Saat berbicara tentang Hizbut-Tahrir sebagai gerakan politik Islam yang mendunia, kita tidak bisa memisahkannya dari sosok Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani sebagai pendirinya. Melalui pemikirannya yang cemerlang dan ilmunya yang luas itu lahirlah sebuah gerakan politik Islam yang sangat diperhitungkan di dunia saat ini: Hizbut-Tahrir (HT). HT adalah gerakan yang bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Islam dengan cara melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah.
Ada asumsi bahwa setiap pemikir merupakan produk zamannya. Artinya, gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh seorang pemikir pada dasarnya adalah hasil interaksi si pemikir dengan lingkungan sosio-historis yang mengitarinya. Inilah yang juga terjadi pada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Ilmu beliau yang luas serta gagasan-gagasannya yang mencerahkan dan membangkitkan tidak ias dilepaskan dari lingkungan yang mengitarinya.
1. Faktor Keluarga
Syaikh an-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim pada tahun 1909. Beliau mendapat didikan ilmu agama di rumah dari ayah beliau sendiri, seorang syaikh yang faqîh fî ad-dîn, yang merupakan pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah yang diperoleh dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf an-Nabhani. Beliau adalah seorang qâdhî (hakim), penyair, sastrawan dan salah seorang ulama terkemuka dalam Daulah Utsmaniyah.
Suasana keagamaan yang kental seperti itu tentu berpengaruh besar pada pembentukan kepribadian dan pandangan hidup Syaikh Taqiyuddin. Terbukti, beliau telah hapal al-Quran dalam usia amat muda, yaitu 13 tahun. Disebutkan oleh orang-orang yang semasa dengan beliau seperti Syaikh Fathi Salim bahwa an-Nabhani kecil tumbuh di rumah yang penuh dengan suasana ketakwaan.
Pengaruh dari sang kakek, Syaikh Yusuf an-Nabhani, juga tak kalah besar. Syaikh Taqiyyuddin makin mengerti masalah politik karena kakeknya pernah memiliki hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu. Dia pun banyak belajar dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fikih yang diselenggarakan oleh sang kakek. Kecerdasan dan kecerdikan Syaikh Taqiyyuddin yang tampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya. Oleh karenanya, sang kakek memandang perlu mengirim Syaikh Taqiyyuddin ke al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan ilmu-ilmu syariah.
Dari sini kita ias belajar, betapa penting membangun suasana ketakwaan dan keilmuan dalam sebuah rumah tangga, untuk melahirkan keturunan yang berkualitas. Benarlah apa yang dikatakan dalam syair:
الأم مدرسة إذا أعددتها # أعددت شعبا طيب الأعراق
Ibu adalah sekolah (bagi anak-anaknya)
Jika Anda menyiapkannya,
Anda telah menyiapkan bangsa yang baik
urat-uratnya.
ليس البنت ينبت في جنان # كمثل النبت ينبت في الفلاة
وهل يرجى لأطفال كمال # إذا ارتضعوا ثدي الناقصات
Anak yang tumbuh di taman
tak sama dengan anak
yang tumbuh di lapangan
Bisakah diharap kesempurnaan pada anak-anak
Jika mereka menyusu dari
ibu yang tak berakhlak
2. Faktor Guru
Pemikiran dan gagasan politik Syaikh Taqiyyuddin juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dua sosok guru dalam kehidupannya, yaitu kakek beliau Syaikh Yusuf an-Nabhani dan Syaikh Muhammad Khadir Hussein. Kedua sosok ini termasuk tokoh pembela Khilafah (anshâr al-Khilâfah) pada masa Daulah Utsmaniyah. Dari keduanyalah Syaikh Taqiyyuddin memahami hal-hal yang berkaitan dengan Khilafah dan pertentangan antar Islam dan Barat.
