KEGAGAPAN. Itulah kata yang bisa mewakili cara kita menghadapi implementasi perdagangan bebas ASEAN-China atau ASEAN-China Free Trade Agreement (FTA) yang mulai berlaku 1 Januari 2010.
Gagap karena banyak yang cemas bahwa perdagangan bebas itu akan kian menyuburkan masuknya barang murah dari China. Kenyataan yang amat pahit karena barang produksi dalam negeri akan tergusur dan industri kita pun bakal hancur.
Sebelum era perdagangan bebas ASEAN-China diberlakukan pun, kita sudah tak berdaya menghadapi gempuran barang impor ilegal dari China. Neraca perdagangan Indonesia dengan China juga berapor merah dalam lima tahun terakhir. Impor dari China lebih besar daripada ekspor kita ke ‘Negeri Tirai Bambu’ itu.
Pada 2005, selisih antara impor dan ekspor ke China masih sebesar US$0,59 miliar. Namun, pada 2008, selisihnya membengkak karena impor kita dari China lebih besar US$7,16 miliar ketimbang ekspor. Kegagapan menjadi kian lengkap setelah pemerintah pun belum memiliki strategi besar menyongsong perdagangan bebas dengan China itu. Padahal, FTA ASEAN-China sudah disepakati sejak 2001.
Itu berarti dalam kurun delapan tahun nyaris tidak banyak yang diperbuat pemerintah untuk mempersiapkan benteng bagi produk domestik. Akibatnya, perdagangan bebas dengan China seolah-olah datang secara tiba-tiba. Banyak instrumen teknis yang kedodoran dalam menghadapi serbuan produk China. Bakal makin kedodoran lagi setelah instrumen tarif yang sebelumnya masih bisa mendampingi instrumen teknis untuk membendung produk China akan tidak ada lagi atau 0%.
Sudah begitu, daya saing industri kita juga amat lemah akibat absennya strategi. Kalangan usaha dalam negeri selama ini berhadapan dengan banyak ketidakpastian, tingginya suku bunga kredit, mahalnya listrik, hingga mengguritanya upeti dari birokrasi. Negeri ini punya gas dan batu bara yang melimpah sebagai penggerak industri, tetapi sebagian besar gas dan batu bara itu diekspor. Pengusaha batu bara pun sekadar berburu keuntungan melimpah, tapi kemudian alpa membayar royalti dan pajak.
Mari kita bandingkan dengan cara China menggerakkan industri dalam negeri mereka. Pemerintah China memberikan listrik yang murah, yang dibiayai dari batu bara impor. Bukan karena China tidak memiliki batu bara, melainkan mereka sengaja menyimpannya untuk kemandirian energi dalam jangka panjang.
Pemerintah China juga membentengi negerinya dengan sejumlah instrumen teknis yang berfungsi menahan laju kencang masuknya barang-barang dari luar ke negeri mereka. Standardisasi barang impor amat ketat sehingga tidak sembarang produk bisa melenggang bebas.
Sebaliknya, di Indonesia, standardisasi barang yang masuk kelewat longgar. Akibatnya, barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan bisa masuk tanpa kesulitan yang berarti. Tetapi, mengutuki terus-menerus perdagangan bebas dengan China bukanlah langkah yang bijak. Walau terlambat, tidak usah ragu-ragu untuk menyusun strategi dagang dengan dua cara, yakni defensif dan ofensif.
Cara defensif dilakukan dengan membuat standar yang makin ketat bagi masuknya produk China. Cara ofensif dilakukan dengan melindungi industri dalam negeri melalui sejumlah insentif dan menghilangkan aturan-aturan yang menghambat industri. Sesungguhnya tidak perlu khawatir terhadap FTA kalau tercipta fanatisme produksi dalam negeri. Tetapi, kita tidak pernah sukses mencintai produksi sendiri. (mediaindonesia.com, 4/1/2010)
perdagangan bebas akan mengakibatkan barang kita akan terasingkan di negri sendiri