Muslimah Hizbut Tahrir Serukan Selamatkan Generasi dengan Syari’ah
HTI Press. Kualitas anak sangat berpengaruh pada kualaitas bangsa. Dan pilihan terhadap kualitas sebuah bangsa adalah keputusan politik vital, yang akan menentukan martabat negara.
Tidak dapat di pungkiri bahwa Krisis perekonomian nasional mulai 1997, menggenjot jumlah anak jalanan hingga sekitar 400 % . Menurut BPS, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun dari tahun ke tahun terus meningkat. Dari 1,64 juta anak pada tahun 1997 menjadi 1.726.640 anak ( 1998), menjadi 1.809.935 anak (1999), dan menjadi 2,3 juta anak (2000). Bahkan Organisasi buruh internasional memperkirakan di Indonesia pada tahun 2005 terdapat 4.201.452 anak di bawah 18 tahun terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta di antaranya anak perempuan. Tak hanya itu, anak-anak juga sangat rentan depresi Simaklah trend bunuh diri di kalangan anak. Tanpa pandang derajat sosial-ekonomi keluarganya. Sepanjang 2007, Komnas PA telah menangani 12 kasus anak bunuh diri. Tahun berikutnya meningkat menjadi 19 kasus. Sedang tahu 2009, ada 9 kasus serupa.
Sebagai wujud kepedulian terhadap permasalahan bangsa Muslimah HTI-DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Kalteng mengadakan Forum sharing perempuan yang mengangkat tema faktual seputar keluarga, generasi dan bangsa. Forum Kita (FORKITA) edisi 4 kali ini mengangkat tema : “Menyelamatkan Generasi yang Tersakiti”. Kegiatan yang dilaksanakan Sabtu 6 Pebruari 2010 pukul 13.30-16.00 wib di Aula Kantor Kecamatan Pahandut Palangka Raya. Adapun Narasumber yang hadir Ibu Hj. Daris Susilawati,MM (Sekretaris BKOW Kalteng), Ibu Romiaty,S.Psi.Psikolog (Psikolog dan pengelola Home schooling Group) dan Ustadzah Mariatul Kiptiah,S.Pd (Muslimah HTI Kalteng).
“Indonesia sudah memiliki seperangkat kebijakan negara maupun hukum yang menjamin hak anak seperti UU No 23/2002, namun pada pelaksanaannya masih belum maksimal. Baik dari sisi pemahaman masyarakatnya maupun upaya sosialisasi program pemerintah itu sendiri. Sehingga penanggulangan anak-anak terlantar masih menjadi gejala sosial yang kita temukan di masyarakat. Kondisi pemahaman orang tua yang tidak paham hak anak juga turut mempengaruhi partisipasi meningkatnya jumlah anak yang menjadi pekerja, anak jalanan bahkan terlantar. Ditambah lagi itulah aturan buatan manusia yang mungkin saja dalam seperangkat aturan-aturan itu terdapat kurang dan lebihnya” papar ibu Hj. Daris Susilawati.
Sedangkan ibu Romiaty selaku psikolog menyoroti bahwa “Kompleksitas permasalahan anak tidak bisa juga dilepaskan dari kompleksitas permasalahan sebuah negara. Pertumbuhan kepribadian anak sangatlah dipengaruhi kondisi orang tua dan tentunya lingkungan. Beratnya tekanan kehidupan misalnya kemiskinan, tidak jarang membuat para orang tua yang lelah bekerja membawa pulang stress nya dan melampiaskan pada anak. Sehingga anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis secara tidak langsung dari imbas permasalahan sistemik yang melanda negara. Sehingga memang penuntasan masalah anak harus mencakup orang tua,lingkungan dan tentunya kondisi bangsa“.
Kemudian dilanjutkan oleh Ustadzah Mariatu Kiptiah, ” Anak adalah amanah dari Allah SWT yang wajib di jaga dengan sebaik-baiknya oleh orang tua. Islam pun menurunkan seperangkat aturan yang menjamin terpeliharanya hak-hak anak dari dalam kandungan sampai masa pengasuhan orang tunya. Jika saat ini ditemukan banyaknya kasus pelanggaran terhadap hak anak, maka mestinya kepada orang tua diberikan edukasi bagaimana islam memberikan konsep pengasuhan anak. Namun ketika lingkungan tempat anak itu tumbuh juga masih belum kondusif bagi pembentukan kepribadian anak, maka aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar menjadi kewajiban setiap elemen masyarakat untuk mejaga terjaganya aturan Allah dalam kehidupan bermasyarakat. Dan sudah semestinya menjadi kewajiban penguasa sebagai perisai untuk memberikan perlindungan bagi umatnya agar mendapatkan penghidupan yang layak, keamanan, ketenteraman, termasuk terpeliharanya hak-hak anak. Tentunya dalam kondisi liberalisasi yang di adopsi dalam kehidupan kini itu tidak akan bisa terwujud. Sehingga perubahan secara sistem harus dilakukan dan menggantinya dengan aturan Allah SWT. Dan tentunya Hizbut Tahrir berharap untuk bersinergi dengan berbagai kalangan masyarakat untuk bersama menyelamatkan generasi dan mewujudkan Indonesia lebih baik”.
FORKITA edisi 4 kali ini juga dihadiri tokoh ormas, praktisi pendidikan, mahasiswa, dan pelajar. Peserta tampak antusias, pada sesi pertanyaan ada yang menanyakan efektifitas seperangkat hukum perlindungan anak yang telah diterapkan namun tidak juga memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran hak anak, bahkan ada juga yang meminta konsep pembinaan remaja dan ibu-ibu dari hizbut tahrir, serta menawarkan kerjasama untuk melakukan pembinaan bersama di sekolah dan komunitas kajian ibu-ibu di perkantoran. Acara yang di pandu oleh Ustadzah Nelly Situmorang,S.Pd berakhir pada pukul 16.00 dan di tutup dengan do’a oleh ustzadah Ummu Hanin.
ass.wr.wb
setelah saya membaca tulisan ini saya merasa bersalah pd anak saya yg besar dng pembantu. saya seorang perawat disebuah rumah sakit swasta di jakarta.selain jam kerja yang telah ditentukan 7 jam saya harus simatupang alias siang malam tunggu panggilan memang tdk tiap hari tapi ckup menyita waktu saya. pada saat ini saya butuh saran dari teman2 semua. wassalam wr, wb.
allahu akbar