YOGYAKARTA— Agama Islam sangat menghormati perbedaan. Akan tetapi, hendaknya umat Muslim juga jangan dibuat risau serta resah karena adanya perbedaan, yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang telah ditetapkan.
Sejumlah elemen masyarakat di Yogyakarta menyampaikan aspirasi tersebut ketika berunjuk rasa di Kanwil Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yogyakarta, dan DPRD Yogyakarta, Senin (8/2).
Para pengunjuk rasa berasal dari Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK), Forum Silaturahmi Remaja Masjid (FSRMY), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) dan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) Yogyakarta. Mereka menolak pencabutan UU No 1/PNPS/1965 jo UU No 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ketua FSLDK Yogyakarta, Tri Alamsyah, mengatakan, penyalahgunaan kepercayaan dan ibadah yang menyerupai agama merupakan penodaan terhadap agama. ‘’Karena itu, undang-undang tentang penodaan agama ini merupakan hal yang mutlak dibutuhkan,’’ kata dia dalam orasinya.
Terkait kehidupan beragama, jelas Tri, umat Islam sangatlah menghargai perbedaan. ‘’Perbedaan itu pasti, namun yang benar juga pasti. Menghormati perbedaan memang dianjurkan, tapi setiap penyimpangan harus dicegah dan diluruskan,’’ kata dia menegaskan.
Undang-undang yang mengatur pencegahan penyalahgunaan dan/-atau penodaan agama juga diperlukan untuk melindungi enam agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, serta Konghucu. Sehingga, menurut salah seorang koordinator aksi, Saidul Hudri, penghapusan undangundang itu dikhawatirkan dapat menyuburkan penyimpangan agama dan aliran sesat, serta dapat memicu konflik sosial.
Karena itu, mereka mengimbau kepada hakim dan pihak yang meminta judicial review terhadap undangundang itu, untuk tidak meragukan kebenaran ajaran agama.
Sementara itu, Sekum MUI DIY, Akhmad Muhsin, mengatakan, sejak 2005 sudah ada 10 kriteria aliran sesat yang telah dikukuhkan sebagai pedoman untuk penegakan agama, khususnya agama Islam, di Indonesia. Antara lain, menentang rukun Iman, rukun Islam, dan tidak mempercayai Muhammad sebagai Nabi yang terakhir.
Beberapa tahun lalu di DIY sempat muncul aliran Al Qiyadah Al Islamiyah yang kemudian dibubarkan setelah dikeluarkan fatwa MUI yang melarang itu. ‘’Karena itu, kita mendukung sepenuhnya usaha untuk mempertahankan UU ini,’’ katanya menandaskan. (republika, 9/2/2010)