Akses Ekonomi Perempuan: Timbangan Kapitalis Vs Syariah

Oleh: Siti Nuryati, S.TP, MSi*


Memperingati Hari Perempuan Sedunia 8 Maret, dunia masih menganggap yang paling memikul beban kemiskinan adalah kaum perempuan.  Dan beban ini semakin bertambah berat karena perempuan tidak dapat mengakses kesempatan ekonomi, pemilikan lahan dan lain-lain.  Dari 66 penelitian yang dilakukan oleh International Research Center for Woman (IRCW) di era 80-an ditemukan fakta bahwa keluarga berkepala perempuan lebih miskin daripada laki-laki.  Di Amerika hampir seluruh keluarga miskin dibiayai oleh perempuan tanpa suami.  Iklim ekonomi global yang tidak menentu serta perang dimana-mana semakin memperburuk keadaan ini.

Mengapa akses ekonomi perempuan dipersoalkan?  Ada satu hal yang perlu dicermati terkait fenomena tuntutan kesamaan akses ekonomi antara laki-laki dan perempuan ini.  Jika dalam masalah ekonomi, segala sesuatu diukur  dengan materi, maka perempuan yang tidak menghasilkan uang dianggap lebih rendah nilainya.  Jika sudah demikian maka upaya pemberdayaan perempuan adalah dengan meningkatkan perannya dalam turut mendongkrak  perekonomian negara secara langsung.  Negara kemudian mengembangkan kebijakan dan program-program untuk merangsang distribusi yang adil bagi setiap rumah tangga.  Namun negara dalam hal ini hanya menyediakan sumber daya agar terbuka peluang bagi perempuan untuk mengaksesnya, tanpa memperhatikan masalah distribusi sumberdaya tersebut sudah berjalan baik dan mencukupi bagi setiap orang yang membutuhkannya atau belum.  Akhirnya penyelesaian lebih bertumpu pada  perempuan-perempuan itu sendiri yang harus mengatasi persoalan kemiskinannya.

Dalam posisi seperti itu, maka peluang bekerja bagi perempuan menjadi sesuatu yang penting untuk diperjuangkan.  Peran domestik perempuan dianggap tidak bermakna dalam perekonomian.  Seorang ibu rumah tangga dianggap warga negara kelas dua.  Faktor non materi seperti cinta kasih, dedikasi dan kesetiaan tidak dimasukkan dalam teori ekonomi bahkan dalam ekonomi neoklasik sekalipun.  Padahal seorang ibu rumah tangga memiliki andil yang besar bagi perekonomian suatu negara walaupun kontribusinya tidak langsung.

Tak seperti di era 70-an dimana peran perempuan belum terlalu diperhitungkan, maka tahun 80-an perempuan mulai diperhatikan peranannya dalam pembangunan.  Dan kini peran tersebut semakin bergeser setelah melihat bahwa bukan kesejahteraan yang diraih perempuan setelah mereka terlibat dalam arus besar pembangunan.  Maka saat ini yang menjadi sasaran penting adalah perempuan harus pula terlibat sebagai agen pembangunan.  Konsep pendekatan pembangunan bergeser dari WID (Woman In Development) menjadi GAD (Gender And Development). Pendekatan GAD sangat menekankan kesadaran relasi yang selama ini dipandang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.  Sehingga perempuan harus turut berperan sebagai penentu kebijakan.

Walhasil penyelesaian persoalan yang ada memang selalu beranjak dari fakta.  Pendekatan semacam ini menyebabkan lepasnya satu masalah untuk masuk ke masalah berikutnya.  Bukan tidak mungkin, pendekatan model GAD ini akan kembali menimbulkan persoalan-persoalan baru.  Sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah suatu kerangka berpikir yang baku dengan asas yang benar sehingga mampu menyelesaikan seluruh masalah sampai akarnya.

