Pada tanggal 14 Maret 2010 pasukan penjaga perbatasan India (BSF) melanggar perbatasan dengan Bangladesh dan melakukan serangan di Jaintapur distrik Sylhet yang menyebabkan lebih dari 30 orang muslim Bangladesh terluka. Sebelum kejadian itu, pasukan penjaga perbatasan India telah menginvasi salah satu desa Bangladesh yaitu Mondir Tila di perbatasan kedua negara dan melakukan kerusakan di sana. Akibatnya penduduk di daerah perbatasan di Jaintapur terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka karena serangan mendadak oleh pasukan penjaga perbatasan India itu.
Media massa Bangladesh menyebutkan bahwa pasukan penjaga perbatasan India telah mempersiapkan serangan itu sejak lebih dari satu setengah bulan sebelumnya. Namun kesiapan dan reaksi pemerintah Bangladesh sama sekali tidak mengikuti moto politik luar negeri Bangladesh “Persahabatan kepada semua dan tidak ada kebencian kepada seorang pun”. Panglima pasukan penjaga perbatasan Bangladesh (BDR), mayor jenderal Mainul Islam pada tanggal 2 Maret 2010 meninjau wilayah terjadinya insiden. Ia meminta masyarakat di sana agar tetap sabar. Setelah itu pemerintah Bangladesh mengutusnya ke Delhi dalam sebuah kunjungan diplomatik ke India. Ia melawat ke India antara 7-11 Maret 2010 M dan bertemu dengan Direktur Jenderal Pasukan Penjaga Perbatasan India (BSF), Raman Srivastab, dan mengeluarkan keterangan pers bersama yang di dalamnya dinyatakan, “Pasukan penjaga perbatasan tidak memiliki hak untuk menyerang warga sipil tak berdosa yang tinggal di perbatasan”. Dengan itu artinya pasukan penjaga perbatasan India diberi lisensi untuk membunuh warga Bangladesh di perbatasan jika diragukan termasuk warga sipil tak berdosa. Sungguh menarik, pasukan penjaga perbatasan India dibiarkan memutuskan seseorang bersalah atau “tak bersalah”. Setelah pers release itu sebanyak 50 orang personel pasukan penjaga perbatasan India melanggar perbatasan di Protappur distrik Sylhet dan menggali 14 bunker serta mengambil posisi dengan artileri berat di wilayah kekuasaan Bangladesh.
Terhadap perkembangan serius dan invasi yang dilakukan oleh pihak India itu, menteri dalam negeri Bangladesh, Sahara Khatun, pada tanggal 14 Maret 2010, tiga jam setelah kejadian mengatakan, “Saya tidak tahu perkembangan itu, saya akan minta penjelasan tentangnya, dan jika berita-berita itu benar maka itu akan menjadi berita yang tidak menyenangkan’. Menteri luar negeri Bangladesh, Dr. Dipu Moni, juga membuat komentar tidak bertanggung jawab yang sama. Ia mengatakan, “Itu adalah kejadian insidental”. Lebih buruk lagi, sementara kejadian itu berlangsung, pada waktu yang sama panglima militer Angkatan Bersenjata Bangladesh, jenderal Abdul Mubin justru sedang berada di India dalam lawatannya selama lima hari. Beberapa bulan lalu, pada bulan Januari sementara perdana menteri Sheikh Hasina melawat ke India, pasukan penjaga perbatasan India membunuh dua orang warga Bangaldesh pada hari yang sama di mana perdana menteri kedua negara membicarakan komunike bersama yang menyetujui dibentuknya kerangka kerjasama menyeluruh.
Pembunuhan dan agresi oleh pasukan penjaga perbatasan India terus saja terjadi di berbagai daerah perbatasan. Serangan itu merupakan kejadian yang kontinu dan berulang, sama sekali bukan kejadian insidental belaka. Data statistik memastikan kebohongan para menteri itu. Menurut dokumen yang dikeluarkan oleh organisasi HAM, sebanyak 843 orang muslim telah terbunuh, 846 orang terluka dan 895 wanita diperkosa oleh pasukan penjaga perbatasan India dalam jangka waktu antara 01 Januari 2000 hingga 28 Februari 2010. Ironisnya sejauh ini hanya 1582 orang tentara AS dan NATO yang tewas di Afganistan sejak 2001. Sementara yang disebut negara sahabat telah membunuh 843 warga Bangladesh dan pemerintah Bangladesh masih saja menyebutnya sebagai kejadian insidental.
Terlebih lagi, angka itu meningkat drastis selama periode pemerintahan Sheikh Hasina sekarang ini. Pada tahun 2009 saja sebanyak 209 orang muslim terbunuh, 79 orang terluka, 25 orang diculik, 92 orang hilang dan sebanyak 11 orang penduduk India berbahasa Bengali telah dipaksa masuk ke Bangladesh oleh pasukan penjaga perbatasan India selama periode tersebut. Meskipun faktanya seperti itu, menteri dalam negeri Bangladesh pada tangal 16 Maret 2010 M di hadapan Parlemen Bangladesh telah berbohong tentang jumlah kaum muslim Bangladesh yang dibunuh oleh pasukan penjaga perbatasan India. Ia mengklaim bahwa jumlah yang tewas tidak lebih dari 68 orang pada tahun ini. Tampak bahwa pemerintahan ini bukan hanya mengabaikan pelaksanaan kewajibannya untuk melindungi masyarakat dari serangan India saja, bahkan pemerintahan ini juga telah gagal hingga dalam menggali informasi secara akurat.
Jika salah seorang pejabat pemerintahan sekuler Sheikh Hasina, antek kaum musyrik, ditanya: Berapa orang dari kaum muslim yang harus terbunuh dan terluka oleh pasukan penjaga perbatasan India hingga India disifati sebagai musuh dan agresor? Kapan akan diberikan instruksi kepada pasukan penjaga perbatasan Bangladesh (BDR) untuk mengambil strategi ofensif dan memaksa pasukan penjaga perbatasan India mengambil sikap defensif? Maka jawabnya adalah bahwa hakikat pemerintahan Sheikh Hasina saat ini, sama seperti pemerintahan Khaleda Zia sebelumnya, mengorbankan darah dan kekayaan kaum muslim untuk melanggengkan persahabatan mereka dengan kaum salibis dan kaum musyrik agar mereka tetap bertahan di singgasana kekuasaan mereka. Slogan perubahan yang diusung oleh Sheikh Hasina tidak lain hanyalah kebohongan. Dia sejak dahulu hingga sekarang telah dan terus berkeras menyenangkan tuan-tuannya para pejabat India, hingga meski harga untuk itu adalah kaum mulim diculik, darah mereka ditumpahkan dan wanita-wanita mereka diperkosa!
Umat Islam tidak akan menaruh belas kasihan kepada para pembohong dan pengkhianat itu. Dan India akan diberi pelajaran historis pada saat daulah Khilafah berdiri dalam waktu dekat atas izin dari Allah SWT.
04 Rabiuts Tsani 1431 H / 19 Maret 2010
Muhammad al-Ma’mun
Anggota Hizbut Tahrir Bangladesh