Eropa – Dalam beberapa kali, Eropa secara umum dilihat sebagai sebuah benua yang sukses dalam hal multi budaya, masyarakat dan agama. Tetapi apakah hal ini benar-benar terjadi pada tahun 2009? Bagi ratusan ribu Muslim yang tinggal di Eropa, tahun 2009 bukanlah tahun yang baik. Dari mulai pelarangan menara mesjid di Swiss hingga adanya kemungkinan pelarangan burkha di Perancis, umat Islam mengeluh bahwa adat dan tradisi mereka menjadi sering dipertanyakan oleh partai-partai politik ekstrem kanan, yang pada tahun 2009 menjadi terkenal di seluruh benua Eropa. Tapi apa dampak dari apa yang disebut sentimen anti-Islam itu bagi kaum Muslim yang tinggal di Eropa? Dan apakah kaum Muslim seharusnya bertanggung jawab untuk hal itu atau hanya menjadi korban dari sikap itu?
Januari: Geert Wilders dicap sebagai ‘rasis’
Pada awal tahun 2009 pada bulan Januari, seorang anggota partai ekstrem kanan yang merupakan anggota parlemen Belanda, Geert Wilders, didakwa oleh Pengadilan Amsterdam menghasut rasisme dengan film pendeknya, Fitna.
Film yang berdusarasi 14 menit itu, yang ternyata telah menjadikan Wilders yang controversial itu menjadi tokoh yang dikenal secara internasional, terkait dengan kekerasan Quran terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dan mendesak umat Islam untuk “merobek” apa yang dia sebut sebagai ayat-ayat kekerasan dari Quran.
Februari: Geert Wilders ditolak masuk ke Inggris
Satu bulan kemudian pada bulan Februari dua anggota parlemen Inggris mengundang Wilders untuk memutar filmnya di Westminster, tapi dua hari sebelum pertunjukkan itu, Mendagri Inggris Jacqui Smith melarangnya memasuki Inggris.
Wilders tetap saja menentang larangan itu dan masuk melalui Bandara Heathrow London. Ia kemudian dengan cepat ditahan oleh petugas Patroli Perbatasan dan dikirim kembali ke Belanda.
Keputusan untuk melarang Wilders memasuki Inggris itu kemudian berubah seratus delapan puluh derajat pada bulan Oktober ketika para analis mengatakan bahwa filmnya, dan reaksinya itu bisa diterima, sesuatu yang telah menunjukkan perubahan sikap terhadap Islam di Eropa.
Mei: Kerusuhan imigran Muslim di Athena
Pada bulan Mei, jalan-jalan di ibukota Yunani Athena,menjadi lokasi kerusuhan dari para pendemo yang marah.
Puluhan mobil hancur dan 14 orang dirawat di rumah sakit karena luka setelah terjadi protes oleh imigran Muslim, yang marah karena adanya penodaan Quran oleh polisi Yunani. Diduga bahwa ada seorang polisi Yunani yang merobek-robek Al-Quran ketika dia memeriksa surat-surat identitas seorang imigran Irak di Athena.
Pada saat itu media Yunani melaporkan pemrotes itu sebagai para perusuh, padahal mereka mengatakan bahwa mereka hanya memprotes diakhirinya rasisme dan terjadinya penganiayaan terhadap kepercayaan mereka.
“Bagi kami umat Islam hal ini adalah yang terburuk. Anda bisa bunuh keluarga saya, tapi bagi kami hal ini adalah keyakinan kami. Kami (muslim) telah ada di Yunani selama 22 tahun dan orang-orang Yunani juga tinggal di Mesir dan hal seperti ini belum pernah terjadi.” Kata Mohsen Khalil, seorang muslim pengunjuk rasa yang tinggal di ibukota Yunani, Athena.
Juni: Kelompok-kelompok Ekstrem kanan mendapatkan keuntungan di seluruh Eropa
Pada Pemilihan Eropa di awal Juni, banyak partai ekstrem kanan yang mendapat perolehan suara di seluruh Eropa.
Catatan rendahnya jumlah suara pemilih – berbarengan dengan apa yang dikatakan para analis sebagai hukuman publik atas cara pemerintah dalam menangani krisis ekonomi – malah membuat banyak pemilih mengalihkan pilihan mereka kepada partai-partai ekstrem kanan.
