Pembodohan Risiko Sistemis

Oleh Achmad Deni Daruri
(President Director Center for Banking Crisis)

Bank Century bukanlah contoh yang tepat untuk menjelaskan risiko sistemis karena risiko sistemis menyangkut dua hal pokok, yaitu permasalahan terlalu besar ( too big too fail ) atau permasalahan terlalu terkoneksi ( too connected to fail ). Kedua hal tersebut justru tak terjadi.

Yang terjadi dalam analisis sistemis BI adalah jika dan jikalau. Maksudnya, BI lebih banyak berandai-andai. Misalnya, jika terjadi rumor, ada 23 bank yang akan mengalami gagal kliring dalam Real Time Gross Settlement (RTGS). Namun, BI tidak pernah menghitung secara kuantitatif, apakah jika ke-23 bank tersebut mengalami kegagalan, itu akan menimbulkan  bank run .

Pada konteks permasalahan terlalu besar dalam ukuran aset, kredit, dan dana pihak ketiga; Bank Century bukanlah pemain utama dalam sistem perbankan di Indonesia. Secara kuantitatif, seharusnya BI mengukur  Herfindahl Indeks (HI) dari aset, kredit, dan dana pihak ketiga Bank Century. Ini yang justru luput dijelaskan oleh Bank Indonesia ataupun KSSK. Analisis dampak sistemis tidak dapat hanya mengandalkan jumlah nasabah tanpa menghitung HI.

Lain ceritanya jika BCA, Bank Mandiri, BNI, atau BRI yang mengalami  rush karena keempat bank tersebut memiliki nilai HI yang jauh di atas Bank Century. Dalam kondisi makroekonomi yang aman pun, jika BCA mengalami  rush , risiko sistemis dipastikan akan terjadi. HI yang bersifat sistemis bernilai minimal 10 persen.

Selama tidak dapat dibuktikan bahwa Bank Century merupakan  market leader (atau minimum memiliki HI sebesar 10 persen) dalam penentuan tingkat suku bunga deposito dan tingkat suku bunga kredit, permasalahan terlalu besar tidak dapat dijadikan alasan bahwa Bank Century merupakan sumber dari risiko sistemis. Dari dimensi permasalahan terlalu terkoneksi ( too big too connected ) juga demikian, di mana Bank Century tidak dapat dikatakan sebagai sumber penyebab risiko sistemis. Mengapa? Hal ini perlu dibuktikan oleh Bank Indonesia dan pemerintah, sejauh mana  backward dan  forward linkage dari Bank Century. Tentunya, itu menggunakan data RTGS dalam perekonomian nasional. Jika HI dari transaksi berdasarkan RTGS masih di bawah 10 persen, tidak dapat dikatakan bahwa sebuah bank mampu menciptakan efek sistemis dari sisi permasalahan yang semakin terkoneksi.

Hal ini dapat dianalogikan dengan sebuah tombol dalam sistem sirkuit listrik. Jika tombol tidak ditekan, seluruh jaringan listrik tidak akan mendapatkan aliran listrik walaupun harga atau nilai tombol tersebut sangatlah murah dibandingkan biaya investasi keseluruhan sirkuit yang ada. Analogi lainnya adalah sistem pembuluh darah di otak yang tersumbat lemak berbeda dampaknya dengan sistem pembuluh darah tangan yang tersumbat. Kerusakan otak berdampak sistemis, sementara kerusakan tangan tidak berdampak sistemis.

Dalam konteks perbankan, dapat saja sebuah bank yang nilai asetnya relatif kecil dan tidak memiliki  market power akan mampu memengaruhi seluruh sistem jika bank tersebut merupakan bank pembayaran utama.

Sejauh mana Bank Century merupakan bagian dari sistem pembayaran utama? Sepanjang catatan penulis, tampaknya Bank Century juga bukan merupakan bagian dari bank pembayaran di pasar modal. Sehingga, menurut penulis, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Bank Century sebagai sumber potensi pemicu risiko sistemis dari sisi permasalahan terlalu terkoneksi tersebut. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa Bank Century ditinjau dari sudut penyebab risiko sistemis di Indonesia tidaklah masuk dalam kategori penyebab.

Pertanyaan selanjutnya, apakah risiko sistemis menyebabkan kolapsnya Bank Century? Berdasarkan penelitian investigasi Badan Pemeriksa Keuangan, justru Bank Century sudah bermasalah jauh hari sebelum krisis tahun 2008 terjadi. Misalnya, BPK menemukan bukti, “Dalam proses akuisisi serta merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko menjadi Bank Century, BI bersikap tidak tegas dan tidak  prudent dalam menerapkan aturan dan persyaratan yang ditetapkannya sendiri.”

