‘Jangan Gunakan Logika Terbalik’

Undang-undang menjadi payung hukum mencegah penodaan agama.

JAKARTA- Pihak yang paling dirugikan jika dilakukan pencabutan terhadap undang-undang tentang penodaan agama adalah umat beragama minoritas. Hal ini disampaikan KH Hasyim Muzadi dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

”Jangan menggunakan logika terbalik. Seakan-akan kalau tidak ada undang-undang ini maka semua akan beres. Ini justru salah besar, yang paling rugi jika undang-undang ini dicabut justru minoritas,” kata Kiai Hasyim yang menjadi salah satu ahli dari pemerintah dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (10/2).

Kiai Hasyim mengatakan, jika tak ada aturan, yang berbahaya justru nanti masyarakat yang akan membuat aturan sendiri. Tentu hal ini tak dikehendaki semua pihak. Jika undang-undang ini dicabut, tak bisa menyurutkan reaksi kelompok atau agama yang dinodai. ”Undang-undang ini bukan tentang kebebasan agama, melainkan penodaan agama,” katanya.

Undang-undang tersebut, jelas Kiai Hasyim, masih diperlukan keberadaannya. Ia menambahkan, masalah teologi dan ritual adalah hak orisinal agama masing-masing yang tak boleh dicampuri dari luar. Sehingga, doa bersama lintas agama bukanlah tukar-menukar teologi atau keimanan, melainkan sekadar tempat dan waktu yang bersamaan.

Sedangkan pluralisme sosiologis, merupakan kebersamaan umat beragama dalam komunitas keduniaan sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, menurut Kiai Hasyim, setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme. Di situlah, umat lintas agama bertemu.

Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Uung Sendana, mengatakan, jika kebebasan beragama tanpa batas, akan menimbulkan konflik. Kebebasan beragama, ujar dia, harusnya diartikan sebagai kebebasan tidak tak terbatas. Jika undang-undang ini dicabut, justru tak ada lagi perlindungan apabila ada penodaan agama.

”Justru kami khawatir, agama-agama kecil yang nanti menjadi korban penistaan dan penodaan agama jika undang-undang ini dicabut. Keberadaan undang-undang yang mengatur penodaan agama justru merupakan payung hukum, yang melindungi agama-agama dari penodaan dan penistaan,” kata Uung.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berpendapat bahwa argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh para pemohon, tidak dapat diterima seluruhnya. Soleh Amin, wakil PBNU yang membacakan pernyataan sebagai pihak terkait dalam sidang di MK, menyatakan, menghadap-hadapkan UU No 1/PNPS/1965 dengan UUD 1945 sama sekali tak relevan.

Sedangkan Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Romo Benny Susetyo, mengatakan, negara tidak boleh mengintervensi keyakinan agama. Ia juga menegaskan negara tak boleh membatasi agama dan keyakinan apa pun. Sebab, agama merupakan persoalan masing-masing individu.

Di sisi lain, Benny menyatakan pula sejumlah pasal dalam undang-undang yang mengatur penodaan agama, merupakan bentuk diskriminasi yang tak sesuai dengan kebebasan beragama yang terdapat dalam UUD 1945. ”Undang-undang itu tak sesuai dengan kebebasan beragama, dan cenderung dipakai sebagai alat mengkriminalisasi aliran menyimpang.”

Menyesal
Budayawan Arswendo Atmowiloto mengaku menyesal pernah melakukan perbuatan yang dinilai melukai umat Islam, dengan membuat survei kontroversial di Tabloid Monitor yang dipimpinnya di masa lalu. ”Saya menyesal karena saat itu membuat Islam terluka,” katanya dalam sidang uji materi UU No 1/PNPS/1965, seperti dikutip  Antara .

Arswendo mengemukakan hal itu ketika ditanya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, sebagai pihak terkait dalam uji materi undang-undang tersebut, apakah terdapat rasa penyesalan atas survei yang dilakukannya itu. Arswendo dihadirkan oleh pihak pemohon uji materi, yang pernah dijerat dengan pasal tentang penodaan agama.

Hasil survei yang diumumkan di  Tabloid Monitor pada 15 Oktober 1990, tentang siapa tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia. Hasil survei menunjukkan Presiden Soeharto di urutan pertama dan Nabi Muhammad di urutan ke-11. Arswendo mengakui, metodologi yang dipakainya kurang kuat.

Menurut Arswendo, untuk saat ini, ia hanya ingin agar setidaknya terdapat penjelasan tentang perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penodaan agama. Agar, kata dia, hal yang menimpanya tak terulang di masa mendatang. (republika, 11/2/2010)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*