Tapi partai-partai politik itulah juga yang mendorong anti-imigrasi dan kebijakan euro-sentris yang telah mengancam kebiasaan-kebiasaan dari banyak kaum Muslim Eropa.
Graham Watson, pemimpin Kelompok Liberal di Parlemen Eropa, membantah kekhawatiran bahwa kelompok ekstrem kanan akan memiliki pengaruh besar di parlemen Eropa, namun mengatakan bahwa disayangkan bahwa para pemilih mengalihkan kesetiaan mereka.
“Kita semua telah mengambil pelajaran dari depresi ekonomi tahun 1930an. Kita semua punya kewajiban untuk mencegah hal semacam itu terjadi lagi. Saya tidak percaya bahwa kelompok ekstrem kanan akan memiliki pengaruh besar dalam kebijakan parlemen ini. Tapi saya menyesali kenyataan bahwa hal ini adalah akibat dari depresi ekonomi – dan mungkin karena kegagalan para imigran itu untuk berintegrasi ke dalam masyarakat kita dalam cara yang seharusnya – sehingga telah menyebabkan kenaikan dalam hal representasi bagi partai-partai yang mempropagandakan kebencian dan xenophobia (kebencian atas orang asing). ” ujar Watson.
Di Belanda, partainya Geert Wilders memenangkan lebih dari 15 persen suara di Negara itu. Sementara di Austria, pemenangnya adalah Partai Kebebasan (Freedom Party), yang berkampanye pada platform anti-Islam, sehingga berhasil menggandakan suara sejak pemilu 2004 menjadi 13 persen.
Partai ekstrem kanan Hungaria, partai Jobbik, yang menggambarkan dirinya sebagai partai anti-imigran dan telah meminta polisi untuk menindak orang-orang Gipsi, memenangkan tiga kursi dari 22 tempat di negara itu pada pemilihan parlemen Eropa, hanya selisih satu suara dari partai Sosialis yang berkuasa .
Hasil yang sama juga menunjukkan Nick Griffin, pemimpin partai ektrem kanan Inggris, Partai Nasional Inggris (BNP), telah memenangkan kursi kedua bagi partai itu di parlemen.
Tapi di sini di Inggris berita tentang kemenangan BNP tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat
Pemimpin partai itu diberi kesempatan berbicara pada sebuah acara talk show politik BBC pada bulan Oktober tetapi disambut oleh para demonstran, yang mengatakan Griffin seharusnya tidak diberi kesempatan atas apa yang disebut sebagai ‘panggung politik’. Banyak dari para pemrotes juga mengatakan bahwa mereka khawatir akan terjadi kenaikan serangan Islamofobia di seluruh Inggris.
Juli: Marwa El Sherbiny – tanda akan datangnya sesuatu?
Kekerasan anti-Muslim tampaknya terus meningkat, dengan laporan media nasional yang menyebutkan serentetan serangan pembakaran atas masjid-masjid di Inggris, pembakaran sebuah toko amal Islam dan tuduhan bahwa sebagian Muslim Inggris bahkan mendapat surat ancaman dari para aktivis ekstrem kanan.
Tapi mungkin insiden yang paling serius terjadi pada bulan Juli, ketika terungkap bahwa sejumlah orang dituduh terlibat dalam jaringan tersangka ekstremis kanan yang memiliki akses hingga 300 senjata dan 80 bom, yang ditemukan oleh detektif anti-terorisme.
Sekitar waktu yang sama Presiden Perancis Nicholas Sarkozy membuat marah banyak umat Islam di seluruh Eropa ketika mengatakan bahwa burkha tidak diterima di Perancis dan bahwa hal itu adalah cermin penindasan.
“Burqa tidak akan dapat diterima di wilayah Republik Perancis. Kami tidak bisa menerima bahwa di negara kami, sebagian perempuan menjadi terpenjarakan di balik jeruji besi, terpisah dari segala kehidupan sosial, dan kehilangan identitas. Hal itu bukanlah prinsip yang dimiliki oleh Republik Perancis mengenai martabat perempuan. “kata Sarkozy.
Pernyataan itu secara telah membuat marah banyak umat Islam yang mengatakan bahwa komentar itu hanya akan membuat stigma atas Islam.