Selanjutnya, BPK juga menemukan, “BI tidak bertindak tegas dalam pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Bank Century selama 2005 sampai 2008. Misalnya, BI tidak menempatkan Bank Century sebagai bank dalam pengawasan khusus meskipun CAR Bank Century telah negatif 132,5 persen. BI memberikan keringanan sanksi denda atas pelanggaran posisi devisa neto atau PDN sebesar 50 persen atau Rp 11 miliar dan BI tidak mengenakan sanksi pidana atas pelanggaran BMPK.” Jelas bahwa Bank Century sudah berpenyakit kronis semenjak kelahirannya. Sehingga, sangatlah bodoh jika alasan kolapsnya Bank Century merupakan akibat dari risiko sistemis, apalagi mengatakan bahwa kolapsnya Bank Century akan mengakibatkan risiko sistemis.

Dalam hal Fasilitas Penjaminan Jangka Pendek, juga terlihat bahwa Bank Indonesia gagal melakukan tindakan yang tepat. Misalnya, BPK menemukan, “BI patut diduga melakukan perubahan persyaratan CAR dalam PBI agar Bank Century bisa mendapatkan FPJP. Pada saat pemberian FPJP, CAR Bank Century negatif 3,53 persen. Hal ini melanggar ketentuan PBI Nomor 10/30/PBI/2008.”

Selanjutnya, BPK menemukan, “Selain itu, nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya sebesar 83 persen sehingga melanggar ketentuan PBI No 10/30/PBI/2008 yang menyatakan bahwa jaminan dalam bentuk aset kredit minimal 150 persen dari plafon FPJP.”

Jelas sekali, penemuan investigasi BPK membuktikan bahwa Bank Indonesia telah bertindak sembrono dan tidak profesional. Dapatlah dikatakan bahwa semenjak 2005, Bank Century yang masuk dalam pengelolaan LPS merupakan kesalahan Bank Indonesia. Gubernur dan deputi Bank Indonesia dalam periode tersebut wajib bertanggung jawab penuh!

Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) juga membuat banyak kecerobohan, seperti yang diungkapkan oleh BPK, “BI tidak memberikan informasi sepenuhnya, lengkap, dan mutakhir pada saat menyampaikan Bank Century sebagai bank gagal yang diduga berdampak sistemis kepada KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan). Informasi yang tidak utuh tersebut terkait PPAP atas SSB (surat-surat berharga), SSB valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan CAR dan meningkatkan biaya penanganan. BI baru menerapkan secara tegas ketentuan PPAP atas aktiva-aktiva produktif setelah Bank Century diserahkan penanganannya kepada LPS. Sehingga, terjadi peningkatan biaya penanganan Bank Century dari yang semula diperkirakan sebesar Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.”

BPK juga menemukan, “BI dan KSSK tidak memiliki kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemis Bank Century, tetapi penetapannya lebih pada  judgement . Proses pengambilan keputusan tersebut tidak dilakukan berdasarkan data kondisi bank yang lengkap dan mutakhir serta tidak berdasarkan kriteria yang terukur. KSSK menetapkan Bank Century sebagai bank gagal, berdampak sistemis, serta menetapkan penanganannya kepada LPS dengan mengacu pada Perpu No 4 Tahun 2008.”

Sekali lagi, penulis menekankan bahwa hasil investigasi BPK adalah BI dan KSSK tidak memiliki kriteria yang terukur dalam menetapkan dampak sistemis Bank Century, tetapi penetapannya lebih pada  judgement . Artinya,  judgement yang dapat dibenarkan sebagai penentu terjadinya risiko sistemis merupakan analisis tersendiri yang wajib untuk dieksplorasikan. Boleh saja ada pihak yang mengatakan bahwa hal ini juga dilakukan oleh OJK di Uni Eropa. Namun, pendukung pendapat ini tidak memahami kualifikasi data yang diperlukan oleh Uni Eropa, yaitu permasalahan terlalu besar ( too big too fail ) dan permasalahan terlalu terkoneksi ( too connected to fail ). Perlu dicatat bahwa kedua permasalahan tersebut harus ditetapkan secara kuantitatif.

