Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan
Oleh: Najmah Saiidah (Anggota Lajnah Tsaqofiyah MHTI, Anggota DPP HTI)
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dipunyai oleh semua orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi (Ensiklopedia ilmu-ilmu sosial). Hak Asasi Manusia selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental dan penting. Oleh karenanya banyak yang berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia adalah ‘kekuasaan dan keamanan’ yang dimiliki oleh individu. Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Versi yang lain munculnya HAM ini pada abad 17 dan 18 sebagai reaksi dari keabsolutan raja-raja dan kaum feodal pada zaman itu terhadap rakyat lapisan bawah. Dimana pada waktu itu masyarakat lapisan bawah tidak memiliki hak-hak, diperlakukan sewenang-wenang, layaknya sebagai budak. Maka muncullah ide untuk menegakkan HAM, dengan konsep bahwa semua orang itu sama, semuanya merdeka bersaudara, tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah.
Sejak itu upaya penegakkan HAM terus berlangsung mulai dari usaha penghapusan perbudakan, perlindungan terhadap kaum minoritas, sampai pada perlindungan korban perang. Puncak dari upaya tersebut adalah dikeluarkannya Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia atau UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Rancangan piagam hak-hak asasi manusia disusun oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris hasil kerja panitia tersebut dikukuhkan. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
Pada tanggal 10 Desember 1948 inilah disahkan hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, laki-laki atau perempuan, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua. Deklarasi ini bertujuan untuk melindungi hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi; kebebasan berpendapat, berkumpul secara damai, berserikat dan bebas beragama, bebas bergerak dan melarang adanya perbudakan, penahanan dengan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa paroses peradilan yang adil dan jujur dan melanggar hak pribadi seseorang . Disamping itu deklarasi ini mengandung jaminan terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sejak itulah akhirnya HAM dijadikan RUJUKAN bahkan HUKUM TERTINGGI untuk menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan perempuan. Bahkan kemudian muncul istilah Hak Asasi Perempuan, sebagai reaksi dari adanya diskriminasi terhadap perempuan. Bagi negara-negara anggota PBB, deklarasi itu dan turunannya sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia di suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya untuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep HAM yang telah dijadikan sebagai “Hukum Tertinggi” ini berjalan dengan semestinya, sesuai dengan harapan orang-orang yang mendukungnya atau malah dijadikan alat bagi negara-negara besar bahkan negara nomor satu untuk mengelabui negara-negara lainnya ?
Dari proses kelahirannya, jelaslah bahwa konsep HAM yang berlandaskan pada kebebasan (kebebasan beragama, kebebasan pemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan bertingkah laku) dibuat oleh manusia, sudah dapat dipastikan kalau konsep ini akan mengandung banyak kelemahan di sana sini. Karena manfaat dijadikan sebagai landasan bagi tegaknya aturan. Jika hal tersebut bermanfaat bagi pihak tertentu (terutama bagi pihak yang berkuasa) sekalipun merugikan pihak yang lain, maka aturan tersebut bisa dilaksanakan. Kita akan bisa temukan banyak contoh terkait masalah ini.
Senantiasa tertanam dalam benak kita bagaimana AS menggempur dan memboikot Irak selama lebih dari 10 tahun dengan alasan Irak telah melanggar hak-hak orang Syi’ah dan Suku Kurdi. Akan tetapi AS dan sekutunya diam dan tidak mau menggempur Serbia yang telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan, perampasan harta kaum Muslimin di Bosnia yang terang-terangan telah melanggar HAM. AS juga membenarkan tindakan pendudukan Israel atas bumi Palestina yang telah sangat jelas menelan banyak korban, tidak hanya kaum lelakinya, tetapi anak-anak, kaum perempuan dan ibu-ibu menjadi korban kebiadaban Israel. Tidak hanya itu, Negara-negara anggota PBB berdiam diri ketika terjadi pelarangan penggunaan jilbab dan kerudung di Perancis, penangkapan dan penyiksaan terhadap perempuan yang berupaya menutup auratnya di Jerman. Demikian pula apa yang dialami oleh Leyla Sahin yang dikeluarkan dari ruang kuliah di Universitas Istambul Turki karena menggunakan pakaian muslimah. Bahkan akhirnya Mahkamah Hak Asasi Manusia memutuskan bahwa Turki boleh melarang penggunaan pakaian muslimah di universitas di seluruh negeri. Bukankah ketika seseorang berupaya menjalankan aturan agamanya dengan benar, tidak boleh ada siapapun menghalanginya apalagi menjatuhkan sanksi ?
