil penyadapan Adik kandung tersangka kasus radiokom Anggoro Widjaya direktur PT Masaro merancang yg telah menghabiskan dana tak kurang dari Rp 6 miliar rupiah untuk mengatur perkara dan BAP di tingkat penuntut (kepolisian dan jaksa) terhadap dua pimpinan KPK non aktif Chandra dan Bibit, untuk membela sang kaka yaitu Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Wijaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan pada 2007. Anggoro Wijaya ditetapkan sebagai tersangka karena Ia dianggap terlibat karena diduga memberikan uang suap kepada sejumlah anggota DPR terkait dengan proyek senilai Rp 180 miliar ini.
Kita juga masih ingat kasus Arthalita, yang mampu mengatur dengan menyuap jaksa penuntut Umum Urip Tri Gunawan yg telah tertangkap tangan menerima 660.000 dollar AS dari Artalyta Suryani.
Semua deretan fakta itu membuktikan, urusan hukum di semua lini selalu terkait uang, tak terkecuali di Kepolisian, kejaksaan dan Mahkamah agung (dengan kasus probosutedjo beberapa tahun yang lalu) yang diharapkan menjadi benteng terakhir keadilan. Hukum yang mulanya dibuat untuk melindungi warga dari tindak kedzaliman dan kejahatan menjelma menjadi ‘industri’. Urusan keadilan pun seolah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Akibatnya, keputusan pengadilan seringkali lebih tunduk terhadap pihak-pihak yang memberikan harga lebih tinggi
Berpangkal pada Sistem
Sejatinya problem peradilan di Indonesia bukan hanya menyangkut aparatnya saja, namun juga pada sistem peradilan yang berlaku. Jika ditelisik secara cermat, sistem peradilan di negeri memberikan peluang kemenangan amat kepada para pemilik modal. Pasalnya, untuk memperoleh keputusan pengadilan dibutuhkan biaya besar.
Pertama, Sumber hukum yang berdasarkan akal ditafsirkan berdasarkan aspek juridis dan rasa keadilan. Ini karena kadangkala ketentuan UU bertentangan dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan masyarakat. Selain itu banyak celah hukum pada KUHP sehingga seringkali dimanfaatkan untuk memanipulasi hukum. Hal ini kemudian mendorong adanya kebutuhan terhadap lawyer (pengacara atau penasehat hukum) yang membutuhak yang tidak sedikit. Semakin besar kasus yang dihadapi biaya layer pun semakin mahal. Di tangan para pengacara handal mereka dapat memutarbalikkan kebenaran, memtahkan berbagai argumentasi, dan mencari celah hukum yang membuat kliennya bisa lolos dari jerat hukum.
Kedua, adanya pengadilan yang bertingkat-tingkat. Keputusan pengadilan di bawahnya bisa dianulir oleh pengadilan di atasnya. Oleh karenanya, seseorang yang telah diputus bersalah dan harus menjalani hukuman sekian bulan atau tahun, kemudian mengajukan banding pengadilan ke tingkat atasnya yang lebih mengikat. Keputusan itu bisa memperberat hukuman, memperingan, atau bahkan membebaskan sama sekali. Itu berarti, untuk mendapatkan keputusan hukum tetap, harus menempuh beberapa jenjang pengadilan. Lagi-lagi, dibutuhkan uang untuk bisa mengikuti alur peradilan yang berbelit-belit ini. Akibatnya, hanya mereka yang memiliki uanglah yang bisa terus mengajukan banding. Mereka pula memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan ‘pertarungan’ di babak terakhir.
Model pengadilan berjenjang seperti ini jelas tidak efisien, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya bukan hanya pihak yang berperkara namun juga para penegak hukum (polisi, hakim, jaksa). Proses yang lama tersebut membuat kepastian hukum tidak segera didapatkan pihak yang berperkara. Panjangnya jenjang pengadilan ini menjadi celah yang menguntungkan para mafia peradilan.
