Sore yang dingin tak mampu membekukan aktivitas di sebuah rumah di Loudon County, Washington, AS. Terlihat ada anak yang menggunakan penjepitnya, untuk mengekstrak tulang binatang pengerat dari palet mereka. Ada pula, seorang anak laki-laki yang menyusun legonya.
Pada dinding, terlihat beragam plakat tulisan yang menghangatkan sore yang dingin itu. ‘Saya berpuasa saat Ramadhan’, ‘Saya membayar zakat’, dan ‘Saya akan menunaikan haji’. Itu adalah rumah seorang mualaf, Priscilla Martinez yang juga menjadi sekolah bagi anak-anaknya.
Martinez menerapkan home schooling bagi anak-anaknya. Di sekolah yang mengusung kredo ‘Allah menciptakan segalanya’ ini Martinez memegang beragam jabatan. Ia adalah seorang kepala sekolah yang juga sekaligus guru dan pembimbing.
Martinez dan enam anaknya yang berusia dua hingga 12 tahun, menjadi bagian dari kian meningkatnya jumlah Muslim yang memilih agar anak-anaknya belajar di rumah, yang dijadikan sebagai sekolah. ”Dalam kurun waktu lima tahun, jumlah ini kian bertambah,” ungkapnya.
Hal yang sama diungkapkan Presiden National Home Education Research Institute, Brian Ray. Ia mengungkapkan, meski tiga perempat dari sekitar dua juta warga yang mengikuti home schooling mengidentifikasikan dirinya Kristen, jumlah Muslim kian banyak.
Ada sejumlah alasan yang diungkapkan mengapa Muslim memilih langkah seperti itu. Di antaranya, orang tua Muslim memiliki banyak waktu dengan anak-anaknya. Mereka juga diyakini akan mampu menanamkan secara kuat nilai-nilai Islam kepada anak-anaknya.
Pasangan Maqsood dan Zakia Khan dari Sterling, yang pindah dari Pakistan dua dekade lalu, mengatakan dengan home schooling mereka mampu menyusun kurikulum untuk anaknya. Keduanya mengatakan, anak mereka yang berusia 15, 14, dan sembilan tahun bisa belajar Alquran secara rutin.
Dalam sehari, ujar Maqsood, mereka mempelajari Alquran selama satu setengah jam. Ini bisa dilakukan melalui pengajaran online dari seorang guru mengaji dari Pakistan. ”Jika mereka pergi ke sekolah biasa, kami tak akan pernah melakukan hal itu,” ungkapnya.
Maqsood dan Zakia Khan yang dikutip Washington Post , Ahad (21/2), mengungkapkan keputusan yang diambilnya itu sebenarnya bermula dari hal sepele, namun penting. Saat itu, guru sekolah TK anaknya, mengabaikan soal isu agama terkait makanan.
Guru itu tak memperhatikan masalah makanan yang tak boleh dan boleh dikonsumsi seorang Muslim. Isu seperti seorang Muslim tak boleh makan daging babi, tak merayakan Hallowen, dan harus menjalankan puasa Ramadhan, tak menjadi perhatian.
Sementara itu, Priscilla Martinez yang memiliki nenek moyang dari Meksiko ini mengungkapkan, dengan home schooling tak berarti anak-anaknya dibatasi untuk mengenal dunia luar. Intinya, ini bukan membatasi anak-anak dari arus utama budaya yang ada.
Di sisi lain, Martinez mengatakan, memang ada juga alasan agama yang dijadikan sandaran. Ia mengungkapkan, belajar dari beragam pandangan. Semuanya, kata dia, memiliki Tuhan sebagai pusatnya dan memiliki kaitan dengan-Nya.
”Semua memiliki Tuhan sebagai pusatnya. Kami tak hanya mempelajari lebah, namun Alquran juga mengatakan tentang lebah dan keistimewaan lainnya dan madu. Kami mendapatkan pengetahuan tentang agama juga di dalamnya, baik dalam biologi maupun kimia,” kata Martinez. (republika, 23/2/2010)