Souhail Boughdiri, seorang guru matematika yang tinggal di Marseille, Perancis, mengatakan bahwa komentar yang dibuat oleh Sarkozy itu telah merugikan cara hidup kaum Muslim Eropa.
“Saya dulunya adalah seorang profesor di sebuah sekolah menengah umum. Dua orang gadis muda di kelas saya yang memakai burka diusir. Saya mencoba segalanya untuk membuat mereka tetap bertahan di sekolah tetapi sekolah memutuskan untuk mengusir mereka juga. Saat ini, kedua gadis muda itu masih tidak bisa pergi ke sekolah. ” jelas Boughdiri.
Hingga saat ini, memang benar untuk mengatakan bahwa serangan Anti-Islam terus meningkat, tetapi insiden yang terjadi pada bulan Juli lah yang mendapat kecaman internasional yang luas
Marwa El Sherbiny, yang dijuluki sebagai syuhada jilbab, ditusuk 18 kali hingga tewas ketika terjadi dengar pendapat di pengadilan di kota Dresden Jerman oleh seorang pria yang dia bersaksi atasnya karena pelecehan verbal Islamofobia yang dilakukan pria itu.
El Sherbini, yang pada saat itu sedang hamil tua, sejak saat itu telah menjadi simbol terjadinya penganiayaan bagi semakin banyak umat Islam, yang kasusnya menyebabkan demonstrasi di jalan-jalan seluruh dunia sebagai protes atas pertumbuhan Islamofobia di Barat.
Ratusan pengunjuk rasa berkumpul di Dresden pada saat kematian Sherbiny untuk mengekspresikan kemarahan mereka. Yahya Farouk, seorang warga negara Kanada yang pergi ke Jerman untuk menghadiri demonstrasi tersebut, mengatakan bahwa rasisme masih menjadi masalah bagi negara.
“Jerman adalah negara yang seharusnya bangga atas fakta bahwa negara itu memiliki budaya terpadu dan bahwa rasisme tidak ada lagi. Penduduk Jerman beranggapan bahwa setelah apa yang terjadi di masa lalu tidak akan ada lagi rasisme. Tetapi jika Anda melihat apa yang terjadi dua minggu yang lalu itu anda akan melihat bahwa rasisme masih merupakan isu yang sangat mencolok di Jerman dan hal ini tidak diberi perhatian yang cukup. ” kata Farouk.
November: Kontroversi Menara Mesjid di Swiss
Pada bulan November, pemerintah Swiss meloloskan undang-undang larangan menara Masjid, dalam dalam sesuatu yang banyak dikecam sebagai serangan terhadap budaya Islam baik oleh kaum Muslim maupun non-Muslim.
Partai sayap kanan Partai Rakyat Swiss (People’s Party) telah memaksakan diadakannya referendum mengenai masalah itu setelah berhasil mengumpulkan 100.000 tanda tangan dalam waktu 18 bulan. Hal ini kemudian diikuti kampanye yang kasar oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan, yang menggunakan poster-poster yang dianggap “rasis” oleh kelompok-kelompok HAM, untuk mendorong rakyat Swiss memberikan suara untuk membuat larangan itu.
Bahkan Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut kampanye melawan menara itu sebagai “diskriminatif” dan mengatakan bahwa Swiss akan melanggar hukum internasional jika larangan itu dilaksanakan.
Swiss, seperti banyak negara-negara Eropa lain yang telah mengambil langkah-langkah serupa yang dilihat sebagai anti-Islam, telah lama dianggap sebagai Negara yang cukup moderat. Tapi para pengamat mengatakan sekarang ada kekhawatiran tentang apa yang dilihat sebagai penyebaran ‘Islam radikal’ di Eropa dan banyak kelompok-kelompok sayap kanan anti-imigrasi, yang suka menakut-nakuti hal itu.
Hasilnya adalah bahwa komunitas Muslim di Eropa kini malah khawatir bahwa alih-alih memadamkan radikalisme Islam, munculnya kebijakan vokal yang membuat komunitas Muslim dan imigrasi sebagai sasaran ini mungkin malah akan membuat perasaan anti-Islam di seluruh benua Eropa sebagai sesuatu yang normal. (paltelegraph, 06/1/2010)