OJK di Uni Eropa memiliki data tersebut secara lengkap. Bahkan, Inggris yang tidak merupakan bagian dari Uni Eropa juga menetapkan aturan data tersebut dengan tegas. Uni Eropa dan Inggris memiliki semua data itu sebelum mereka melakukan  bailout . Sehingga, dapat saja sebuah bank di- bailout tidak memenuhi unsur  too big too fail , tetapi memenuhi unsur  too connected to fail . Sistem perbankan di Amerika lebih jelas lagi karena tidak menganut sistem OJK, di mana bank kecil, seperti Bank Century, banyak yang dibiarkan bangkrut bersamaan dengan  bail yang dilakukan terhadap perusahaan yang termasuk dalam  too big too fail atau  too connected to fail . Perusahaan seperti AIA yang tidak masuk dalam kategori permasalahan terlalu besar tetap di- bailout karena masuk dalam kategori permasalahan terlalu terkoneksi.

Jelas sekali, berdasarkan penemuan BPK, alasan risiko sistemis dari  bailout Bank Century memang tidak melalui prosedur yang benar dan profesional. Risiko sistemis merupakan alasan yang sengaja digunakan untuk menutupi ketidakprofesionalan Bank Indonesia dan KSSK. Jika BI menggunakan  systemic assessment dengan menggunakan pendekatan Bank Sentral Uni Eropa, Bank Indonesia juga harus melampirkan kajian kuantitatif untuk menentukan nilai  low impact atau setidaknya kondisi pada pasar keuangan, institusi keuangan, sistem pembayaran, serta psikologi pasar. Sebab, di Uni Eropa, dengan jelas dikatakan bahwa penentuan kondisi tersebut menggunakan dukungan kajian kuantitatif. Itu kalau BI objektif dalam menentukan  systemic impact score .

Dalam menentukan  range of score , seperti  worst case dan  best case scenario , barulah Uni Eropa menggunakan dasar argumentasi kualitatif, seperti  most likely atau  very unlikely . Namun, sekali lagi, seharusnya, yang menentukan  systemic assesment adalah bukan Bank Indonesia karena Bank Indonesia mengalami konflik kepentingan. Mengingat BI adalah pengawas perbankan, sehingga merupakan  bad governance jika ia diharapkan sebagai pihak yang mengoreksi kesalahan dalam pengawasan perbankan (baca: kesalahannya sendiri). Kalaupun BI dapat membuktikan bahwa Bank Century semenjak tahun 2005 memiliki reputasi yang bagus, tetap saja Bank Century tidak merupakan bank yang masuk dalam kategori permasalahan terlalu besar atau terlalu terkoneksi. Artinya, ditinjau dari sudut mana pun, Bank Century bukanlah sumber ataupun potensi sumber dari risiko sistemis perbankan di Indonesia!

Heboh perubahan variabel makroekonomi bukanlah ukuran sistemis risiko. Karena, jika itu yang dijadikan ukuran, tidak diperlukan pengukuran  systemic assesment , seperti yang dilakukan Uni Eropa. Sehingga, upaya menggiring opini publik ke arah risiko sistemis palsu melalui dramatisasi kondisi makroekonomi hanya akan menyebabkan negara ini mengulangi kesalahan keledai yang terperosok dalam jurang yang sama untuk ketiga kalinya!

Menyamakan krisis kali ini dengan krisis tahun 1998 juga sangat keliru. Karena, pada tahun tesebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkoreksi hingga minus 13 persen, suku bunga  skyrocketting , dan nilai tukar rupiah melemah dari 2.300 per dolar menjadi 15.000 per dolar sehingga  debt to equity rasio menjadi jomplang akibatnya perusahaan bukan hanya mengalami krisis likuditas, tetapi juga  insolvent .

Krisis politik dan keamanan juga terjadi karena Suharto tidak memiliki perencanaan suksesi, sementara ia mulai sakit-sakitan. Kondisi itu berbeda sekali dengan kondisi saat ini. Kondisi kali ini dan kondisi tahun 1998 masih bagaikan bumi dan langit. Tidaklah masuk akal menggunakan data makroekonomi saat ini untuk mendukung argumen akan munculnya risiko sistemis seperti tahun 1998 jika Bank Century ditutup, apalagi dengan mengatakan bahwa penutupan bank oleh IMF beberapa tahun silam merupakan sumber risiko sistemis. Sumber risiko sistemis haruslah menggunakan rukun sistemis yang penulis sebutkan di atas, yaitu indeks HI dari  too big too fail dan indeks HI dari  too connected too fail yang minimal sebesar 10 persen. Tanpa itu, pem- bailout -an sebuah bank (apalagi banyak bank) hanya merupakan kebijakan yang mungkin memiliki motif-motif  rent seeker . (Republika online, 28/12/2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*