Pendapat Seorang Mujtahid adalah Hukum Syar’i

Berbagai cara telah ditempuh untuk membelokkan kaum muslimin dari keterikatannya terhadap hukum syara’. Termasuk cara yang paling keji adalah adanya pendapat yang mengada-ada dari sementara orang yang menyatakan bahwa “pendapat imam madzhab” seperti imam Syafii, Ja’far Shadiq dan Abu Hanifah bukanlah merupakan hukum syara’, melainkan hanya pendapat mereka. Karenanya, kitapun tidak perlu mengikatkan diri pada pendapat mereka. Orang-orang ini berdalih bahwa hukum syara’ itu hanyalah nash-nash Al Qur’an dan Hadits. Sebagai konsekuensinya, maka mereka membatasi hukum-hukum syara’ hanya pada apa yang tercantum dalam nash secara jelas, yang dapat difahami dengan sekedar membaca­nya. Ini berarti berbagai problema dan masalah-masalah baru yang bera­gam tidak tercantum secara tegas dalam nash-nash syara’, sehingga tidak ada ketentuan hukum syara’ atas masalah-masalah itu. Dengan demikian setiap orang boleh mengikuti pendapatnya masing-masing, sehingga akal turut campur dalam menentukan pemecahan masalah dan apa saja yang sesuai dengan hawa nafsunya. Sungguh ini adalah suatu kedustaan yang nyata dan kebohongan terang-terangan terhadap syari’at Allah serta pe­lecehan terhadap ijtihad, disamping pemalingan manusia dari syari’atNya.

Al-Qur’an dan hadits, yang merupakan sumber syari’at Islam, datang dalam bentuk garis-garis besar dan makna-makna umum. Nash-nash Al-Qur’an dan hadits berupa teks hukum yang menunjuk pada satu atau beberapa fakta. Oleh karena itu, nash-nash tersebut harus difahami sesuai dengan yang ditunjukkan oleh hukum yang bisa diambil dengan “manthuq”, yakni makna yang ditunjukkan oleh suatu lafadz; atau diambil dengan “mafhum”, yakni makna yang ditunjukkan oleh makna suatu la­fadz; bisa juga diambil dengan “iqtidlaa”, yakni makna yang dituntut oleh manthuq dan mafhumnya. Lafadz-lafadz tersebut memiliki makna bahasa dan makna hukum. Disamping itu ada nash-nash lain yang juga terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, yang berfungsi untuk mengkhususkan (mentakhshish) lafadz-lafadz yang berbentuk umum, atau mengikat (mentaqyid) lafadz-lafadz yang “muthlaq”. Lafadz-lafadz itupun memiliki “qarinah” (indikasi) yang menentukan makna yang dimaksud;

dan menentukan jenis hukum yang ditunjuk oleh suatu “perintah”, apakah itu wajib, mandub, atau mubah; serta menentukan jenis “larangan” apakah itu haram atau makruh. Demikian juga, qarinah-qarinah itu menentukan apakah lafadz-lafadz tersebut khusus untuk satu kejadian atau umum untuk seluruh peristiwa; dan lain sebagainya, dari apa yang tercantum dalam nash. Oleh karena itu, lafadz-lafadz tersebut harus difahami secara hukum, bukan semata-mata secara dhahir (harfiah) atau secara logis.

Tidaklah mengherankan, jika kemudian timbul ikhtilaf dalam memahami satu nash. Sehingga terhadap satu nash terdapat dua pendapat yang berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain. Ini baru dilihat dari segi pemahaman atau penunjukkan suatu lafadz. Ditambah lagi dengan adanya perselisihan terhadap keabsahan suatu hadits, apakah bisa diterima atau tidak. Kemudian muncul pula ikhtilaf tentang hukum-hukum yang diambil dari hadits tersebut, apakah bisa diterima atau tidak. Akibat­ny, terjadilah ikhtilaf dalam pendapat ketika menentukan kedudukan suatu makna tertentu bahwa makna tersebut merupakan hukum syara’, atau makna yang berbeda dengan itu, atau bahkan bertentangan. Semuanya dapat dikatakan sebagai hukum syara’, walaupun berbilang jumlahnya, berbeda-beda, atau bahkan bertentangan. Sebab hukum syara’ adalah ‘Seruan Syaari’ (Allah dan RasulNya) yang berkaitan dengan perbuatan hamba.’ Dan seruan Syaari’ yang dibawa oleh wahyu perlu difahami oleh pihak yang diseru –yaitu manusia– agar dapat menjadi suatu hukum syara’ baginya. Sebab suatu nash, supaya dapat diterapkan, memerlukan pema­haman tertentu.

