Islam Memuliakan Pekerja Rumah Tangga (PRT)
DPR saat ini sedang menggodok Rancangan Undang-undang (RUU) Pekerja Rumah Tangga yang intinya, antara lain: PRT tidak boleh di bawah umur 15 tahun. Jika PRT berumur antara 15-17 tahun jumlah jam kerja maksimal adalah 4 jam per hari. Jika PRT di atas umur 17 tahun maka jumlah jam kerja maksimal adalah 10 jam per hari. Jatah istirahat (off of duty) PRT per minggu minimal adalah 1 hari, dan ada jatah cuti tahunan minimum 12 hari. Gaji dibayar sesuai Upah Minimum Regional (UMR) dan Tunjangan Hari Raya (THR) juga harus diberikan. Sistem pengupahan mengikuti UU Tenaga Kerja. Dalam rancangan ini akan mengatur antara lain soal jam kerja, syarat menjadi PRT, cuti hamil, cuti haid. Termasuk, penyelesaian perselisihan antara majikan dan PRT, sanksi diberikan bagi pelanggar ketentuan, dll. RUU ini menuai kontroversi, terutama penolakan dari kalangan yang akan dirugikan bila RUU ini disahkan. Misalnya rumah tangga yang ekonominya pas-pasan, tapi butuh tenaga PRT, keberatan jika harus menggaji sesuai UMK. Namun di sisi lain, RUU ini diharapkan mampu menaikkan kesejahteraan PRT dan melindunginya dari tindakan pelecehan, kekerasan dan kesewenang-wenangan. Nah, bagaimana Islam memandang persoalan ini? Berikut petikan wawancara dengan Ketua DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Ratu Erma Rahmayanti.
Saat ini keberadaan PRT sudah menjadi kebutuhan para keluarga, terutama bagi suami-istri yang bekerja. Bagaimana Ibu melihat fenomena ini?
Bila dilihat dari fenomena ini, keperluan mutlak adanya pembantu rumah tangga disebabkan karena: pertama, tuntutan pemenuhan kebutuhan keluarga saat ini tidak hanya dibebankan kepada suami, tetapi juga kepada istri. Ini dikarenakan seluruh kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan primer, sekunder dan tersier mutlak harus dipenuhi oleh individu warga tak terkecuali perempuan. Sementara fasilitas untuk mendapatkan pemenuhan tadi tidak mudah, lapangan pekerjaan sulit. Disamping adanya fenomena lain yaitu harga barang-barang pemenuhan kebutuhan hidup pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan) luar biasa mahal. Kondisi ini menuntut istri atau ibu untuk turut menjadi pekerja sebagai pencari nafkah. Kedua, adanya gaya hidup metropolis pada keluarga dimana istri -yang tidak bekerja di luar rumah pun- terkait pekerjaan kerumah-tanggaan seperti mencuci, memasak, menyapu, merapikan perabotan rumah, menyeterika, dan lain-lain enggan mereka kerjakan. Dan biasanya pembantu rumah tangga merupakan jalan keluar untuk menyelesaikan pekerjaan kerumah-tanggaan tersebut. Sehingga dengan adanya dua kondisi ini, keberadaan pembantu menjadi sebuah kebutuhan.
Namun sesungguhnya, Islam memberi hak bagi ibu atau istri – terutama yang mempunyai keterbatasan secara fisik untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah – meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dalam kondisi seperti ini suami wajib menyediakan pembantu bagi istrinya agar pekerjaan rumah tangga terpenuhi dengan optimal.
DPR sedang menggodok RUU PRT, yang salah satunya membahas masalah kenaikan gaji untuk meningkatkan kesejahteraan PRT, analisa Ibu?
