Tampaknya pemerintah AS gagal mencapai terobosan ke dalam file Timur Tengah karena kelemahan politik yang menimpanya. Untuk itu, pemerintah AS menempuh jalan perundingan rahasia, atau yang disebut dengan otoritas-bohongan dan tipuan-untuk bekerja cepat dalam rangka menciptakan suasana yang dapat meyakinkan Yahudi untuk kembali ke meja perundingan sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan tanpa syarat apapun.
Surat kabar berbahasa Ibrani, “Ma’rif” mengungkapkan tentang perundingan rahasia yang berlangsung di bawah pengawasan Amerika sejak dua tahun yang lalu antara Palestina dan “Israel”, di mana mereka telah melakukan perundingan akhir tentang perbatasan negara Palestina sebelum mereka mencapai kesepakatan apapun terkait Al-Quds (Yerusalem) dan masalah pengungsi.
Surat kabar itu menjelaskan bahwa perundingan ini telah dimulai sebagai upaya pemerintah AS untuk memecahkan kebuntuan dalam perundingan antara kedua belah pihak, dan untuk mencapai saling pengertian antara kedua belah pihak guna mempercepat solusi akhir yang didasarkan pada rencana Amerika yang dikenal dengan solusi dua negara.
Surat kabar menambahkan bahwa perundingan yang berlangsung di Rice University di Texas, Amerika, di mana universitas telah mengundang para mantan menteri dari kedua belah pihak, dan juga para anggota organisasi dan partai-partai yang melakukan aktivis untuk “perdamaian”, serta beberapa yang telah berpartisipasi dalam perundingan sebelumnya dari kedua belah pihak, termasuk juga pihak independen.
Surat kabar mengatakan bahwa pengacara Gilad Sar, yang telah menjabat sebagai Direktur Kantor Sekretaris Angkatan Darat “Israel”, mantan Perdana Menteri “Israel”, Ehud Olmert, keduanya memimpin tim “Israel”. Sementara yang memimpin tim Palestina adalah mantan menteri dan komandan dalam gerakan Fatah, Samih al-Abid. Sedang dari pihak Amerika, Peter Edward Djerejian, yang menjabat sebagai Duta Besar AS untuk Suriah, dan juga “Israel”.
Menurut surat kabar itu bahwa perundingan yang berlangsung sejak dua tahun lalu itu hanya membahas masalah perbatasan, dan belum menyentuh masalah Al-Quds (Yerusalem) dan pengungsi. Ditambahkan bahwa perundingan telah mencapai kesepakatan yang serupa dengan perbatasan 4 Juni 1967, dimana dilakukan pertukaran tanah untuk pengelompokan pemukiman utama, yang dimasukkan ke dalam wilayah “Israel”. (kantor berita HT, 8/2/2010)