Dari beberapa fakta tersebut nampak dengan transparan sebenarnya kalau Negara-negara besar, terutama AS dan beberapa Negara Eropa menjadikan HAM sebagai tameng untuk mengelabui Negara-negara kecil, terutama negeri-negeri muslim serta mengokohkan ideologi mereka (kapitalis-sekular) di tengah-tengah kaum muslimin, yang pada akhirnya menjauhkan kaum muslimin dari hukum-hukum Islam dengan dalih bahwa hukum-hukum Islam mengekang umatnya, mengekang atau mendiskriminasikan perempuan atau bertentangan dengan HAM. Sehingga wajar jika kemudian muncul berbagai aturan yang merupakan turunan dari HAM yang sebenarnya justru mengajak umat Islam, termasuk perempuan untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang seharusnya dilaksanakan dengan sempurna oleh umat Islam.
Refleksi HAM Atas Hukum-hukum Perempuan
Kajian tentang HAM ini terus berkembang, hingga muncul istilah-istilah baru diantaranya Hak Asasi Perempuan atau Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, menyangkut yang lebih spesifik, yaitu hak-hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia sebagai manusia atau sebagai seorang perempuan. Dari sinilah, lahir kemudian berbagai undang-undang ataupun konvensi internasional sebagai upaya agar tujuan mereka berhasil. Salah satunya adalah dihasilkannya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women/ CEDAW) pada tahun 1979 (ditandatangani pada`tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 1981). Untuk menguatkan cengkeramannya di negeri-negeri muslim, maka PBB (dalam hal ini AS) mengharuskan setiap negara peserta/anggotannya meratifikasi setiap konvensi ataupun keputusan/ketetapan-ketetapan yang dihasilkan dari konferensi yang diselenggarakan, termasuk CEDAW ini. Konferensi PBB tentang perempuan ke II 1980 di Kopenhagen menguatkan isi konvensi ini. CEDAW ini merupakan konvensi awal yang spesifik, khusus membahas tentang perempuan. Karenanya wajar jika kelahirannya dianggap penting, sebagai momentum gerakan hak asasi perempuan yang selanjutnya mewarnai gerakan perempuan dalam forum internasional dan hukum internasional.
Adanya keharusan untuk mengambil dan melaksanakan hasil konvensi-konvensi internasional oleh setiap negara anggota, menjadikan Indonesia mau tidak mau harus meratifikasi semua instrumen tersebut. Karenanya di Indonesia, CEDAW sendiri sebenarnya telah mengilhami lahirnya berbagai upaya pembuatan hukum atau Undang-undang terutama terkait perempuan, baik keseluruhan maupun sebagian isi, diantaranya UU no.7 Tahun 1984 (ratifikasi dari CEDAW, UU ini menjadi acuan bagi penyelesaian segala macam persoalan perempuan), CLD-KHI, UU PKDRT, UU Pornografi-Pornoaksi dan sebagainya.
1. CLD-KHI (Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam)
Draft ini disusun oleh Kelompok Kerja (PokJa) PUG DEPAG dengan di ketuai oleh Siti Musdah Mulia dengan 10 anggota dan mendapatkan dana dari The Asia Foundation sebesar 6 miliar (termasuk untuk melakukan penelitian di berbagai daerah). Untuk menjaga kualitas draf, Pokja ini tidak bekerja sendirian, tetapi melibatkan sejumlah kontributor aktif yang mewakili beberapa elemen masyarakat Islam,seperti NU, Muhammadiyah, universitas, dan peneliti yang tertarik dalam kajian tersebut. MUI tidak dilibatkan dalam proses ini karena penolakan Komisi Fatwa MUI sejak awal. CLD-KHI pada tahun 2004 menawarkan 23 point untuk pembaruan Hukum Keluarga Islam, diantaranya:
- Perkawinan bukan Ibadah,tetapi akad sosial kemanusiaan (muamalah)
- Pencatatan perkawinan oleh Pemerintah adalah rukun Perkawinan
- Perempuan bisa menikahkan diri sendiri (tanpa wali) dan menjadi wali pernikahan
- Mahar bisa diberikan oleh calon suami dan calon istri
- Poligami dilarang
- Pernikahan dengan pembatasan waktu boleh dilakukan (nikah muth’ah)
- Perkawinan antar agama dibolehkan
- Istri punya hak talak dan rujuk
- Hak dan kewajiban suami istri setara
Dari point- point di atas dapat disimpulkan bahwa tak ada bedanya antara nikah dengan transaksi bisnis, artinya dengan siapa dan caranya tergantung kesepakatan. Bila demikian, apa bedanya dengan perzinahan ? Seringkali Perlindungan terhadap hak perempuan, persamaan hak dan derajat laki-laki dan perempuan, dijadikan alasan lahirnya aturan yang dibuat manusia. Upaya ini selintas nampak menentramkan dan sangat mulia, seolah-olah seluruh permasalahan perempuan bisa terselesaikan. Padahal jika kita perhatikan dengan seksama justru upaya ini sangat membahayakan, tidak hanya bagi kaum perempuan tapi umat secara keseluruhan baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Mengapa ? Di balik mulut manisnya tersimpan racun yang sangat berbisa yang dapat menjatuhkan umat Islam kepada jurang kehinaan karena mencampakkan hukum-hukum Allah dan RasulNya. Karena beberapa pasal yang ada di dalamnya justru bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, seorang perempuan menikah tanpa disertai wali, maka pernikahannya tidak sah demikian pula dalam Islam tidak membolehkan perempuan menjadi wali.