Kemiskinan Bukan Problem Perempuan Saja

Kita sebetulnya perlu bertanya, betulkah perempuan adalah pihak yang paling memikul beban kemiskinan dunia? Karena apabila diamati fakta kehidupan manusia, kemiskinan tidak hanya menimpa perempuan, melainkan juga laki-laki.  Kemiskinan tidak hanya ada pada keluarga yang  dikepalai perempuan, tetapi bisa juga pada keluarga yang dikepalai laki-laki.  Kemiskinan tidak hanya ada pada masyarakat yang memiliki budaya patriarki, tetapi juga ada pada masyarakat yang menolak budaya tersebut (seperti Amerika dan Eropa).  Bahkan kemiskinan perempuan sebenarnya tidak menjadi masalah pada beberapa negara yang memiliki budaya patriarki seperti negara-negara Timur Tengah. Dengan demikian kemiskinan bukan hanya masalah perempuan melainkan masalah manusia pada umumnya.

Oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang menimpa banyak perempuan di dunia saat ini tidak hanya dengan memberikan alternatif untuk perempuan agar bisa dengan bebas mengakses sumber daya ekonomi.  Sebab penyelesaian seperti ini bersifat individual dan parsial.  Akibatnya bisa muncul masalah baru sementara masalah sebelumnya belum tuntas.  Yang kita butuhkan adalah penyelesaian yang berangkat dari pandangan yang universal tentang perempuan.  Yakni pandangan yang melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat manusia yang hidup berdampingan secara harmonis dan damai dengan laki-laki dalam kancah kehidupan ini.

Masyarakat manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang diciptakan untuk hidup berdampingan, saling melengkapi dan saling membantu dalam mengarungi kehidupan.  Dan hanya dengan hidup berdampingan inilah kelestarian umat manusia akan terjamin.  Sehingga yang kita butuhkan saat ini bukanlah kebijakan yang hanya  akan memunculkan pemilah-milahan masyarakat manusia menjadi ‘masyarakat laki-laki’ dan ‘masyarakat perempuan’.  Karena hal itu hanya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara laki-laki dan perempuan sehingga  keduanya akan sulit hidup berdampingan secara harmonis dan damai.  Akhirnya muncul sifat saling memusuhi.  Keduanya memandang dari sisinya masing-masing.  Laki-laki memandang menurut kelelakiannya dan perempuan memandang menurut keperempuanannya.  Apabila ini terjadi, maka kelestarian generasi mendatang akan terganggu.

Kemiskinan adalah salah satu masalah  dari sekian masalah manusia dalam kehidupan.  Kemiskinan tidak dipandang sebatas sebagai bagian dari aspek ekonomi yang tidak terkait dengan aspek yang lain.  Oleh karena itu perlu sebuah alternatif penyelesaian yang tuntas dan menyeluruh serta tidak mengakibatkan adanya masalah  baru bagi manusia dalam aspek yang lain.  Penyelesaian ini  harus dilaksanakan secara sistemik, tidak cukup hanya oleh individu-individu, agar setiap individu manusia mendapat jaminan kehidupan yang sama.

Kemiskinan menjadi persoalan karena manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan pokoknya.  Ini akan membawa dampak pada aktivitas lain dan menghambat manusia untuk meraih cara hidup yang ideal.  Oleh karena itu diperlukan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu manusia agar tidak ada hambatan bagi manusia untuk menjalankan kehidupan ini menuju kehidupan yang ideal yang menjamin kemuliaannya sebagai manusia.

Negara selayaknya menjamin distribusi kekayaan/sumberdaya kepada seluruh individu rakyat yaitu menjamin distribusi ini bagi pemenuhan kebutuhan pokok individu secara keseluruhan, serta memberi peluang kepada setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.  Jaminan ini berupa seperangkat hukum yang tersistem, seperti hukum kebolehan memiliki dan kebolehan bekerja pada sumber-sumber ekonomi seperti pertanian, industri, perdagangan dan upah mengupah serta hukum tentang pemeliharaan urusan rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan sarana umum lainnya.

Wanita Bekerja dalam Kacamata Islam

Islam secara tegas telah menetapkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan.  Ada hak dan kewajiban yang sama, ada pula yang dikhususkan bagi laki-laki saja atau wanita saja.  Kerja merupakan salah satu sarana masyarakat untuk memperoleh harta demi memenuhi kebutuhan hidupnya.  Hal ini menjadi wajib bagi laki-laki karena kewajiban mencari nafkah telah ditetapkan kepadanya.  Kewajiban ini tidak pernah berpindah kepada perempuan.  Sekalipun demikian bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja dan harus menjadi masyarakat kelas dua yang tertindas.  Perempuan diperbolehkan (mubah) bekerja untuk memperoleh harta.

