BANDUNG–Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir tecatat setidaknya 4929 temuan pengidap HIV-AIDS di Jawa Barat (Jabar). Data itu menempatkan Jabar sebagai provinsi dengan pengidap HIV-AIDS tertinggi di Indonesia.
Tim Asisten Komite Penanggulangan Aids (KPA) Jabar, Nirmala Kesuma menjelaskan, peningkatan tertinggi penularan HIV-AIDS di Jabar terjadi pada pengguna narkoba suntik, hal itu diduga lantaran dibukanya akses tol Cipularang yang mengakibatkan arus perdagangan narkoba kemungkinan semakin cepat.
Dia mengakui, data pengidap HIV-AIDS saat ini kemungkinan hanya 10 persen dari total pengidap sebenarnya. “Hal itu disebabkan pengidap HIV-AIDS sulit dideteksi dan juga minimnya anngaran dan SDM yang mampu untuk menjangkau semua pengidap itu,” tutur Nirmala, Selasa (1/12).
Sementara itu, Pengurus Klinik Teratai, Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin Bandung, Teddy Hidayat mengatakan, penularan tertinggi HIV-AIDS di Jabar disebabkan hubungan heteroseksual yaitu 48,8 persen disusul pengguna narkoba suntik sebesar 41,5 persen dan homoseksual 3,3 persen. “Sebagian besar pengidap HIV-AIDS terdapat pada kelompok usia 20-29 tahun (50 persen) dan 30-39 (29,6 persen),” tuturnya.
Sedangkan untuk jenis kelamin pengidap HIV-AIDS yang terbanyak ialah laki-laki sekitar 3622 orang, wanita sekitar 1089 orang dan tidak diketahui sebanyak 218 orang.
Teddy menuturkan, dirinya menyoroti adanya kesenjangan dan diskriminasi antara kebutuhan masyarakat kelompok resiko tinggi atau mereka yang terinfeski HIV-AIDS dengan ketersediaan layanan kesehatan. “Pelayanan kesehatan dan psikososial untuk kelompok masyarakat pengidap HIV-AIDS saat ini masih belum merata dan jumlahnya terbatas di setiap daerah,” terangnya.
Dia melanjutkan, hingga sekarang masih banyak ditemukan kasus diskriminasi bagi orang dengan HIV-AIDS (ODHA). “Masih ada RS yang menolak untuk menerima pengidap HIV-AIDS dan juga tenaga medis yang menghindar mengobati pasien itu. ODHA juga harus menutupi dirinya apabila ingin memiliki akses pekerjaan,” tutur Teddy.
Oleh karena itu, lanjut Teddy, perlu dibangun semacam sinergitas antara pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan dan masyarakat untuk meminimalisir adanya stigmatisasi bagi para ODHA agar memiliki kedudukan yang setara dengan manusia yang lain. (Republika online, 2/12/2009)