Jadi, seruan syaari’ dianggap sebagai hukum syara’ ketika telah di­fahami makna apa yang ditunjukkan oleh suatu nash, yang terbukti keabsa­hannya sebagai berasal dari Al Qur’an atau hadist. Sedangkan apabila seruan itu belum ditetapkan keabsahannya dan belum difahami makna apa yang ditunjuk oleh suatu dalil (pemahaman dilalahnya), maka tidak dapat dianggap sebagai hukum syara’. Oleh karena itu yang menjadikan suatu nash sebagai seruan Syaari’ atau bukan adalah pemahaman terhadap nash itu sendiri. Berarti hukum syara’ merupakan pendapat yang diambil dari nash. Inilah yang dianggap sebagai seruan Szyari’. Dengan demikian pendapat seorang mujtahid adalah hukum syara’, selama disandarkan kepada Al-Qur’an dan As Sunnah atau dalil-dalil syara’ yang ditunjuk oleh kedua sumber itu (yaitu Ijma’ dan Qiyas).

Berdasarkan hal ini, pendapat seorang mujtahid terdahulu, baik pendiri mazhab atau bukan, adalah hukum syara’. Demikian juga pendapat para mujtahid dewasa ini, dan mujtahid lain dimanapun dan kapanpun mereka berada adalah merupakan hukum syara’, selama mereka menggali­nya dengan ijtihad yang benar, yang bersandar pada dalil-dalil syara’. Rasulullah saw telah menetapkan diterimanya suatu pemahaman terhadap nash sebagai hukum syar’i. Beliau juga mendiamkan (mengakui) terjadi­nya ikhtilaf dalam pemahaman nash tersebut. Sebagai contoh, segera sete­lah berangkatnya kelompok-kelompok (qabilah) dalam perang Khandaq, beliau memerintahkan seorang muazhin untuk berseru kepada kaum muslimin:

“Siapa saja yang mendengar dan taat, jangan melakukan shalat ashar kecuali di (kampung) Bani Quraizhah”.

Para Shahabatpun berbeda-beda memahami seruan ini. Sebagian mening­galkan shalat ashar di Madinah dan tidak melakukannya sampai mereka tiba di Bani Quraizhah. Sebagian lain memahami, bahwa yang dimaksud adalah agar mereka bergegas-gegas, sehingga mereka shalat ashar terlebih dahulu, dan kemudian pergi ke Bani Quraidhah setelah menunaikan shalat. Lalu kedua hal ini disampaikan kepada Rasulullah saw dan beliau mene­tapkan bahwa kedua pemahaman tersebut dapat diterima.

Para Shahabat ra telah berikhtilaf dalam memahami Al Qur’an dan hadist. Pendapat mereka berbeda satu dengan lainnya. Setiap pendapat mereka adalah hukum syara’. Mereka telah berijma’, bahwa pendapat yang dikemukakan mujtahid manapun yang berasal dari nash adalah merupakan hukum syara’.

Oleh karena itu, baik hadist maupun ijma’ shahabat telah menun­jukkan bahwasanya pendapat yang digali oleh mujtahid manapun dianggap sebagai hukum syara’ yang wajib diikuti oleh orang yang menggalinya (mujtahid itu sendiri), juga bagi siapa saja yang telah menyetujui pemaha­man tersebut, atau yang bertaqlid kepadanya untuk mengikuti pendapat mujtahid itu.(sumber : al fikru al islamiyyu; Muhamad Muhammad Ismail)

One comment

  1. dadang yuswara

    pendapat saya khusus didalam perbedaan pengamalan qunut subuh adalah lebih ditik beratkan pada qunut itu adalah hukumnya sunnat saja, jadi kalau tidak mengikuti dua pendapat yang berbeda tidak berarti keluar dari hukum syara(syar’i)artinya tidak akan diminta pertangungan jawab karena semua sudah sepakat bahwa perkara sunat itu secara definisi: dikerjakan akan mendapat pahala dan bila tidak tidak mendapat apa apa demikianjuga didalam hal yang lainnya karena timbulnya ihtilap itu kebanyakan didalam perkara sunat saja, saya belum menemukan dalam perkara wajib.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*