Syaikh Yusuf an-Nabhani termasuk yang banyak membela manhaj kaum sufi dan banyak mengkritik dua aliran yang berbeda saat itu. Pertama adalah Gerakan Salafi yang banyak berkiprah dan menonjol pergerakannya di Jazirah Arab. Kelompok ini sangat ekstrem dalam beberapa masalah akidah dan selalu menyerang apa saja yang dipandang sebagai bid’ah. Di antaranya masalah tawasul dengan para nabi dan orang-orang shalih. Beliau mengkhususkan beberapa karyanya untuk menjelaskan pendapat yang berlawanan. Aliran kedua yang mendapat serangan serius dari Syaikh Yusuf an-Nabhani adalah gerakan yang mengkompromikan Islam dengan Barat. Tokohnya yang menjadi simbol paling menonjol adalah Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Adapun Syaikh Muhammed Khadir Hussein (1876-1958) berasal dari sebuah keluarga terhormat di Aljazair. Beliau lahir di daerah selatan Tunisia serta termasuk salah seorang ulama terkemuka dan sangat dihormati di kalangan tokoh-tokoh pada masa Khilafah Utsmani. Mantan Syaikh al-Azhar ini pernah tinggal di Istana atas permintaan Sultan Abdul Hamid (1842-1918). Pada tahun 1920 ia tinggal di Damaskus setelah Perang Dunia Pertama. Ketika Suriah ada di bawah pendudukan Prancis seperti halnya Tunisia, pada tahun 1921 ia pindah di Kairo.
Pada tahun 1925 dan 1926 Syaikh Khadir Hussein menceburkan diri dalam perang pemikiran, yaitu ketika mengkritik buku karya Ali Abdul Raziq, Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm. Buku ini intinya menyatakan: tidak ada bangunan politik yang baku dalam Islam; Islam harus dipisahkan dari kehidupan, termasuk politik. Beliau juga membantah buku karya Taha Hussein, Asy-Syi’r al-Jâhili. Beliau menamai dua karyanya masing-masing dengan: Naqdh Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm dan Naqdh Kitâb fî asy-Syi’r al-Jâhili.
3. Lingkungan Pemikiran dan Politik
Meski pemikiran Syaikh Yusuf an-Nabhani banyak mempengaruhi pemikiran Syaikh Taqiyuddin, saat kembali ke Palestina beliau tidak bercorak sufi. Siapa saja yang mengkaji teks-teks pemikiran an-Nabhani pada tahap awal akan menemukan bahwa an-Nabhani cucu menempuh jalan yang berbeda dengan an-Nabhani kakek. Hal ini terjadi sebagai akibat benturan beliau dengan tsaqâfah Barat yang sedang mendominasi saat itu, juga sebagai akibat beliau terjun dalam urusan politik yang sedang bergejolak saat itu. Karena itu, beliau mengambil pandangan kearaban (maksudnya berupaya menyatukan kekuatan Islam dengan kekuatan Arab (yakni bahasa Arab) yang saat itu sudah mulai terpisah) dalam metode dan analisisnya. Beliau juga menggunakan bahasa adaptasi (bukan bahasa agama murni) untuk mensosialisasikan pemikiran Islam politik sebelum mendirikan HT. Hal ini disebabkan oleh dua perkara: Pertama, pendudukan Palestina oleh Inggris yang disertai dengan migrasi kaum Yahudi secara massif ke Palestina. Hal inilah yang menyebabkan cita-cita awal Syaikh Taqi adalah bagaimana caranya memerdekakan Palestina. Atas dasar ini beliau menulis bukunya yang istimewa, Inqâdz Falistin (Membebaskan Palestina), dua tahun setelah Palestina jatuh ke tangan Yahudi.
