KOTA GAZA- Hamas siap untuk berdialog dengan masyarakat internasional, termasuk AS dan Uni Eropa, pemimpin gerakan Islam Palestina Ismail Haniya mengatakan pada AFP. “Hamas siap untuk dialog dengan dunia, masyarakat internasional, AS, kwartet (Timur Tengah) dan Eropa,” ujar Haniya Rabu.
Gerakan Islam itu, yang berkuasa di Jalur Gaza sejak Juni 2007 setelah sepekan pertempuran jalanan hebat dengan para pendukung setia Fatah, tetap dijauhi masyarakat internasional. Hamas dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS dan Uni Eropa, yang menolak untuk mengadakan pembicaraan resmi dengan kelompok itu.
Salah satu rintangan penting untuk memulai pembicaraan adalah penolakan gerakan Islam itu untuk mengakui hak Israel untuk hidup, sikap yang dituliskan dalam piagam pendirian Hamas. Masyarakat internasional meminta pengakuan eksplisit. “Mereka harus mengakui kami pertama-tama, hak rakyat Palestina, kami adalah korban,” kata pemimpin berusia 48 tahun itu, yang hanya mengulangi bahwa Hamas mendukung “pembentukan negara Palestina dengan perbatasan 1967”.
Palestina menginginkan negara masa depan mereka berdasar pada perbatasan sebelum perang Arab-Israel Juni 1967, dengan ibukotanya di Jerusalem timur, yang predominan Arab dan dicaplok oleh Israel dalam perang itu. Perdana menteri Hamas itu menyatakan gerakannya telah “lebih mendekati dari segi politik” pada syarat-syarat yang dikeluarkan oleh kwartet — untuk memulai pembicaraan, termasuk “gencatan senjata jangka panjang”.
Hamas telah menghentikan serangan roket terhadap negara Yahudi itu sejak berakhirnya serangan Israel yang menghancurkan terhadap daerah kantung Palestina itu satu tahun lalu. Haniya menegaskan ia telah memutuskan untuk “membuka rekonsiliasi Palestina dan mengadakan pemilihan yang adil … di semua wilayah Palestina, termasuk Jerusalem”.
Mengenai “rekonsiliasi, itu sedang bergerak. Perlu dorongan kuat untuk mencapai tandatangan” dengan Fatah, gerakan saingan yang dipimpin oleh presiden Palestina Mahmud Abbas. Seorang pejabat senior Fatah, Nabil Shaath, telah melakukan kunjungan yang jarang terjadi ke Jalur Gaza yang diperintah Hamas Rabu dalam upaya untuk mendorong upaya rekonsiliasi yang macet.
Shaath, anggota komite sentral Fatah yang sekuler, telah bertemu dengan Khalil al-Hayya, pejabat senior Hamas.
“Kami adalah satu rakyat, kami memiliki satu tanah air. Setiap orang Palestina memiliki hak untuk masuk ke tanahnya sendiri kapan saja,” kata Haniya. “Jika ia (Shaath) minta pertemuan, kami tidak akan melakukan apa-apa untuk mencegahnya.”
Setelah pembicaraan yang ditengahi oleh Mesir, Hamas menolak untuk menandatangani perjanjian persatuan yang diusulkan oleh Kairo Oktober kecuali dokumen itu diubah untuk mencerminkan hal yang kelompok itu katakan sebagai pengertian sebelumnya yang dicapai dengan Fatah. Mesir dan Fatah menegaskan perjanjian itu sudah final.
Selain itu, hubungan antara Hamas dan Mesir memburuk belakangan ini setelah konfrontasi bersenjata di perlintasan perbatasan Rafah yang menewaskan satu warga Mesir dan melukai beberapa warga Palestina. “Apa yang terjadi di Rafah tidak mempengaruhi hubungan strategis antara Mesir dan Hamas,” kata Haniya, yang menambahkan “peran Mesir akan terus dan kami menyambut baik semua upaya Arab untuk rekonsiliasi, dan Mesir harus berada di sana.”
“Bukan rahasia bahwa AS dan Israel tidak menginginkan rekonsiliasi tapi kami berkomitmen untuk mencapainya.” (republika.co.id, 4/2/2010)