Di sisi lain penyelesaian hukum seperti ini membuat para pelaku kejahatan tidak akan jera atau takut untuk melakukan tindak kriminal. Akibatnya angka kriminal terus meningkat. Realitas ini tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara yang menganut peradilan sekular. Amerika Serikat, negara yang sering dianggap sebagai kiblat peradaban sekular, adalah contohnya. Menurut data, di AS aksi pembunuhan terjadi setiap 22 menit, pemerkosaan terjadi setiap 5 menit, perampokan berlangsung setiap 49 detik, dan pencurian terjadi setiap 10 detik. Menurut penelitian terbaru yang dilakukan Prof. Morgan Reynold dari A & M University Texas, diperoleh data bahwa dari 500.000 pencurian yang terjadi setiap bulannya, ternyata hanya 6.000 pencuri yang tertangkap (Invansi Politik dan Budaya, Salim Fredericks, hal. 254).
Lalu bagaimana gambaran sistem peradilan dalam Islam? Berikut beberapa cuplikan sistem tersebut.
Sumber hukum yang jelas dan tegas
Sumber hukum dalam peradilan Islam jelas yakni al-Quran dan as-Sunnah dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu Ijma’ Sahabat dan Qiyas dengan illat syar’iy. Allah swt berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hukumilah mereka berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah dari upaya mereka untuk memalingkan kamu dari sebagaian apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49)
Ini jelas berbeda dengan sumber hukum dalam sistem kapitalisme yang didasarkan pada aturan yang dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas kemampuannya untuk mengetahui hukum yang paling layak; sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu salah satu problem yang mengemuka dalam hukum sekuler saat ini adalah bagaimana memadukan antara aturan hukum formal dengan rasa keadilan masyarakat. Artinya aturan hukum yang berlaku belum tentu sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh masyarakat. Padahal apa yang dianggap adil oleh masyarakat juga sangat relatif. Allah swt berfirman:
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sementara ia baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu namun ia buruk bagi kalian. Dan Allah maha mengetahui sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Disamping itu bobot hukuman yang ditetapkan Islam dalam masalah hudud, jinayat, ta’zir serta mukhalafat yang ditetapkan oleh khalifah tidak tanggung-tanggung beratnya. Dengan demikian hukuman tersebut selain menjadi penghapus dosa pelakunya (jawabir) juga memberikan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan pencegah bagi masyarakat secara umum.
Integritas Penegak Hukum
Adapun pihak yang berwenang menetapkan hukum dalam Islam adalah khalifah atau orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi. Rasulullah saw memutuskan sendiri berbagai perkara hukum yang terjadi di masanya. Di samping itu beliau juga mengangkat sejumlah sahabat untuk menjadi qadhi di sejumlah wilayah dan daerah seperti penunjukan Ali sebagi qadhi di Yaman dan Muadz bin Jabal di Janad.
Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga kategori: qadhi yaitu qadhi yang menangani perkara muamalat dan ‘uqubat dalam masyarakat; al-muhtasib yakni qadhi yang menangani pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan qadhi al-madzhalim yakni qadhi yang mengani kasus yang terjadi antara rakyat dan pejabat negara.
Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang yang telah diberikan kewenagan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi qudhat.
Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum suatu terhadap suatu perkara yang bersifat mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda dengan fatwa yang kedudukannya tidak mengikat seseorang.
Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim, merdeka, baligh, berakal, ahli fiqhi dan mampu menetapkan hukum terhadap realitas. Selain itu kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang hakim memiliki integritas yang tinggi sehingga tidak menyalahi hukum syara’ dalam dalam memutuskan perkara. Sebagaimana diketahui keputusan hukum yang bertentangan dengan syariat Islam merupakan keputusan yang batil dan hakimnya akan diganjar oleh Allah swt dengan siksa neraka. Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ وَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِى النَّارِ فَأَمَّا الَّذِى فِى الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ».
Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Hakim ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. hakim yang masuk surga adalah hakim mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementera hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka; demikian pula hakim yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan menurutnya shahih)
Pemenuhan aspek material hakim meski bukan faktor utama dalam terwujudnya keputusan yang benar, juga tetap diperhatikan. Posisi hakim adalah pegawai (ajir) negara yang berhak mendapatkan gaji dan tunjungan yang layak. Tidak ada jumlah pasti mengenai batasan gaji pejabat dalam Islam. Catatan Ibnu Saad setidaknya dapat memberikan kisaran gaji pejabat di masa Rasul dan Khulafau Rasyidun. Atab bin Usaid misalnya yang ditugaskan menjadi wali di Mekkah oleh Rasullah, mendapat 40 uqiyyah pertahun (1 uqiyyah = 40 dirham) atau 133 dirham per bulan. Ibu Saad juga memberitakan bahwa Umar telah menggaji Iyyadh bin Gunma yang menjadi wali Janad satu dinar perhari (4,25 gram emas), satu kambing dan satu mud gandum.[1] Di samping itu pejabat dalam daulah Islam juga mendapat beberapa tunjangan seperti rumah dan pembantu. Rasulullah saw pernah bersabda:
عَنِ الْمُسْتَوْرِدِ بْنِ شَدَّادٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلاً فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا ». قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنِ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ ».
“Barangsiapa yang kami angkat sebagai maka hendaklah ia mencari istri. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengusahaknnya. Jika ia tidak memiliki rumah maka hendaklah ia membangunnya. Abu Bakar berkata: Saya mendapatkan berita bahwa Nabi saw bersabda: barangsiapa yang mengambil selain itu maka ia adalah pencuri.”(HR. Abu Daud. Menurut Albany Shahih)
Seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari manapun selain dari apa yang diberikan oleh negara padanya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Hal ini karena harta tersebut merupakan harta yang Rasulullah saw juga bersabda.:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ
“Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan rezeki kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan harta yang tidak sah (ghulul). (HR. Ibnu Khuzaimah dan disahihkan Al-A’dzamy)
Putusan yang tegas
Dalam Islam dikenal istilah tabanni hukum, yakni hukum yang berlaku bagi seseorang adalah apa yang ia adopsi (tabanny) berdasarkan kriteria pengadopsian hukum baik dengan ijtihad ataupun melalui taklid. Dengan demikian hukum yang diadopsi oleh seseorang bersifat tunggal. Artinya meski dalam satu masalah ada banyak pendapat namun bagi seseorang yang berhubungan dengan perkara tersebut ia harus memilih salah satu diantaranya. Mengeraskan basmalah dalam shalat jahriyyah misalnya ada dua pendapat; mengeraskan atau atau memelankannya. Namun demikian bagi seseorang yang hendak shalat maka ia harus memilih pendapat yang dianggapnya paling rajih.
Demikian pula halnya dalam penetapan hukum di pengadilan. Meski banyak pendapat yang berkenaan dengan suatu perkara namun hakim yang telah diberi kewenangan oleh syara’ untuk menetapkan perkara harus menetapkan keputusan berdasarkan apa yang dianggapnya paling kuat. Ini karena hukum yang ia putuskan adalah berdasarkan apa yang ia adopsi yang sifatnya tunggal. Meskipun dalam persidangan ia dapat dibantu oleh hakim pendamping namun pandangan mereka hanya sebatas pertimbangan semata yang tidak mengikat hakim tersebut.
Keputusan yang telah ditetapkan oleh seorang hakim bersifat tetap dan tidak dapat dibatalkan atau diajukan banding atasnya. Oleh karena itu di dalam Islam tidak dikenal pengadilan atau mekanisme hukum yang berjenjang seperti dalam sistem Kapitalisme yaitu: Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, Peninjauan Kembali, pemberian Grasi, Amnesti atau Abolisi oleh Presiden.