Tentu saja kebolehan perempuan bekerja di luar rumah akan terkait dengan hukum-hukum yang menyangkut tatanan kehidupan di luar rumah.  Diantaranya adalah hukum berpakaian, hukum pergaulan laki-laki dan perempuan, pengaturan kehidupan khusus dan umum, serta perijinan wali (ayah/suami).  Negaralah yang berkewajiban menjamin tegaknya hukum-hukum tersebut sehingga wanita tidak terjerumus ke dalam keharaman ketika bekerja di luar rumah.

Perbedaan hukum bekerja pada laki-laki dan perempuan mengakibatkan perbedaan pengambilan keputusan antara keduanya.  Dalam agenda hidup seorang muslim  terdapat beragam aktivitas yang terkait dengan hukum wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.  Dengan timbangan pahala dan dosa sehingga balasan setiap amal, maka aktivitas yang wajib akan lebih diutamakan daripada sunah, apalagi mubah.  Maka kerja menjadi prioritas bagi laki-laki (wajib) dan tidak bagi perempuan (mubah).  Dan perempuan akan merugi ketika yang mubah dapat melalaikannya dari kewajiban-kewajibannya, apalagi sampai menjerumuskannya pada jalan yang nista, haram atau dosa.

Oleh karena itu tidak layak bagi muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummu wa robbatul bait), menyusui dan mengasuh anak.  Juga tidak layak mengutamakan bekerja  sementara dia melalaikan kewajiban-kewajiban lain seperti jilbab, sholat, shoum, keterikatan pada halal haram, dan sebagainya.  Apalagi sampai menjerumuskannya kepada hal-hal yang haram seperti berdandan menampakkan kecantikan (tabbaruj), berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram (khalwat), pergaulan bebas, menjual keindahan tubuh, dan sebagainya.

Pendek kata jika muslimah mengambil keputusan bekerja, dia harus memperhatikan hukum-hukum lain agar dirinya tidak terjerumus ke lembah kehancuran, kenistaan dan kehinaan.  Melainkan tetap dalam kemuliaan, baik di hadapan manusia, terutama di hadapan Allah SWT.

Penggunaan Harta: Islam Vs Kapitalis

Terdapat perbedaan penggunaan harta antara Islam dengan kapitalis.  Dalam masyarakat kapitalis, harta yang diperoleh digunakan  untuk memuaskan kebutuhan yang terbatas.  Hal ini memungkinkan golongan yang memiliki kapital lebih tinggi akan mengekspoitasi golongan non kapital untuk memperoleh kapital sebanyak-banyaknya.

Dalam Islam, harta laki-laki dipriorotaskan untuk nafkah keluarga, sebagian lain menjadi hak orang lain yang diwujudkan dalam bentuk zakat, infak dan shodaqoh.  Sementara harta perempuan sepenuhnya menjadi miliknya, dibelanjakan sepenuhnya untuk keperluannya, zakat, infaq dan shodaqoh.  Wanita tidak wajib membelanjakan hartanya untuk kebutuhan keluarga.  Kalaupun ia membelanjakannya untuk kebutuhan keluarga berarti ia bershodaqoh untuk suaminya.

Nilai penggunaan harta yang tertinggi dalam Islam adalah apabila digunakan di jalan Allah (sesuai perintah dan anjuran Islam), bukan untuk membangun kepuasaan hidup di dunia seperti pada masyarakat kapitalis.  Ambisi bekerja untuk memperoleh harta dibatasi oleh konsep rizki, halal-haram, dan pahala-dosa sehingga mencegah kemungkinan kecurangan dan kesenjangan dalam memperoleh harta dalam masyarakat. []

* Penulis adalah Penerima Penghargaan Menko Kesra atas Gagasan Pengentasan Kemiskinan dan Perluasan Kesempatan Kerja (2008), Penerima Penghargaan Menristek atas Gagasan Iptek Kelautan (2009), Penerima Penghargaan Mentan sebagai Penulis Muda Pertanian (2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*