Kedua, tumbuh-suburnya gerakan komunis dan gerakan nasionalis di negeri Syam sebagai pengaruh pemikiran Barat dan akibat tidak adanya gerakan Islam yang seimbang pada saat itu. Dari sini beliau banyak mengkritik gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Berikutnya beliau mendirikan Hizbut Tahrir dengan bertumpu pada beberapa kader pergerakan di Palestina dan Yordania. Tujuannya agar partainya yang baru ini mengambil corak partai yang berbeda dengan partai-partai yang sudah ada.
Pada masa-masa sebelum beliau mendirikan HT, tidak diragukan lagi bahwa keruntuhan Khilafah tahun 1924 telah mengakibatkan guncangan besar dan membahana di seluruh dunia Islam. Sebaliknya, westernisasi dalam bidang pemikiran dan sosial telah merambah secara luas pada saat itu. Hal ini telah membuat tokoh-tokoh politik dan intelektual menjadi berhaluan liberal. Mereka sangat menyambut baik langkah-langkah Mustafa Kemal Attaturk, bahkan menyebutnya sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan negerinya dari penjajahan asing, tanpa melihat akibat dan hal-hal yang akan terjadi pada masa datang. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi gagasan pembebasan an-Nabhani, yakni pembebasan umat dari dominasi penjajah dalam berbagai aspek. Beliau lalu mulai mencari jalan yang spesifik untuk mengembalikan posisi umat dan mengembalikan Khilafah.
Hal terburuk yang dihadapi umat ini bukanlah gerakan westernisasi yang dilakukan secara eksplisit, melainkan gerakan kompromi dan pencampuradukan antara Barat dan Islam yang saat itu dipelopori oleh Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Abdul Rahman al-Kawakibi dan yang lainnya. Gerakan ini merefleksikan rasa rendah diri di hadapan keunggulan teknologi Barat. Para tokohnya berupaya mencari justifikasi dan komparasi antara Islam dan Barat yang mengarah pada penyimpangan dan distorsi ajaran Islam. Pada fase itu—yakni antara masa akhir Daulah Utsmaniyah dan dimulainya era kolonialisme langsung pasca runtuhnya Khilafah—telah dilakukan upaya yang intensif untuk menyamakan demokrasi dengan syura, kepentingan umum dengan kemaslahatan syariah, opini umum dengan konsensus fikih, dan pajak dengan zakat; juga upaya untuk mengembalikan nilai-nilai dan prestasi Barat pada akar dan dasar-dasar Islam. Semua itu telah mengakibatkan penyebarluasan kekeliruan dalam menggunakan istilah di satu sisi dan di sisi lain telah melemahkan perasaan umat untuk berani tampil beda dari peradaban Barat yang sedang mendominasi. Akibatnya, melemahlah unsur-unsur perlawanan umat dan pembaruan yang benar. Sebaliknya, arus modernisasi ala Barat—seperti sekularisme, liberalisme, marxisme dan nasionalisme—semakin menyebar luas.
Karena itu, suasana pemikiran dan politik saat itu sangat mempengaruhi Syaikh Taqi. Apalagi saat itu pemikiran Islam yang murni telah mengalami serangan yang luar biasa melalui penjajah Barat secara langsung di sebagian besar negeri Islam. Pemikiran Islam diserang oleh umat Islam sendiri yang telah tercekoki oleh gerakan westernisasi yang menjadi corong Barat dan kaum oreintalis, atau oleh orang-orang yang bertekuk lutut, tidak berdaya menghadapi serangan Barat. Akhirnya, mereka berupaya mengkompromikan antara Islam dan Barat.