Hal Ini telah menjadi ijma di kalangan sahabat r.a. Umar misalnya menetapkan keputusan yang bertentangan dengan Abu Bakar namun ia tidak membatalkan apa yang telah ditetapkan oleh Abu Bakar. Hal yang sama juga yang terjadi Ali yang memiliki sejumlah pendapat yang bertentangan dengan Umar namun beliau tidak membatalkan pendapat pendahulunya itu.
عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِى الْجَعْدِ قَالَ : لَوْ كَانَ عَلِىٌّ طَاعِنًا عَلَى عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمًا مِنَ الدَّهْرِ لَطَعَنَ عَلَيْهِ يَوْمَ أَتَاهُ أَهْلُ نَجْرَانَ وَكَانَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ الْكِتَابَ بَيْنَ أَهْلِ نَجْرَانَ وَبَيْنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَكَثُرُوا فِى عَهْدِ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى خَافَهُمْ عَلَى النَّاسِ فَوَقَعَ بَيْنَهُمْ الاِخْتِلاَفُ فَأَتَوْا عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَأَلُوهُ الْبَدَلَ فَأَبْدَلَهُمْ قَالَ ثُمَّ نَدِمُوا أَوْ وُضِعَ بَيْنَهُمْ شَىْءٌ فَأَتَوْهُ فَاسْتَقَالُوهُ فَأَبَى أَنْ يُقِيلَهُمْ فَلَمَّا وَلِىَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَتَوْهُ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ شَفَاعَتُكَ بِلِسَانِكَ وَخَطُّكَ بِيَمِينِكَ فَقَالَ عَلِىٌّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : وَيْحَكُمْ إِنَّ عُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ رَشِيدَ الأَمْرِ.
Dari Salim bin Abu Ja’d berkata: “Andaikan Ali bermaksud mencela Umar r.a. pada suatu kesempatan maka ia pasti melakukannya di saat penduduk Najran mendatangi beliau. Sebelumnya beliau telah menulis ketetapan antara penduduk Najran dengan Rasulullah saw. Namun pada masa Umar jumlah mereka bertambah banyak hingga Umar mengkhawatirkan mereka berselisih dengan orang lain. Mereka mendatangi Umar untuk mengganti ketetapan sebelumnya lalu Umar menggantinya; Meski setelah itu mereka menyesal atas ketetapan baru tersebut.. Mereka lalu mendatangi beliau untuk meminta keringanan namun ditolak oleh Umar. Tatkala Ali menjadi pemimpin mereka mendatangi beliau dan berkata: “Wahai amirul mukmin kami mohon pemaafan dengan lisanmu dan keputusan dengan sumpahmu. Namun Ali r.a. menjawab: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Umar r.a. merupakan pemimpin yang lurus.” (H.R. al-Baihaqy)
Bahkan dalam kasus yang sama sahabat dapat mengeluarkan keputusan yang berbeda di waktu yang berbeda berbasarkan perubahan ijtihad mereka. Meski demikian mereka tidak menganulir pendapat sebelumnya. Umar bin Khattab misalnya telah melakukan hal tersebut.
عَنْ مَسْعُودِ بْنِ الْحَكَمِ يَعْنِى الثَّقَفِىَّ قَالَ : قَضَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى امْرَأَةٍ تَرَكَتْ زَوْجَهَا وَابْنَتَهَا وَإِخْوَتَهَا لأُمِّهَا وَإِخْوَتَهَا لأَبِيهَا وَأُمَّهَا فَشَرَّكَ بَيْنَ الإِخْوَةِ لِلأُمِّ وَبَيْنَ الإِخْوَةِ لِلأُمِّ وَالأَبِ جَعَلَ الثُّلُثَ بَيْنَهُمْ سَوَاءً فَقَالَ رَجُلٌ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّكَ لَمْ تُشَرِّكْ بَيْنَهُمْ عَامَ كَذَا وَكَذَا فَقَالَ عُمَرُ : تِلْكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا يَوْمَئِذٍ وَهَذِهِ عَلَى مَا قَضَيْنَا الْيَوْمَ.