Tentunya, upaya pemerintah mengundangkan soal pembantu rumah tangga dilatarbelakangi adanya fakta bahwa kehidupan mereka jauh dari kesejahteraan dan kebahagiaan. Fakta ini memang nyata di depan mata bahwa banyak pembantu rumah tangga yang mendapat upah tidak sesuai dengan manfaat jasa yang telah diberikan. Ditambah lagi adanya perlakuan dari majikan mereka yang menganiaya dan melanggar batas kehormatan manusia. Juga fakta bahwa banyak pembantu rumah tangga yang usianya terkategori anak-anak, dimana mereka dipekerjakan karena kebutuhan untuk hidup. Namun, apakah untuk hal ini perlu dibuat undang-undang khusus? Tentunya ini membutuhkan pengkajian yang cermat. Sesungguhnya, adanya fakta-fakta diatas menyiratkan banyak hal. Namun satu hal yang pasti adalah adanya ketidakfahaman mengenai hukum pekerja rumah tangga, mulai dari siapa sebenarnya mereka, seperti apa posisi mereka, apa saja hak mereka, bagaimana memberi upah pada mereka, dan lain sebagainya. Sejauh ini, masyarakat umumnya mendudukkan pembantu rumah tangga sebagai warga dengan strata lebih rendah daripada mereka yang berprofesi lain. Tentunya, pandangan ini berpengaruh pada perlakuan majikan terhadap mereka. Sang majikan akan berlaku seenaknya tanpa mempertimbangkan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh mereka.
Sisi lain, bila gaji pembantu rumah tangga naik, yang terjadi adalah pasar tenaga kerja pembantu rumah tangga akan naik. Persaingan untuk memasuki pasar ini menjadi ketat dan akibatnya akan ada seleksi. Tentu saja, yang terpilih adalah mereka yang pendidikan dan pengalaman kerja menjadi pembantunya tinggi. Ini akan menjadi lahan bisnis bagi agen-agen penyalur tenaga kerja untuk membuka lembaga pendidikan dan pelatihan bagi pembantu. Karena mereka diharuskan mempunyai keterampilan yang memenuhi standar. Bagi mereka yang hendak menjadi pembantu rumah tangga perlu mengeluarkan modal untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Padahal dalam situasi sulit seperti sekarang tidak semua orang punya dana untuk itu. Akibatnya, banyak dari para perempuan yang tidak terserap pada dunia pekerja rumah tangga jadi tidak mustahil masih akan terjadi pengangguran.
Adakah dampak lain jika RUU ini benar-benar disahkan?
Tentunya kita harus mengkaji lebih jauh dan cermat mengenai isi dari RUU tersebut. Sejauh ini saya belum mendapat draft lengkap dan utuh terkait isi RUU tersebut. Sebatas yang disebutkan dalam pengantar bahwa ada pengaturan usia pekerja, lamanya waktu bekerja, ketentuan upah, dan sanksi kepada majikan yang berlaku sewenang-wenang kepada pembantu, pengaturan ini menjadi sesuatu yang baik dan sah-sah saja bahkan perlu diundangkan.
Namun kita harus mengkaji secara komperhensif. Apa yang melatarbelakangi rencana penyusunan RUU ini, apa saja yang diatur didalamnya, bagaimana akibat yang akan terjadi bila undang-undang ini berlaku dan sebagainya, memerlukan pengamatan yang lengkap.
Dalam Islam sendiri, bagaimana posisi PRT? Apakah sama halnya seperti pegawai?
Pembantu rumah tangga tak ada bedanya dengan pekerja lain seperti pegawai pemerintah, pekerja kantor, pekerja perusahaan ataupun pekerja bagi individu lainnya. Definisi pekerja adalah setiap orang yang dipekerjakan dengan kompensasi upah atau gaji, apakah mereka menjadi pekerja pada individu, kelompok ataupun pekerja bagi negara. Pembantu rumah tangga termasuk kategori pekerja tersebut. Oleh sebab itu berlaku bagi dia hukum yang terkait dengan pekerja. Yaitu hukum akad kerja mulai dari bentuk dan jenis pekerjaan, masa kerja, upah dan tenaga yang dicurahkan.
Lantas, apakah Syariah Islam mengatur interaksi antara anggota keluarga terhadap khadimat/pembantu RT?
Tentu saja, Islam mengatur pergaulan suatu keluarga dengan khodimatnya. Keberadaan mereka memiliki posisi yang sangat penting dalam kaitannya meringankan segala kesulitan muslim lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu kita harus memperlakukan mereka dengan baik dan hormat sebagai sesama manusia muslim. Imam Ahmad dalam musnadnya mengeluarkan hadits:
«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْمُؤْمِنُ مُؤْلَفٌ وَلَا خَيْرَ فِيمَنْ لَا يَأْلَفُ وَلَا يُؤْلَفُ».
“Orang Mukmin adalah orang yang dikasihi. Tidak ada kebaikan, bagi siapa saja yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi.”