Sebagai contoh, pada awal abad 20-an di Jazirah Arab muncul ide Pan-Nasionalis Arab sebagai respon terhadap penyebaran Pan-Nasionalis Turki yang berada di bawah pengaruh “Turki Muda”. Pada awalnya Pan-Nasionalis Arab ini masih menggunakan islam sebagi justifikasi. Gerakan ini ditujukan untuk membangkitkan Arab dengan Islam, karena bangsa Arab adalah suatu kesatuan dan akar historis Arab adalah Islam. Namun, pada perkembangannya muncullah gagasan Sati al-Hashri (w.1968) yang berupaya memisahkan Arab dan Islam. Ia menyatakan bahwa agama bukanlah unsur pokok bagi nasionalisme. Karena itu, sangat mungkin membentuk bangsa Arab baru tanpa terikat dengan konsep dâr al-Islâm. Konsep ini sangat berbahaya karena pada akhirnya akan merambat pada masalah perundang-undangan dan bentuk negara, yang pada gilirannya akan mencerabut hal-hal yang baku dalam peradaban Islam.
Contoh lain, di Mesir muncul gerakan nasionalisme sekular Mesir yang dipelopori Lutfi Sayid (1872-1963).
Pada tahun 1925-1930 gerakan westernisasi Barat telah mencapai puncaknya. Terjadilah benturan pemikiran lama dengan yang baru, Islam dengan modernisme dan salafi dengan sekular. Pada tahun 1925 Ali Abdur Raziq, seorang qâdhi syariah, menulis buku Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm. Dalam bukunya ia melontarkan gagasan sekularisme untuk pertama kalinya di jantung pemikiran Islam, setelah gerakan Kemalisme di Turki menyebarkan booklet yang menjustifikasi bahwa sekularisme bertumpu pada beberapa prinsip Islam. Pada tahun 1926 Thaha Hussein menulis buku Fî asy-Syi’r al-Jâhili. Ia berpandangan bahwa menyatukan sains dengan agama adalah mustahil. Dalam bukunya ia banyak mengkritik sejarah, termasuk sejarah para nabi di dalam al-Quran.
Di sisi lain, penghapusan Kekhilafahan Utsmani pada tahun 1924 tidak berlalu begitu saja tanpa respon politis dan intelektual—meski respon tersebut tidak sebanding—sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin di kemudian hari.
Konferensi Kairo pada tahun yang sama (tahun 1924) gagal untuk memilih khalifah yang baru. Raja Fuad (1868-1936) adalah salah satu kandidat terkemuka saat itu. Dua tahun kemudian, ia diundang ke konferensi kedua yang dihadiri oleh para ulama dari Dunia Islam. Upaya kedua ini dipandang sebagai upaya serius untuk mengembalikan Kekhilafahan. Konferensi Islam untuk mengembalikan Khilafah diadakan di Kairo antara 13 dan 19 Mei 1926, di Unversitas al-Azhar dalam empat sesi. Pesertanya adalah para ulama dan para tokoh dari Suriah, Maroko, Irak, Arab, India, Indonesia dan perwakilan dari komunitas Muslim jauh seperti Polandia dan Afrika Selatan.
Setelah melalui pembahasan intensif, Konferensi memutuskan bahwa mungkin untuk mewujudkan Khilafah Islam dan bahwa umat Islam di Timur dan Barat harus menyiapkan sebab-sebab, sarana dan hal-hal yang diperlukan. Namun, Konferensi berpandangan bahwa untuk mewujudkan Kekhilafahan tersebut wajib memperhitungkan cara-cara yang tidak akan memecah-belah kesatuan umat Islam dan tidak menimbulkan kontroversi di antara mereka. Oleh karena itu diputuskan harus ada perwakilan dari semua umat Islam dalam pertemuan selanjutnya yang akan diadakan di Kairo. Rencananya akan dihadiri oleh delegasi dari negeri-negeri Islam untuk memusyawarah-kan apa yang wajib dilakukan untuk mewujudkan khilafah yang memenuhi syarat. Konferensi juga mengimbau kepada semua umat Islam di seluruh dunia agar jangan mengabaikan urusan Khilafah, yang merupakan ruh dan representasi Islam. Juga diserukan agar semua umat Islam berupaya mewujudkannya sebagai mana mestinya, subagai upaya untuk menunaikan kewajiban dan supaya keluar dari dosa akibat mengabaikannya.