Dari Ibnu Mas’ud bin Hakam ats-Tsaqafi berkata: “Umar telah menetapkan warisan dari seorang wanita yang meninggalkan suami, anak perempuan, saudara seibu dan saudara seibu sebapak. Beliau kemudian menggabungkan antara saudara seibu dan saudara seibu sebapak untuk mendapatkan sepertiga secara merata (dari harta warisan). Seorang laki-laki kemudian mempertanyakan hal itu: Wahai Amirul Mukminin bukankah pada tahun sebelumnya engkau tidak menggabungkan keduanya? Maka Umar menjawab itu adalah keputusan yang telah kami tetapkan pada saat itu dan ini adalah keputusan yang kami tetapkan saat ini.” (HR. al-Baihaqy)
Oleh karena itu para ulama ushul membuat suatu kaedah fiqhi:
الإِجْتِهَادُ لَا يَنْقُضُ بِالإِجْتِهَادِ
“Ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad.”[2]
Namun demikian bukan berarti keputusan apapun tidak dapat berubah. Jika terbukti hakim menetapkan hukum tidak berdasarkan syariat Islam, menyalahi dalil yang qathi atau memutuskan perkara yang bertentangan dengan realitas maka keputusannya harus dibatalkan. Adapun jika ia menetapkan perkara dalam kasus yang dalilnya dzanny maki keputusannya tidak direvisi sebagaimana kaidah fiqhi di atas.[3]
Ibnu Qudamah mengatakan: “jika ijtihad seorang hakim berubah namun tidak menyalahi nash atau ijma’ atau ia ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad orang yang mendahuluinya maka ia tidak boleh membatalkannya karena sahabat telah bersepakat atas hal tersebut.”[4]
Demikian pula dalam kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang absah dalam Islam seperti saksi, pengakuan, sumpah, surat-surat resmi sehingga menimbulkan syubhat maka qadhi tidak diperkenankan untuk menjatuhkan sanksi kepada terdakwa. Hal didasarkan pada sebuah kaidah ushul yang diperoleh dari sejumlah riwayat:
الحُدُوْدُ تُسْقَطُ بِالشُّبُهَاتِ
“Sanksi dibatalkan karena adanya kesamaran.”[5]
Hal yang perlu ditambahkan adalah meski khalifah, muawint tafwidh atau qadhi qudlat memiliki otoritas untuk mengangkat dan memberihentikan seorang hakum namun dalam proses penyelesaian perkara yang melibatkan Khalifah, muawint tafwidh atau qadhi qudlat seorang hakim madzalim yang menangani perkara mereka tidak boleh diberhentikan selama perkara tersebut berlangsung. Dengan demikian ia dapat menyelesaikan kasus tersebut tanpa adanya kekahwatiran akan tekanan dan intervensi dari pejabat tersebut. Wallahu a’lam bis Shawab (Abee Ramadhani & Muis – Lajnah Tsaqafiyyah)
[1] Al-Kattany, At-Taratib al-Idariyyah, (Beirut: Syrkah Dar al-Arkam bin Abi al-Arkam, tt ), hlm. 226
[2] As-Suyuthy, Al-Asybah wa an-Nadzair, (Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 71
[3] An-Nawawy, Adab al-Fatwa wa al-Mufty wa al-Mustafty, (Damsyik: Dar al-Fikry, 1408H), hlm. 36
[4] Ibnu Qudamah, al-Mughny, vol. XI, hlm. 404. al-Maktabah as-Syamilah
[5] As-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadzair fi al-Furu’, (Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 84
koreksi:
sanksi bisa gugur karena adanya kesamaran
So Semangat….
Tegakkan Sya’ra Islam…
Hdp Mahasiswa!!!
wah bagus banget nih postingnya. salam kenal ya.
senang melihat posting anda yang begitu islami. jadi ingin terus berkunjung