Khodimat adalah orang yang membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Karena sifatnya membantu maka ia tidak mengerjakan semua hal. Oleh karena itu perlu adanya kejelasan mengenai jenis pekerjaan apa saja yang akan dikerjakan oleh mereka. Ketentuan jenis pekerjaan ini harus jelas sejak awal mereka mulai bekerja. Demikian juga waktu bekerja mereka harus ada kejelasan. Kapan mereka harus istirahat dan mengerjakan keperluan pribadinya.
Terkait dengan interaksi dalam rangka menjaga kehormatan mereka adalah bahwa pembantu rumah tangga diharuskan menutup aurat dalam batas kewajaran. Kamar mereka terpisah dari yang lain dan memenuhi kelayakan sebuah kamar. Tidak membiarkan pembantu rumah tangga berduaan dengan majikan atau anak majikan yang laki-laki. Dilarang bertindak sewenang-wenang kepada mereka. Tidak membeda-bedakan makanan, pakaian dan keperluan lainnya, tetap harus diberikan dalam porsi yang baik.
Mengenai gaji, bagaimana seharusnya ijaroh dengan khadimat?
Disyaratkan agar upah dalam transaksi ijarah disebutkan secara jelas. Agar terjadi keridloan dari kedua belah pihak. Karena syarat dari suatu akad adalah keridloan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud berkata: Nabi SAW. bersabda:
إذَا إِسْتأْجَرَ اَحَدُكُمْ أجِيْرًَا فَلْيَعْلَمْهُ أجْرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian, mengontrak (tenaga) seorang ajiir, maka hendaknya dia memberitahukan tentang upahnya.” (HR. Ad-Daruquthni)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Sa’id bahwa nabib SAW:
نَهَى عَنْ اِسْتئجَارِ الأَجِيْر حَتّى يَتَبَيّنَ لَهُ اَجْرهُ
“Bahwa Nabi saw melarang mengontrak seorang ajiir hingga upahnya jelas bagi ajiir tersebut.”
Namun bila terjadi ketidakjelasan upah di awal tetapi akad kerja sudah terjadi, maka akad tersebut tetap sah. Bila nanti terjadi perselisihan tentang besarnya upah maka jumlah upah dikembalikan kepada jumlah upah standar atau sepadan. Hanya saja yang menentukan upah standar ini bukanlan negara sebagaimana ketentuan UMR sekarang yang amat jauh dari kelayakan. Upah sepadan ini disesuaikan dengan kualitas kerja maupun jenis pekerjaannya. Dan yang menentukannya adalah pihak ahli yang mengetahui tentang upah kerja ataupun pekerja yang hendak ditentukan upahnya.
Bagaimana mencegah dan mengatasi pelecehan seksual dan tindak kekerasan kepada khadimat?
Faktor utama adalah pemahaman dari majikan. Siapapun yang mempekerjakan orang lain dia harus memahami tatacaranya. Apa saja hak yang dimiliki pekerja yang notabene menjadi kewajiban bagi orang yang mempekerjakan. Pengetahuan dan pemahaman ini merupakan syarat mutlak. Sehingga akad transaksi kerja sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam, terjadi saling ridlo dan menerima, sehingga pekerjaan berjalan baik dan berkah. Majikan yang faham tidak akan memperlakukan pekerjanya dengan semena-mena karena dia faham bagaimana sikap menghargai manusia lain sebagai konsekuensi dari akhlak muslim. Dia akan memberi upah sesuai ketentuannya, yaitu melihat dari manfaat jasa yang diberikan pekerja, melakukan kesepakatan besarnya upah. Menjelaskan jenis pekerjaan apa saja yang akan dikerjakan pekerjanya. Majikan yang faham akan memenuhi hak pekerjanya dengan baik.
Pemahaman ini lahir dari keimanan yang kuat. Tanpa hal ini rasanya mustahil akan ada majikan yang baik. Andai saja terjadi suatu kekhilafan dan kelalaian karena majikan tidak terikat dengan hukum syara’ dalam memperlakukan pekerjanya, maka tindakan dia patut diberi sanksi. Agar majikan jera bahwa tindakannya tersebut akan ada konsekuensinya sehingga dia tercegah dari perbuatan aniaya berikutnya.
Jadi, adanya pemahaman dan pemberlakuan sanksi inilah yang akan mencegah tindak kekerasan dan penganiyaan pembantu rumah tangga. Wallahu a’lamu.(*)