لاَ نكاحَ إلاّ بِوَلِيٍِّ
‘Laa nikaaha illa biwaliyyi’ (Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali) (HR yang lima kecuali An-Nasai).
اَيُّما امْرأةٍِ نَكَحَتْ بغيرِ إذْنِ وليّها، فنكاحُها باطِلٌُ فنكاحُها باطِلٌُ فنكاحُها باطِلٌُ
‘Perempuan manapun yang menikah tanpa mendapat ijin walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil (HR yang lima becuali An-Nasai).
لاَ تُزَوِّجُ المرأةُ المرأَةَ ولاَ تزوّجُ المرأَةُ نفسَها فأنّ الزّانيَةَ هِيَ التي تزَوِّجُ نفسَها
‘Seorang perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya. Seorang perempuan juga tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya perempuan pezina itu adalah (seorang perempuan) yang menikahkan dirinya sendiri (HR Ibnu Majah dan Daruquthniy)
Jelaslah bahwa upaya pembuatan draft ini merupakan penawaran suatu rumusan Syari’at Islam ‘ BARU’ yang sesuai dengan kehidupan demokrasi dan mencerminkan karakter kebudayaan Indonesia dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam Negara kesatuan Indonesia yang tidak saja tidak mampu menyelesaikan seluruh permasalahan perempuan bahkan merupakan upaya yang sangat berbahaya bagi umat karena akan mencegah formalisasi syari’at Islam di Indonesia. Karenanya wajar jika konsep CLD-KHI ini ditolak oleh berbagai pihak, terutama Mentri Agama pada waktu itu dan MUI, karena banyak penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam.
2. Undang-Undang no.23/2004 Tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Terkait kekerasan yang terjadi pada kehidupan umum yang melanggar norma HAM, Pemerintah RI telah mengeluarkan kepres no.61 Tahun 2003 tanggal 31 Juli 2003 tentang Rencana Aksi Nasional HAM 1998-2003, dan pada poin (B) tercantum tentang pemajuan dan peningkatan perlindungan hak-hak perempuan. Sedangkan UU no 23/2004 khusus kekerasan dalam rumah tangga. Dengan disahkannya UU no.23 tahun 2004 ini diharapkan dapat menghilangkan kekerasan di rumah tangga. Banyak pihak yang memahami bahwa penyebab terjadinya KDRT adalah sikap laki-laki yang superior terhadap perempuan, sehingga dengan lahirnya UU PKDRT seolah memberi angin segar bagi mereka dan berupaya mensosialisasikan undang-undang ini sesegera mungkin. Apakah benar UU ini akan menyelesaikan permasalahan ?
Jika kita cermati dengan baik, maka banyak pasal-pasal karet di dalamnya yang memberi peluang penafsiran yang banyak terhadap pasal-pasal tersebut. Seluruh pasal yang ada pada UU PKDRT adalah realisasi dari langkah tindak konferensi Beijing terkait dengan kekerasan terhadap perempuan di lingkup rumah tangga. Definisi kekerasan pada undang-undang PKDRT sama persis dengan definisi yang ada pada laporan hasil konferensi Beijing. Definisi tentang kekerasan tersebut lahir dari cara pandang sekularis liberal. Sehingga bentuk-bentuk kekerasan ditentukan pula dari cara pandang tersebut. Akibatnya banyak hal yang termasuk pelaksanaan hukum syara seperti mahar, sunat perempuan, poligami, dipandang sebagai kekerasan.
Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah dalam UU PKDRT, di antaranya Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga“. Sedangkan apa yang dimaksud kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; (pasal 8) bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai sanksi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak kekerasan. Misalnya saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4 bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4 sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta rupiah.
Jika dikaitkan dengan nash, maka hukum Islam membolehkan seorang suami memukul isterinya (dengan pukulan yang tidak melukai) ketika istri melakukan pembangkangan terhadap hukum syara’ terkait kewajiban pelayanan terhadap suami (nusyuz). Dan kebolehan orangtua memukul anaknya yang sudah berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat. (Perintahkanlah anak kalian untuk mengerjakan sholat jika sudah sampai usia 7 tahun dan apabila telah berusia sepuluh tahun pukullah ia jika sampai mengabaikannya ( HR Abu Dawud). Pukulan tersebut dalam rangka ta’dib (mendidik), tidak boleh mengenai tempat-tempat yang vital dan tidak membekas/menyakitkan.
Implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah ditetapkan syara’ (QS : An-Nisaa’ : 3), keharaman seorang isteri menolak ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar’iy atau hak suami melarang isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan. Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia ‘mengalahkan’ hukum yang berasal dari Al-Khaliq?
Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan — yang dalam Islam termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)– ke dalam tataran pidana (jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih saling terikat.
3. Undang-Undang Perlindungan Anak
Pada tahun 1990, Indonesia menandatangani ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan adanya ratifikasi ini, Indonesia mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai bentuk tanggungjawab ratifikasi KHA ini pemerintah mensahkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Subtansi UU No.23 tahun 2002 diadopsi penuh dari Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB pada 20 November 1989. Bila kita mencermati pasal demi pasal UU No 23/2002, ada sesuatu yang harus dikritisi. Berawal dari pasal tentang definisi anak. Dalam pasal 1 anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan dikaitkan pasal 26 © : Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak . Faktanya usia 18 tahun umumnya sudah dewasa, karena umumnya usia 18 perempuan sudah menstruasi dan laki-laki sudah mimpi basah, dalam Islam 2 hal ini merupakan tanda dewasanya seseorang. Dengan pembatasan ini menjadikan anak-anak terlambat kematangan syakhshiyah (kepribadiannya), sedangkan kematangan biologisnya lebih cepat, apalagi dengan maraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi saat ini ditambah lagi dengan adanya larangan menikah dini (pasal 26) maka peluang seks bebas semakin besar.
Pasal 1 (3) : Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya, ayah ibu dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga. Dari definisi keluarga ini seolah-olah ada pelegalan terhadap perzinahan yang berbuah kepada single parent. Bisa dipahami selanjutnya yang terjadi adalah hancurnya institusi keluarga, karena anak dengan salah satu orang tua (ayah/ibu) sudah bisa dikatakan sebagai keluarga. Indikasi penghancuran keluarga ini juga nampak dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan anak terlantar, anak asuh dan anak angkat baik dari definisi yang bisa menimbulkan banyak persepsi juga dari sisi pengasuhan. Adanya badan atau lembaga yang secara hukum memiliki wewenang untuk mengambil alih hak asuh anak dengan dalih perlindungan anak sangat terbuka lebar. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya pengambil alihan hak asuh anak dari orang tuanya, jika orang tuanya dinilai tidak mampu memberi perlindungan terhadap anak. ( pasal 1(5), pasal 1 (6), pasal 1 (9), pasal 1 (10), pasal 7 (2), pasal 30 (1), pasal 33 (1), pasal 34, pasal 35 (1), pasal 37 (1), pasal 37 (2), pasal 39 (4), pasal 55 (1), pasal 55 (2), pasal 57, pasal 58, pasal 72 (1), pasal 72 (2)).
Demikian beberapa upaya legislasi yang dilakukan di Indonesia dengan mengatasnamakan HAM (Hak Asasi Manusia) atau Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan, yang sebenarnya kental dengan propaganda dan ‘pesan-pesan’ untuk menguatkan cengkeraman ideologi negara-negara besar (AS dan beberapa negara Eropa yang menganut ideologi kapitalis-sekular). Telah sangat jelas penyimpangannya dari aturan-aturan Allah dan RasulNya. Karenanya sudah saatnya kita membuang jauh-jauh seluruh pemikiran kapitalis sekular dan seluruh produknya, termasuk konsep HAM dan turunannya dari benak dan kehidupan kita dan umat Islam, kemudian menggantinya dengan pemikiran dan sistem yang dibuat oleh Sang Maha Pencipta Manusia dan alam semesta, Allah swt. Yaitu sistem dan aturan-aturan Islam. Karena hanya aturan yang dibuat Sang Pencipta sajalah yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal, yang pada akhirnya membawa manusia kepada ketenangan. Kinilah saatnya umat Islam berjuang menegakkan aturan-aturan Islam secara kaaffah dalam institusi Daulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaajin nubuwwah untuk menjadi pemimpin dunia.
Wallahu A’lam`bishawwab
Daftar Pustaka
1. Aliansi Penulis Pro Syariah. Keadilan dan Kesetaran Gender Tipu Daya Penghancuran Keluarga.2007
2. An-Nizhomul Ijtima’iy fil Islam. Taqiyyuddin An-Nabhani. Beirut
3. Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW. Sri Wiyanti Eddyono. Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Jakarta. 2004
4. Kumpulan Makalah Forum Kajian Tokoh Muslimah. Di balik Perdebatan Nikah Siri. MHTI. 2009
5. Makalah Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Yefrizawati. Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2005.
6. Beberapa edisi Al-Waie
.