Selain adanya upaya westernisasi total dan gerakan kompromistik peradaban Islam dengan Barat pada aspek pemikiran dan politik, saat itu juga terjadi gerakan dalam bidang sosial yang tidak kalah berbahayanya. Tujuan gerakan ini adalah untuk mengeluarkan wanita dari jatidirinya dan berupaya menjadikan kaum wanita sebagai pembebek Barat. Gerakan ini di mulai secara bertahap sejak era Muhammad Ali Basya (1769-1849), Gubernur Mesir pada Abad 19 M, ketika ia mengirim delegasi ilmiah ke Prancis. Sejak itu banyak intelektual Muslim yang menyerukan gerakan liberalisasi kaum wanita hingga gerakan penanggalan jilbab.
Kampanye anti jilbab mencapai puncaknya ketika istri Saad Jaghloul, Shafiyah, diminta untuk menanggalkan jilbabnya di sebuah kapal laut dalam perjalanan pulang ke Alexandria dari konferensi perdamaian di Paris setelah Perang Dunia I pada tahun 1920.
Di Alexandria dirancang penyambutan publik terhadap Saad Jaghloul. Disiapkanlah tenda besar untuk pria dan satu lagi untuk wanita berkerudung dengan dekorasi di setiap tempat. Zaghloul pun tiba. Ia masuk ke tenda wanita, bukannya ke tenda laki-laki. Ketika ia memasuki kaum wanita yang bercadar, ia disambut Hoda Sha’rawi. Kemudian ia membuka cadar Hoda, sambil tertawa. Hoda pun bertepuk tangan. Kaum wanita pun bertepuk tangan. Semuanya menanggalkan kerudungnya disaksikan oleh khalayak ramai. Peristiwa ini telah menimbulkan guncangan sosial yang bergema di mana-mana.
Dari suasana pemikiran dan politis tersebut, lahirlah gagasan-gagasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang diabadikan dalam karya-karyanya. Sebagai contoh, untuk membangkitkan umat, dan menyelamatkannya dari penjajahan Barat, beliau menulis buku Nizhâm al-Islâm, Mafâhîm Hizb at-Tahrîr dan At-Takattul al-Hizbi. Untuk menjawab persoalan seputar Khilafah dan cara mengembalikanya beliau menulis buku Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm dan Ad-Dawlah al-Islâmiyah. Untuk menjawab persoalan percaturan politik dunia dan pengaruhnya terhadap Dunia Islam, beliau menulis buku Afkâr Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr. Untuk menjawab masalah sosial, beliau menulis buku Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm. Untuk membangun pemikiran produktif beliau menulis hal-hal yang berkaitan dengan ushul fikih yang secara lengkap bisa dibaca dalam kitab Asy-Syakhsyiyah jilid 3. Masih banyak lagi karya-karya beliau yang lain dalam bentuk buku, buklet dan makalah. Semua pemikiran dan gagasan politik Syaikh Taqiyuddin ditulis sebagai respon atas situasi pemikiran dan politik yang mengitarinya. Semuanya beliau persembahkan untuk membebaskan umat dari keterjajahan dan membangkitkannya dari keterpurukan. Berbahagialah orang-orang yang telah meraup dan memperjuangkan pemikiran dan gagasannya yang brilian. Semoga Allah menempatkan Syaikh Taqi—sebagai sang inspirator kebangkitan umat—di surga-Nya. Amin. [M. Yasin Muthahhar; sumber: www. alokab.com]
Rahimahullaah inshaALLAH….
Ya Allah cucuri rahmat dan sejahtera keatas junjungan kami nabi muhammad s.a.w beserta ahli-ahli rumahnya dan sekalian sahabatnya…
segala pujian bagi Allah – tuhan pentadbir seluruh alam.
semoga Allah akan membalas segala perjuangannya
Semoga khilafah bisa berdiri kembali. amien…..